webnovel

Bangunan Kosong

“Jangan main ke dalmas ah, angker!” ucap temanku.

“Iya, takut. Banyak hantunya disana mah, nanti kesurupan hayo,” ucap yang lainnya.

“Gapapa ih, ayo main ke dalmas yuk! Kita mainnya di parkiran aja. Kita naik mobil polisi,” ajak temanku.

“Hayu... kita naik mobil polisi aja,” sahut temanku yang lain.

“Ih jangan, nanti kalo dibawa sama polisinya gimana?” ucap temanku yang begitu polos.

Setelah perdebata kecil, pada akhirnya aku dan beberapa temanku tetap bermain di halaman barak yang memang biasa digunakan untuk memarkirkan mobil-mobil polisi. Mobil-mobil yang biasa kami naiki adalah mobil dalmas (pengendalian masyarakat), mobil besar yang biasa digunakan pada saat terjadi demo.

Barak ini adalah sebuah bangunan yang letaknya ada di belakang kantor polisi dan juga asrama tempat tinggalku. Barak ini digunakan untuk sebagian polisi-polisi yang baru saja menyelesaikan pendidikan dan mulai berdinas di wilayah ini. Mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Kepolisian Negara akan tinggal sementara di barak ini untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di bagian pengendalian masyarakat dan patroli.

Di barak ini, aku dan teman-teman memang senang sekali menaiki mobil-mobil polisi yang super keren, seolah mobil tersebut memanglah mainan anak-anak yang dipersilakan untuk dinaiki sepuasnya.

“Duarr!!” terdengar suara mengagetkan dari balik mobil dalmas saat kami sedang bermain.

“Aaaaaaa!!!” terdengar pula suara jeritan anak-anak yang kaget dan panik.

“Hayo lagi pada ngapain? Turun-turun! Jangan naik-naik kayak gitu, nanti jatuh,” ucap seorang pak polisi yang mengingatkan kami.

“Om mau pergi?” tanya kami kepada om polisi.

“Iya, mobilnya mau di pake dulu ya. Cepat pada turun, nanti kalian di bawa pergi lho. gabisa pulang,” jawab om polisi tersebut.

Bergegas kami semua segera turun dari mobil dalmas yang terparkir. Beberapa dari kami lalu berpencar mencari tempat bermain lainnya, tapi tidak denganku.

“Om, mau kemana?” tanyaku yang penasaran. Sambil membenarkan pintu mobil, ia menjawab “Mau dinas, dek” dengan santai sekali.

“Eh, Jangan pada main ke sana!” teriaknya pada teman-temanku.

“Om, memang di dalem banyak hantunya?” tanyaku yang penasaran.

“Om sih gabisa liat, cuma katanya iya. Makanya, kamu sama temen-temen kalau main jangan sendirian di bangunan ini. Mainnya di deket-deket rumah aja ya, nanti mamahnya bingung nyariin,” ujar om tersebut mengingatkan.

Mobil dalmas yang sempat kami naiki pun akhirnya melaju perlahan meninggalkan area parkir di depan barak. Saat laju mobil sudah semakin menjauhiku, aku melihat ada sesuatu yang janggal dari mobil tersebut. Aku ingat betul kalau om polisi tadi datang hanya seorang diri untuk mengambil mobilnya dari parkiran, tidak ada teman lainnya yang ikut bersamanya.

Penglihatanku samar-samar semakin aneh sekali. Aku melihat ada beberapa perempuan berbaju putih yang duduk terdiam di bagian belakang mobil dalmas tersebut. Aku tidak begitu jelas melihat wajahnya, tapi yang pasti mereka semua hanya terdiam seperti orang yang lesu dan menyedihkan. Salah satu dari mereka ada yang menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya, lalu ia pun tersenyum seolah menyapaku. Sayangnya, wajah pucat yang ku kira manis, tiba-tiba saja berubah jadi menyeramkan. Senyumnya yang menyeringai sungguhlah mirip dengan kuntilanak.

“Itu tadi kuntilanak, ya?” pikirku polos dan masih santai saja bermain sehingga tidak merasa takut sama sekali.

***

Semakin hari, barak dalmas ini semakin tak terurus, menjadikannya terlihat cukup kumuh karna jarang disinggahi. Katanya sih, para polisi yang baru selesai pendidikan itu lebih memilih untuk mencari asrama atau kontrakan lain saja. Dari cerita yang beredar, para polisi ini mengaku memang sering mendapatkan gangguan misterius selama mereka bermalam di barak dalmas tersebut.

