Putri menelan salivanya sendiri, semua mata yang ada di aula tersebut memandang mereka. Putri hampir kehilangan keseimbangannya, sepatu hak yang tinggi membuatnya ingin segera melepaskan beban kakinya saat itu.
Irfan memegang pinggang Putri dengan sigap, Putri kembali menjaga keseimbangannya. Irfan menatapnya dengan tersenyum, "Hati-hati sayang." Ucapnya pelan, walaupun pelan Putri yakin semua tamu undangan di aula tersebut dapat mendengarnya.
Bodohnya Putri, kali ini ia sudah tidak bisa mundur. Sebuah cincin emas, dengan permata di tengahnya sungguh Indah. Tapi tidak seindah perasaannya.
Irfan sudah memegang cincinnya juga, kali ini wanita itu memberikan instruksi kepada mereka berdua, untuk saling memakaikan di jari pasangan masing-masing.
Putri kembali menarik nafasnya, ia ingin menangisi keputusan bodohnya. Irfan sudah memasangkan cincin di jari manis Putri. Dan masih menunggu Putri untuk gantian memakaikannya. "Putri?" ucap Irfan pelan, tapi cukup membuyarkan lamunannya.
Putri pun sedikit tersenyum, dan dengan pelan memakaikannya di jari Irfan. Suara tepukan meriah terdengar dari seluruh ruangan. Beberapa kilau dari cahaya flash membuat mata Putri silau. Putri dapat melihat anggota keluarganya tersenyum, dan bisa melihat wajah ayahnya yang tampak sedih melihat Putri yang kali ini bergandeng dengan Irfan.
Selanjutnya adalah menikmati hidangan makan malam, "Putri, aku akan menyapa beberapa kolega. Tidak apa-apa kalau kamu kutinggal sendiri?" Tanya Irfan dengan sopan.
"Atau kau ingin ikut denganku?" Irfan mencoba memberi saran. "Kamu tau Irfan, aku banyak tidak mengenal para undangan. Lebih baik aku bersama dengan teman-temanku. Boleh?" Putri pun tersenyum dan memohon penuh harap. "Beneran, aku gak apa-apa kok." Ucap Putri meyakinkan kembali.
"Aku segera kembali, OK." Ucap Irfan dengan sungguh-sungguh. Dan Putri masih merasa canggung dengan sikap Irfan yang menjadi perhatian dengannya. Putri menatap sekelilingnya, Roy dan Surya dengan istri mereka bergabung dengan Irfan.
Menyapa seorang pria tua dengan kumisnya yang kaku, bahkan pria tersebut tertawa dengan suaranya yang berat. Kakak kembarnya, sedang berkenalan dengan seorang gadis yang berkumpul di area kudapan.
Wira dan Rian, ditemani oleh pacar mereka sedang sibuk berbincang-bincang. Putri baru saja ingin menghampiri mereka, tapi langkahnya terhenti. Sepertinya ini momen yang tepat untuknya untuk sedikit menjauh dari kerumunan.
Putri berjalan mengitari aula, berharap bisa menemukan Andi. Tapi usahanya sia-sia, apa mungkin Andi sudah pulang? Itu yang ada dipikirannya. Putri menemukan sebuah sudut ruangan yang tampak sepi, dan merupakan jalan buntu.
Tidak ada satupun orang yang berada di sudut ruangan tersebut, Putri bisa bernafas lega. Setidaknya ia punya untuk waktunya sendiri, Putri melepaskan sepatu haknya yang tinggi. Mulai memijat-mijat tumit dan betisnya yang mulai pegal, bahkan kali ini Putri bisa melihat ada lecet yang cukup parah diantara pergelangan kakinya.
Putri mulai meringis kesakitan, ketika mencoba untuk memakai sepatunya. Dan dengan mendengus kesal, kembali melepas sepatunya dan kembali memegang pergelangan kakinya.
"Kamu gak apa-apa Putri?"
Suara itu Putri sangat mengenalnya, dan dengan cepat Putri mendongak untuk melihat sosok tinggi yang sudah berdiri di depannya.
"Andi??" Ucap Putri dengan terkejut, dan langsung menegakkan tubuhnya. Merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, dan bertingkah cukup aneh di hadapan Andi.
"Kok kamu bisa ada disini?" Tanya Putri dengan canggung, dan ia sendiri pun bingung kenapa ia harus bertinggah seperti itu. Padahal biasanya, ia sangat bersikap santai jika Andi berada di depannya.
"Orang tuaku salah satu kolega dari keluarga Wijaya, kami dapat undangan pertunanganmu dengan Irfan." Jawab Andi datar.
"Oh.." Jawab Putri pelan, dan masih canggung.
"Kamu apa kabarnya?" Tanya Putri kembali. "Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja." Jawab Andi kali ini ia mulai melangkah dan mendekati Putri.
