"Tidak ada yang lebih membahagiakan bagiku, selain melihat kamu hidup dan kembali bernapas tepat di depan kedua mataku."
***
Tangan kekar itu menggenggam erat sebuah mahkota bertahtakan permata putih dan delima. Sudah beberapa menit berlalu sejak ia memasuki sebuah portal bersama kakaknya yang menjelma menjadi seekor Unicorn putih dengan sayap gagahnya.
Pangeran Samuel benar-benar membawa Pangeran Levin. Ya, lebih tepatnya Levin menunggangi Unicorn tersebut. Hal ini sudah biasa terjadi selama ratusan tahun ini. Samuel membantu adiknya menjelajahi dimensi lain untuk menemukan sang kekasih, Putri Alexa.
Permata delima dari mahkota itu memendarkan cahaya, Levin tercekat lanjut meremang. Ia tidak percaya, setelah seribu tahun menunggu akhirnya impiannya terealisasikan juga. Netranya mengembun bahagia.
"Pangeran Samuel, mahkotanya mulai bereaksi. Kita akan keluar sekarang. Kita menemukannya." Levin terlalu bahagia sampai tidak sadar menarik surai keemasan Unicorn tersebut.
Seketika Unicorn tersebut memberontak. Levin terkejut saat ia jatuh terpental dari atas Unicorn yang ia tunggangi. Dan kini ia berhasil keluar dari portal itu dengan Unicorn yang jatuh tepat di atasnya.
"SAMUEL!!" Levin memekik saat merasa tulang punggungnya mulai remuk. Unicorn itu segera bangkit lalu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
"Astaga, kepalaku pusing sekali." Unicorn tersebut bersuara.
"Astaga, punggungku rasanya remuk. Kamu menimpaku, Samuel." Levin bersungut sambil memijat bahu dan punggungnya, dia melakukannya sendiri. Kakak Unicornya tidak bisa diandalkan sekarang.
"Jangan menyalahkanku. Kamu yang memulainya, tega sekali kamu menarik suraiku. Itu sangat sakit, Lev."
"Iya-iya, maaf. Aku memang salah. Tapi aku tidak sadar melakukan itu karena terlalu senang. Harap dimaklumi."
"Apa-apaan itu. Aku memang sudah sering memaklumimu. Kalau tidak ingat kamu adalah adikku, sudah kukirim kamu ke dewa Hades."
"Kamu berdosa sekali, Sam." Levin bergidik mendengar perkataan kakaknya itu. Mengingat Dewa Hades adalah Dewa dunia kematian yang berkuasa di dunia bawah dalam mitologi Yunani Kuno. Dia merupakan kakak laki-laki tertua dari Dewa Zeus.
Mencoba melupakan hal tersebut, Pangeran Levin kini segera bangkit dengan masih menggenggam mahkota di tangan kirinya lalu mengamati sekitar. Suasana tampak gelap dan sunyi.
"Kita berada di abad apa ini?" Levin terus berjalan. Ia tiba di depan sebuah pagar putih yang menjulang tinggi.
"Pangeran Samuel! Kemari!" Levin memanggil Unicorn yang diam tidak bergerak sejak tadi.
"Kamu duluan saja. Aku ingin menghirup udara di sini. Terlihat berbeda dengan Athena kita." Unicorn itu menggerakkan ekornya yang berwarna keemasan.
"Astaga. Samuel!" Levin berdecak. Netranya masih mengamati bangunan bercat putih yang berjajar rapi di depannya dengan pagar yang menjulang tinggi.
"Kenapa lagi?" Pangeran Samuel yang masih berwujud Unicorn itu pun mendekati Levin. Sepertinya terlihat masih kesal.
"Kamu lihat istana ini, Sam. Apa di sini Alexa tinggal sekarang? Kenapa berbeda dengan istana di Greece ya?!"
"Ya, kamu benar. Bangunan istana ini tidak terlihat klasik sama sekali. Sepertinya kita berada di peradaban baru, Lev. Kita sudah menjelajahi ratusan dunia paralel selama ini, tapi tidak ada yang seperti ini." Samuel menatap mahkota di tangan adiknya, netranya langsung melebar.
"Lev, lihat mahkotanya!"
Perkataan kakaknya membuat Levin mengangkat mahkota di tangannya, ia langsung terkesima. Mahkota itu memendarkan cahaya indah berwarna putih dan merah delima. Cahaya yang lebih terang dari sebelumnya.
"Kita sudah semakin dekat dengan Alexa, Sam." Levin tersenyum manis dengan netra yang sudah berkaca-kaca.
"Ya, aku juga merasakan kekuatan magis yang sangat kuat di sini. Ayo, Lev! Aku akan membantumu menemukan Alexa."
Tidak menunggu lama, tanduk di kepala Unicorn itu mengeluarkan cahaya putih, pagar putih itu seketika terbuka. Levin segera masuk, hatinya menuntunnya sekarang.
Ia tidak menghiraukan lagi Samuel. Kakinya terus melangkah menuju bangunan tinggi dua lantai di hadapannya. Pintu depan terbuka dengan sendirinya, Levin kembali menapaki lantai marmer berwarna putih itu dengan boot coklatnya.
***
Di tempat lain, seorang perempuan cantik berambut blonde baru saja keluar dari pintu samping rumahnya dengan menjinjing plastik hitam sampah pada kedua tangannya. Raut wajahnya terlihat kesal.
"Dosa apa aku di masa lalu, Tuhan? Punya kakak tapi selalu membuat kesal. Tidak mau menunggu besok. Bisa-bisanya kakak menyuruhku membuang sampah malam-malam begini. Astaga, untung aku sayang."