Pasalnya, kejadian mistis itu bukan hanya sekali atau dua kali dialami, tapi memang makhluk halus itu selalu menampakkan dirinya dan membuat mereka terganggu. Di antara mereka ada yang sering melihat penampakkan kuntilanak, kakek-kakek, atau suara-suara mistis lainnya, bahkan ada juga benda yang bergerak sendiri. Tak jarang juga ada tetanggaku yang selalu mengalami kesurupan. Hal ini menyebabkan malam hari di sekitar barak dalmas tersebut jadi cukup mencekam, khususnya bagi anak-anak sepertiku.

Kejadian-kejadian yang sering berulang ini membuat warga asrama beranggapan kalau hal tersebut pasti ulah dari para makhluk halus yang ada di pohon alpukat. Anggapan ini tidak serta merta mereka layangkan begitu saja. Hal tersebut dituduhkan karena dari beberapa orang yang sempat mengalami kesurupan itu mengaku bahwa mereka adalah para penunggu pohon alpukat yang ada di samping barak dalmas.

Sejak aku kecil, memang sudah banyak orang yang mengatakan kalau pohon alpukat itu sangat sakral. Pohon yang sudah berdiri sejak lama itu tidak boleh dan bahkan tidak bisa untuk ditebang sembarangan. Konon katanya, siapapun yang berusaha untuk menebang pohon alpukat tersebut, maka ia akan jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia. Kudengar juga, warga di sini sudah beberapa kali berupaya untuk menebangnya, namun lagi-lagi pohon alpukat itu gagal untuk ditebang dan desas-desusnya si penebang yang mencoba menebangnya itu benar-benar jatuh sakit.

Letak pohon alpukat ini memang berada tepat di samping kiri bangunan barak dalmas. Banyak orang berkesimpulan mungkin keangkeran barak dalmas ini disebabkan oleh keberadaan pohon alpukat yang tak jua bisa ditebang.

Tapi untungya, setelah beberapa tahun tak terurus, area barak dalmas ini mulai hidup kembali. Beberapa dari ibu-ibu asrama memilih untuk memanfaatkan lapangan barak dalmas ini sebagai area untuk kegiatan main voli dan juga latihan senam poco-poco dalam rangka mengikuti lomba yang akan diadakan oleh bhayangkari. Kegiatan cuma-cuma ini nyatanya cukup menarik minat warga asrama untuk menghidupkan kembali hawa-hawa kehangatan di asrama polisi. Syukurlah.

“Nay, kamu tunggu di sini ya! Jangan kemana-mana, ibu mau latihan senam dulu,” ucap ibu. Dan aku hanya mengangguk untuk mengiyakan permintaan ibu.

Pagi ini, sebelum ibu berangkat senam, aku sempat merengek kepada ibu supaya aku bisa ikut dengannya yang akan latihan senam poco-poco di barak dalmas. Usut punya usut, sebenarnya aku ini penasaran dan sudah berencana untuk menjelajahi ruangan di barak dalmas tersebut.

Sambil melihat ibu-ibu yang sudah mulai pemanasan senam, aku menyesap minumanku pelan dan memandang ke setiap sudut ruangan barak ini. Ternyata ruangannya lumayan juga, minimalis namun cukup luas.

Musik poco-poco mulai berdendang dengan begitu nyaringnya, rasanya aku juga ingin berjoget tanpa perlu mengikuti arahan instruktur senam.

Balenggang pata pata

Ngana pegoyang pica pica

Ngana pebody poco poco

Cuma ngana yang kita cinta

Cuma ngana yang kita sayang

Cuma ngana suka bikin pusing

“Heh, Nayshi. Ngapain? Hayu kita main ke sana aja!” ajakan temanku menghentikan keasyikanku yang tengah menikmati musik poco-poco.

“Rrrgghh... kemana?” jawabku agak kesal.

“Ke sana sama yang lain, di sana ada kasur buat polisi-polisi tidur. Hayu kita mainan di sana,” ajak temanku begitu antusias.

“Wah, kasur. Asyik nih bisa rebahan.”

Tanpa pikir panjang, aku pun langsung berjalan mengikuti temanku untuk main di ruangan lain yang ada di barak dalmas ini. Sambil berjalan, kupandangi sekeliling ruangan dalmas ini sambil menikmati musik poco-poco yang samar-samar masih terdengar dan terngiang di kepalaku.