"Kaki kamu lecet?" Andi menunduk dan melihat pergelangan kaki Putri yang kulitnya sudah mulai terkelupas dan memerah. "Iya hanya sedikit, mungkin karena aku tidak terbiasa dengan sepatu ini." Jawab Putri dan menunjukkan sepatu yang ia pegang.
"Selamat ya, atas pertunanganmu dengan Irfan." Ucap Andi, dan Putri tau ia tidak tulus mengucapkanya. "Andi, kau tidak perlu mengucapkan selamat untukku." Balas Putri.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf." Ucap Putri.
"Minta maaf untuk apa?" Andi menatap Putri dengan tatapannya yang tajam
Putri terdiam, dan masih bingung harus mengucapkan alasan apa. Andi semakin mendekat ke arahnya dengan wajahnya yang marah.
"Minta maaf karena apa Putri? Karena pertemanan kita? Atau karena kau lebih memilih Irfan? Aku bahkan bisa melihat wajahmu dan Irfan di beberapa Artikel yang membuat kalian berdua semakin terkenal sebagai pasangan." Ucap Andi dengan kesal dan semakin mendekat ke arah Putri, Putri pun berjalan mundur takut melihat kemarahan Andi.
"Andi, bukan itu maksudku. Kejadiannya tidak seperti yang kamu bayangkan." Bela Putri yang sudah terpojok di dinding, kali ini Andi sudah membentengi Putri dengan kedua tangannya. Andi bisa melihat jelas wajah Putri yang ketakutan memandangnya.
"Memangnya kamu tau Putri, apa yang sudah aku bayangkan?" Gertak Andi.
"Andi! Aku minta maaf atas kekecewaan kamu, aku minta maaf karena telah membuat kamu menjadi.."
"Sekarang coba kamu bicara jujur Putri, apa kamu benar-benar mencintainya?" Andi tidak menghimbaukan permintaan maaf Putri.
"Apa salah kalau aku juga mencintai kamu Putri?" Andi kembali bertanya, "Apa kamu tau rasanya dicampakkan dan merasa tidak berharga?" Ucap Andi semakin marah.
Putri tidak kembali menatap Andi, dan kali ini menunduk. Air matanya yang sudah ia tahan akhirnya keluar dengan perlahan. "Cukup Andi, aku mencintai Irfan. Dan lebih baik kita lupakan masa lalu kita." Ucap Putri dengan lantang, dan masih tertunduk.
Andi menurunkan benteng tangannya, dan menatap Putri yang tertunduk. Andi benar-benar kesal, dan merasa tidak percaya dengan apa yang Putri katakan. "Ok. Kalau itu memang mau kamu Putri. Kita lupakan semuanya, semuanya !! Dan anggap aku tidak pernah mengenalmu." Andi membalikkan badannya.
"Dan aku harap, kau bisa dengan cepat melupakan aku Andi." Jawab Putri yang melihat punggung Andi. Andi semakin menjauh dan menghilang dari hadapan Putri. Putri yang masih tertunduk, kini mulai menyeka air matanya.
Rasanya sangat sakit mengatakan hal itu kepada Andi, isak tangis tidak terdengar dari mulutnya. Tapi air matanya masih berlinang, tidak bisa ia hentikan. Semakin ia menyeka, semakin keluar air matanya.
Irfan yang menemukan Putri, dan melihat Putri yang berlinang airmata. "Putri, kamu kenapa?" Tanyanya dengan wajahnya yang tanpa ekspresi, Irfan melirik ke arah sepatu yang Putri gantungkan di lengannya.
Irfan mendekati Putri, dan mencoba memberikan uluran tangannya. Putri menolak uluran tangan Irfan, dan menyeka airmatanya dengan cepat.
"Sudahlah Irfan, cukup dengan acting-mu !! Cukup bermain pura-pura. Aku bisa mengurus diriku sendiri." Ucap Putri dengan lantang, dan mulai memakai sepatunya dengan cepat. Kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan Irfan yang masih menatapnya dengan datar.
Irfan melihat Putri yang sudah mulai menghilang, kemudian tersenyum sambil menutup telapak tangannya yang tadinya mencoba untuk mengulurkan bantuan kepada Putri. Irfan mendengar semuanya, mendengar percakapan antara Putri dan Andi.
"Sebenarnya siapa yang ber-acting, dan bermain pura-pura?" Ucap Irfan pada dirinya sendiri. "Asal kamu tau Putri, aku Irfan tidak pernah berpura-pura ." Ucap Irfan tersenyum lebar.
Terimakasih untuk yang sudah membaca sampai bab ini.
Jangan lupa untuk dukung saya. caranya.
1. Vote dengan Power Stone.
2. Berikan Review anda.
3. Beritkan Rate bintang lima untuk bab yang sudah dibaca
4. Share Cerita ini pada teman dan keluarga ya.
Terimakasih :)
Find me on IG Sita_eh