Kuas berjalan di atas kanvas, memoles warna pada sketsa indah yang sudah dibuat. Tangan itu sangat pandai memadu padankan warna, menciptakan dunia lewat lukisan indah. Semua mata akan terpesona dengan keindahan itu, gambar yang tertuang di sana seakan hidup dan bercerita. Itulah dunia Zia, tidak lain hanyalah tentang dia yang pandai menciptakan kehidupan baru.
Masih di tempat yang sama, seorang pemuda tengah memotret keindahan jalan ibu kota. Padatnya jalanan dan ramainya para pengguna jalan tampak sangat indah di matanya. Jepretan dari kameranya selalu tampak lebih mempesona dibandingkan dilihat oleh mata telanjang. Langkahnya terhenti saat ada objek yang menurutnya indah, tangannya mulai memutar kamera, lantas memotret apa yang dia kagumi itu.
Objek indah yang tengah dilihatnya saat ini bergerak, dia melirik, dan menatapnya. Sontak pemuda itu menurunkan kameranya, lantas membalas tatapan itu. Mata mereka beradu beberapa saat, sampai akhir seseorang membuat wanita di depan sana kembali mengubah posisi wajahnya.
"Hai, ini udah jam 5. Pulang yuk, udah selesaikan lukisnya?" Anggukan dari gadis itu membuat pemuda di sisinya tersenyum.
Pemuda itu lantas berjongkok dan membantu membereskan semua barang-barang milik gadis itu. "Nathan! Pulangnya mampir ke rumah Bunda dulu, yuk!"
"Om Kenan udah minta aku buat bawa kamu pulang. Ini jadwal kamu di rumah, kan?"
"Nathan!" rengeknya.
Pemuda yang dipanggil Nathan itu tetap menggeleng. Dia sudah berjanji untuk membawa Zia kembali pulang ke rumah ayahnya. Gadis itu bernama Zia Adera Carter, anak perempuan dari pengusaha ternama Kenan Rai Carter.
"Zia! Lihatlah usiamu sudah berapa, masih saja keras kepala. Aku belikan vanilla cake, tapi pulang. Gimana?"
"Janji?" Anggukan dari Nathan membuat si gadis menarik kedua sudut bibirnya.
Setelah mereka membereskan semua alat melukis, Zia pun mengambil tangan Nathan, lantas merangkulnya. Keduanya berjalan menelusuri trotoar untuk mencapai parkiran. Tentu saja mereka tidak akan berjalan kaki. Zia dan Nathan adalah keturunan Carter.
"Belinya di Green Cafe, kan?"
"Iya. Makasih, ya." Nathan melirik Zia yang saat ini tengah duduk di samping kursi pengemudi. "Iya, kamu masih mau bertahan sama aku. Harusnya kita gak seperti ini, tapi aku—"
Cup!
Bibir Nathan menghentikan mulut Zia yang sedari tadi mengoceh. "Jangan bicara lagi, berisik. Aku mencintaimu," ucapnya yang membuat Zia tersenyum.
Gadis itu hanya bisa tersenyum karena 3 hal saja. Lukisannya, Nathan, dan juga sosok perempuan hebat bernama Alena. Zia bukanlah gadis beruntung, dia terlahir dengan banyak duka dalam keluarganya. Itulah kenapa, dia sedikit tertutup untuk orang luar.
***
"Nathan! Mau dulu yuk, kita makan kuenya barengan aja di dalam."
Nathan mengeluarkan ponselnya, menunjukkan banyaknya pesan singkat yang dikirimkan ibunya. Nathan sangat patuh dan dia tidak bisa mengabaikan orang tuanya. "Baiklah. Titip salah buat Paman sama Tante Nadira, ya!"
"Iya. Kamu baik-baik, jangan berantem terus. Sekali-kali ngalah, ya!" Zia mengangguk saat kekasihnya itu mengusap rambutnya.
Zia masuk ke dalam setelah memastikan mobil Nathan melesat jauh. Langkahnya mulai memasuki rumah, suasana di sana sangatlah sepi. Namun, kali ini Zia membuang napasnya dengan kasar saat matanya menemukan banyak hal yang membuatnya muak.
Ada banyak barang-barang berjatuhan, high heels wanita tergeletak di sembarang tempat, dan bahkan ada beberapa pakaian berserakan di atas sofa. Zia melihat ke salah satu kamar yang tidak tertutup dengan rapat. "Memalukan," gumamnya.
Zia menaiki anak tangga, dia malas berada di rumah dengan pemandangan seperti ini. Bagaimana tidak, Kenan selalu saja mengabaikannya, tetapi dia selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu dengan wanita-wanita penghibur itu. Inilah salah satu alasan kenapa Zia tidak betah berada di rumah.
"Zia! Habis dari mana kamu?" Langkah Zia terhenti, dia berada di pertengahan anak tangga yang mengarah ke kamarnya.
Zia berbalik dan menemukan Kenan bersama seorang wanita. "Pulang sama Nathan lagi?"
Bukannya menjawab, Zia malah kembali melanjutkan langkahnya. Akan tetapi, kali ini Kenan berteriak kembali yang membuat Zia harus berbalik lagi.
"Kamu dengerin Ayah ngomong gak, sih?"
"Apa? Iya, Zia pulang sama Nathan. Kenapa?"
"Sini! Duduk!" ucap Kenan memerintah.