“Balenggang pata pata, ngana pegoyang pica pica, poco po po po pocong,” aku pun kaget saat melihat ada sesosok pocong yang tengah berdiri di salah satu ambang pintu ruangan lain. Lirik poco poco yang tengah kusenandungkan akhirnya terpeleset jadi menyebutkan nama sosok makhluk halus tersebut.

“Hah? Kamu nyanyi apa Nay?” tanya temanku yang untungnya tidak begitu jelas mendengar perkataanku tadi.

“Eh? Ng-ngga, ga-gapapa,” jawabku terbata-bata.

“Ayo masuk ke sini. Yang lain ada di sini,” ajak temanku.

Kulihat tiga orang temanku dengan santainya bermain di atas kasur milik para polisi. Mereka berteriak memanggilku untuk segera bergabung bersamanya. Tapi aku, masih saja sibuk dengan melihat-lihat keadaan sekitar.

Aku agak bingung pagi ini, “Perasaan tadi aku melihat pocong, tapi sepertinya aku salah lihat. Tidak mungkin pagi-pagi begini ada hantu,” pikirku.

“Nayshi sini, kasurnya keras!” kata temanku dengan riangnya. Perlahan, aku mulai berjalan mendekati teman-temanku untuk ikut bergabung bersama mereka. Ya... sekedar mencoba duduk saja di ujung kasurnya.

“Eh, kasurnya keras sekali,” batinku.

(Wssssh)

Tiba-tiba, sekelebatan bayangan putih bagaikan asap melewat begitu cepat dari sudut ruangan. Percayalah, ini masih pagi. Tapi berada di ruangan barak dalmas yang sudah lama tak disinggahi ini rasanya seperti berada di kamar mayat sebuah rumah sakit. Hawanya benar-benar tidak enak, apalagi untuk anak-anak sepertiku. Rawan sekali yang namanya ketempelan.

“Duu... duuu... duuuu”. Masih di tengah ramainya suara alunan musik poco-poco, samar-samar aku mendengar satu suara yang memekakkan telinga dan suaranya cukup menggema di kepalaku. Aku mendengar suara seorang gadis yang seolah sedang bernyanyi lagu sendu, namun saat itu juga aku tidak melihat siapa-siapa di sekelilingku, kecuali 3 orang temanku tadi.

“Hmmm....” Tiba-tiba aku mendengar lagi suara.

“Suara itu seperti seseorang yang sedang berdeham, dan sumber suaranya dari kasur yang ada di pojok sana.” Aku yakin sekali, sejak tadi tidak ada siapa-siapa di kamar ini, tapi entah kenapa aku mendengar banyak suara-suara asing di dalam ruangan ini.

Temanku masih saja asyik dengan candaan yang tidak aku mengerti. Mereka tertawa seolah tempat ini memang tidak menyeramkan bagi mereka. Mungkin aku yang terlalu penakut karena hanya aku yang merasa cemas dengan keadaan di sini.

Siang hari begini, banyak sekali sekelebatan hitam dan putih yang terus aku lihat tanpa jeda. Seolah bangunan barak dalmas ini ramai sekali dengan aktivitas lain -selain manusia.

“Eh Nayshi, ayo kita ke belakang. Kata Kak Gio di belakang ada kebonnya,” ucap teman-temanku.

Sementara yang lain menuju ke bagian belakang bangunan barak dalmas, aku masih duduk terpaku di ujung kasur sambil memperhatikan sekelilingku karena rasa penasaran yang terus mengganggu. Tanpa kusadari, ternyata di salah satu kasur yang ada di pojok itu terdaat seorang polisi yang sedang beristirahat. Kelihatannya sih, dia cukup kelelahan.

“Hhh... Ternyata sedaritadi ada anggota polisi yang sedang beristirahat di kamar ini. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang, ya?” batinku heran.

“Hmm... hmm...” Seketika itu ia berdeham kembali sambil merubah posisi tidurnya, tapi tak lama kemudian ia terbangun.

“Lagi ngapain? Kok sendirian aja?” tanya pak polisi tersebut saat melihat ke arahku.

“Lagi main om sambil nungguin ibu senam,” jawabku polos.

“Ya sudah, jangan berisik ya!” pinta pak polisi tersebut.

“Iya om,” jawabku sambil berlalu untuk menyusul teman-teman yang lainnya.