Perempuan itu terus menggerutu hingga ia berhasil mencapai pagar rumahnya. Kini ia membuka perlahan pagar dan meletakkan plastik tersebut ke dalam tong kayu hitam yang berada di dekat tembok pembatas luar pagar.
Sesaat kemudian, hawa dingin merasuki kulit putihnya yang malam itu hanya dibalut oleh kemeja tipis bermotif tartan. Perempuan cantik itu mendongak kemudian menganga dengan netra yang sudah melebar.
"U-Unicorn?!" Kakinya gemetaran menatap makhluk yang setahunya hanya ada di kisah mitologi yunani kuno itu. Tangannya bergerak perlahan mengucek kedua matanya, lanjut menepuk kedua pipinya berkali-kali.
"A-aku tidak bermimpi. I-ini nyata." Ia kesusahan menelan salivanya. Dadanya mendebarkan rasa takut, namun kakinya masih berani melangkah mendekati makhluk yang berdiri tidak jauh darinya.
Kini ia berada tepat di depan Unicorn tersebut. Jemarinya bergerak perlahan menyentuh lembut surai keemasan itu.
"Indah sekali. Bagaimana bisa makhluk ini sampai di sini. Dan kenapa pagar rumah Lyora terbuka?"
"Aku punya nama. Kenapa kamu dari tadi menyebutku makhluk, hmm?"
Perempuan itu terlonjak kemudian jatuh terjungkal ke badan jalan. Dadanya semakin berdegup kencang menatap Unicorn yang kini menatapnya tajam. Ia tidak salah lihat. Unicorn itu benar-benar menatapnya tajam.
"Ka-kamu bisa bicara? Kamu makhluk jadi-jadian ya?!"
"Aku Unicorn, bukan kuda biasa. Tentu saja aku bisa berbicara."
"A-apa kamu dikutuk menjadi Unicorn? Aku biasa membaca dongeng seperti itu."
Cahaya putih terang dari Unicorn itu begitu menyilaukan matanya. Ia menahan cahaya putih itu dengan kedua tangannya. Belum habis rasa keterkejutannya dengan seekor makhluk langka di depannya tadi, kini gadis itu kembali terlonjak saat menatap satu sosok tampan yang kini menjulurkan tangan ke arahnya.
"Pa-pangeran?! Kamu pangeran yang dikutuk?" Matanya mengerjap berulang kali memastikan sosok tersebut adalah nyata, bukan hanya ilusi semata.
"Cepatlah bangun! Aku sudah berbaik hati mau membantumu." Lelaki tampan itu masih setia menjulurkan tangannya. Perempuan itu dengan ragu-ragu menyambut uluran tangan kekar tersebut. Kini ia sudah berhasil berdiri tegak.
"Aku jelaskan dulu satu hal. Aku tidak dikutuk. Aku hanya mewarisi kekuatan Unicorn dari Padre-ku. Dan namaku Samuel, jangan panggil aku makhluk lagi." Lelaki itu menatap datar perempuan di depannya.
"Samuel? Sepertinya namamu tidak asing? Apa kamu keluar dari buku komik? Bagaimana bisa ada hal semacam itu di abad modern sekarang?!"
"Astaga. Dari mana kamu mendengar kisah seperti itu? Komik itu apa?"
"Komik itu buku cerita bergambar. Aku suka membaca komik fantasi. Apa kamu keluar dari buku komikku, Samuel?" Perempuan itu pun kembali mengerjap.
"Jangan berbicara hal gila seperti itu. Kamu jadi semakin aneh saja. Siapa namamu?"
"Sudah menghina, sekarang malah menanyakan namaku. Tidak sopan."
"Kamu yang sudah tidak sopan kepada seorang pangeran. Ya sudah, lupakan saja. Aku tidak tertarik untuk mengetahui namamu. Cepat pergi dari sini." Samuel dengan kedua tangan yang saling mengait ke belakang itu memalingkan wajahnya.
"Ya Tuhan. Sombong sekali dia. Padahal hanya Pangeran Unicorn. Ini masih wilayah rumahku dan rumah sahabatku, kenapa kamu berani sekali mengusirku?"
"Ternyata masih ada wanita yang lebih galak dari madre. Aku tidak percaya ini."
"Aku lebih tidak percaya dengan nasib burukku malam ini bisa dipertemukan dengan makhluk aneh sepertimu." Perempuan itu berlalu cepat lalu lenyap di balik pagar putih tersebut.
"Hei! Sudah aku katakan jangan panggil aku makhluk!" Samuel berteriak, namun sepertinya sia-sia saja. Perempuan itu sudah menghilang dari pandangannya. Samuel menghembuskan napasnya, lelah.
***
Kaki beralaskan sepatu boot coklat itu baru saja menapaki lantai kedua setelah sebelumnya menaiki tangga putih yang melingkar tinggi di dalam bangunan megah tersebut. Tungkainya melangkah perlahan melewati beberapa ruang di lantai atas, lalu tiba-tiba berhenti.
Levin sekarang berada di depan sebuah pintu minimalis bercat putih. Dadanya berdebar saat tangannya meraih gagang pintu tersebut. Ia merasa semakin dekat dengan kekasihnya.
Pintu dibuka perlahan, Levin segera memasuki ruangan yang hanya memiliki cahaya temaram dari lampu tidur di atas nakas sisi tempat tidur itu. Ia mendekat dengan hati-hati.
Torsonya sudah berdiri gagah di sisi bed tersebut. Buliran bening seketika menetes dari kedua netranya. Seorang perempuan cantik yang tengah terlelap itu begitu menggetarkan hatinya. Sosok yang selama seribu tahun ini selalu dirindukannya.
"Putri Alexa … Akhirnya aku menemukanmu." Suaranya bergetar, hatinya memekar bunga-bunga cinta. Levin merasa kebahagian itu kembali menghampirinya setelah sekian lama.
To be continued ….