Kenan tampaknya terpengaruh alkohol. Semenjak berpisah dengan Alena, dia memang sedikit tidak terkendali. Sempat membaik, tetapi saat tahu kalau Alena menolaknya untuk kembali lagi, Kenan menjadi lebih gila dari sebelumnya. Dia bahkan memecat banyak anak buah hanya karena mereka berkomentar soal perubahan Kenan saat ini.
Zia teringat dengan ucapan Nathan yang memintanya untuk tidak bertengkar lagi dengan Kenan. Zia pun memutuskan untuk menurut, Zia kembali turun, dan duduk di sofa yang Kenan tunjukkan.
"Pergilah ke kamar, aku harus bicara dengan putriku dulu." Kenan meminta wanita itu untuk masuk ke kamarnya lagi.
Zia melihat bagaimana ayahnya itu bersikap sangat manis. Dia hanya bisa membuang wajahnya. Kenapa Kenan tidak bisa melakukan hal manis itu padanya? Zia tersenyum getir dan senyuman itu dilihat Kenan.
"Masih berhubungan sama Nathan? Kapan kalian mau putus?"
"Kapan Ayah mau berhenti kayak gini?" Zia malah balik bertanya.
"Zia, jangan membuatku marah. Lihatlah dirimu, kamu sungguh menyedihkan."
"Ini semua karena Ayah. Zia begini karena Ayah, Yah. Ayolah, lihat diri Ayah sendiri dan seberapa menyedihkan Ayah sekarang. Jangan meminta Zia untuk menjauhi apa yang membuat Zia bahagia, Zia gak bisa!" tolak Zia.
Kenan tersenyum, dia melihat Zia yang saat ini tengah berusaha membendung air matanya. "Ini juga karena dirimu, Zia. Andai kamu bisa membujuk Alena untuk kembali padaku, mungkin aku tidak akan seperti ini. Mungkin aku akan memikirkan kamu dan Nathan."
"Jauhi dia, Zia. Atau aku akan membunuhnya!" ancam Kenan.
"Zia gak peduli. Selagi Ayah masih suka bermain dengan mereka, apa pun yang Zia lakukan tolong jangan ikut campur," ucap Zia yang kini beranjak dari sofa dan berlari menuju kamarnya.
Kenan dan Zia memang sama-sama keras. Dari dulu, keduanya tidak pernah bisa memiliki satu tujuan yang sama. Selalu banyak perdebatan yang sebenarnya bisa mereka akhiri hanya dengan saling mendengarkan.
***
Sementara itu di tempat lain, Nathan baru saja sampai ke rumahnya. Saat dia membuka pintu, kedua orang tuanya sudah duduk menunggu kedatangannya. Nathan mengacak rambutnya, dia tersenyum, lalu menghampiri keduanya.
"Tumben banget Papa sama Mama minta Nathan buat pulang cepat. Ada apa?"
"Duduk! Papa mau bicara," ucap Zafran.
Nadira mengisyaratkan pada Nathan agar mengikuti apa yang Zafran katakan. Nathan pun duduk, dia yakin kalau Zafran hanya akan membahas soal hubungannya dengan Zia.
"Ayah dengar kamu masih berhubungan dengan Kak Zia, iya?"
"Jawab Papa, Nathan!" Nathan mengangguk, dia tidak berani mengangkat kepalanya.
"Dia itu anak dari kakak kandung Papa, Nathan. Apa kamu tidak bisa mencari wanita lain? Umur kalian juga terpaut sangat jauh. Apa kamu tidak malu berhubungan dengan wanita yang jauh lebih dewasa dari dirimu?"
Awalnya Nathan hanya diam saja. Iya, percuma kalau dia berdebat pun Zafran akan tetap mempertahankan hal yang sama setiap waktunya.
"Apa aku tidak boleh mencintai wanita yang lebih tua dariku?"
"Bukan tidak, Nathan. Hanya saja jangan Zia!"
Penolakan yang sama. Selalu itu yang diucapkan semua pihak pada hubungannya. Memangnya kenapa jika Zia? Mereka tidak keluar dari rahim yang sama. Lantas di mana letak kesalahannya? Nathan hanya tersenyum hambar, dia tidak mengerti kenapa mereka semua menentang hubungannya ini.
"Ini tidak akan baik untuk—"
"Reputasi keluarga Carter kan, Pa? Peduli apa, aku tidak merugikan siapa pun di sini. Kami saling mencintai. Aku juga tidak ingin membiarkan Zia terus terluka sendirian, aku ingin menemaninya, menjaganya." Nathan tahu kalau sampai kapan pun hubungan mereka akan selalu mendapatkan pertentangan. Akan tetapi, Nathan sama sekali tidak peduli dengan itu.
"Nathan, kamu bisa mendapatkan banyak wanita yang lebih-lebih dari Zia di luar sana. Jangan Zia, Papa akan membiarkan kamu berhubungan dengan siapa pun asalkan jangan Zia."
"Aku hanya mencintai Zia, Pa." Nathan pun bangkit dan pergi dari sana.
Apa pun yang diinginkan Zafran dan Nadira. Apa pun yang diarahkan kedua orang tuanya, Nathan pasti akan mengikutinya. Hanya saja, untuk soal perasaan dia sangat sulit dikendalikan. Zafran sudah sering memintanya menyerah, mengakhiri semuanya, hanya saja akhirnya hanya akan seperti ini.