Teman-temanku sepertinya saat ini sudah asyik bermain di belakang bangunan barak dalmas. Sambil berjalan, mataku tak bisa berhenti memandangi sudut-sudut ruangan yang ada di dalam barak dalmas ini. Keadaannya sangat berbedu dan semua langit-langitnya hampir diselimuti oleh sarang laba-laba.

Sesaat setelah sampai di belakang bangunan barak dalmas, aku langsung menghampiri teman-temanku yang kini sedang berusaha memainkan pompa air yang sudah berkarat. Kulihat juga ternyata di sana ada seorang kakek-kakek yang tengah memperhatikan kami semua.

“Nayshi, ini airnya gak keluar,” ucap temanku dengan santainya.

“Pasti ini pompanya udah tua, soalnya udah karatan,” celoteh temanku yang lain.

Aku hanya terdiam mendengarkan mereka semua berbicara, sambil pura-pura sesekali ikut tertawa bersama yang lainnya seolah candaan mereka itu lucu. Saat aku berniat untuk kembali ke tempat dimana ibu sedang senam, tiba-tiba saja aku melihat sosok pak polisi tadi dan posisinya tak jauh di belakangku.

Perasaanku cukup tenang, aku berpikir kalau dia sedang berusaha menjaga kami yang sedang main-main di belakang barak dalmas. Jadi, kuteruskan saja bermain di belakang barak ini bersama yang lainnya.

“De, kasih tau temennya jangan mainin pompa air itu, bahaya!” ucapnya kepadaku.

Saat ia sedang berusaha mengingatkanku, aku merasa ada yang janggal dari pak polisi ini karena wajahnya yang terlihat pucat dan juga kulit kakinya yang aneh. Kakinya tidak sama seperti manusia pada umumnya. Ia tidak menggunakan alas kaki.

Aku yang merasa heran melihatnya, lama-lama mulai memfokuskan diri dan juga penasaran perihal siapa pak polisi ini. Aku baru sadar, kenapa ia justru beristirahat sendirian di barak ini, sedang rekan kerjanya yang lain sedang sibuk berdinas.

“Felly, jangan mainan itu! Kita ke depan lagi aja yuk. Aku takut,” ajakku pada teman-teman.

“Kenapa? Kamu takut ada hantu? Kamu liat hantu?” tanya teman-temanku yang malah membuatku semakin tidak nyaman.

“Ngga, gapapa. Kita main di depan lagi aja,” ucapku yang mulai tidak bersemangat.

Sesaat setelah itu, aku dan teman-temanku bergegas untuk kembali ke ruangan yang dipakai ibu-ibu untuk latihan senam. Saat itu pulalah kejadian janggal semakin terasa. Pak polisi yang berdiri tepat di ambang pintu belakang tadi, dia hanya terdiam dengan tatapan kosong. Setelah aku melewatinya, aroma tubuh pak polisi ini benar-benar sangat menyengat dan membuatku pusing. Baunya tidak enak sekali, seperti bau busuk.

Brak!!

“Mama Nayshi, Mama Nayshi!” terdengar suara teriakan teman-temanku yang menghebohkan seisi ruangan.

“Bu, bu... itu Nayshi muntah,” ucap salah satu ibu-ibu yang memberitahu ibuku.

“Eh, Ya Allah... kamu habis ngapain kok bisa sampe muntah. Makanya jangan main lompat-lompatan,” ucap ibu cemas.

“Udah gapapa, yuk pulang. Kamu juga keringat dingin gini,” ucap ibu lalu menggendong dan membawaku pulang ke rumah dengan cemas.

Dalam gendongan ibu, samar-samar aku melihat sesosok makhluk tinggi besar yang wujudnya hampir mirip seperti wowo alias genderuwo. Seingatku, yang berdiri di sana barusan adalah pak polisi yang wajahnya pucat, tapi kenapa sekarang pak polisi itu berubah seolah seperti genderuwo. Apakah sejak tadi aku memang berbicara dengan sosok genderuwo yang menyamar dan menyerupai menjadi seorang polisi?

“Ah, kepalaku pusing sekali. Rasanya seperti ada sesuatu yang menekan, sesak, dan juga mual. Kenapa sosok tinggi besar itu memiliki cahaya merah yang menyinari sekeliling tubuhnya dan giginya juga bertaring. Bu, aku lemas sekali. Pusing, kenapa kepalaku semakin berat jika aku terus melihatnya,” batinku merintih, sedang ragaku sudah semakin lemas.