Putri duduk terdiam di bangku taman rumahnya, menatap langit sore yang cerah. Menatapi bunga mawar yang mulai bermekaran. Ia ingat Mega memberikan bibit bunga untuk Putri, agar dia bisa untuk memulai menanamnya, agar Putri bisa menyaksikan bagaimana indahnya bunga itu saat mulai bermekaran.
Setiap anggota keluarga terlihat sangat sibuk, bagaimana pun juga malam ini adalah malam pertunangannya dengan Irfan. Dan kurang dari satu minggu Putri harus menghadapi ujian akhirnya.
Lengkap sudah cobaannya, Putri berkali-kali merapikan gaunnya. Leyna – kaka iparnya sangat bersemangat memesankan gaun khusus untuknya. Putih, gaun itu terlalu putih untuk Putri. Membuat matanya seperti silau pada saat melihat pertama kalinya.
Gaun itu panjang hingga ke mata kakinya, dan ada belahan tinggi yang berada di sampingnya hingga lututnya. Gaun tersebut sedikit ketat di bagian pinggulnya, membuat Putri terlihat sulit untuk bergerak ketika mencoba melangkahkan kakinya.
Kerahnya yang berbentuk oval dengan lengannya yang hanya sebahu, membuat Putri tampak lebih dewasa. Putri kembali menarik nafasnya, rambutnya yang ia biarkan terurai panjang dengan ikal, hanya diberikan sedikit jepit hitam tipis yang bertengger di poninya.
"Kamu gak apa-apa, Put?" Tanya Wira yang muncul dari belakangnya, menatap adiknya yang terlihat sedih. "Eh Ka Wira, gak apa-apa kok. Mega sudah datang?" Tanya Putri memaksakan senyumannya. Wira pun memutuskan untuk duduk bersebelahan dengan adiknya.
"Ini aku mau jemput dia, kamu gak undang teman-temanmu? Kata papa kita bisa ajak teman-teman terdekat." Ucap Wira, "Mmm, aku undang Linda untuk datang. Yahh walaupun sebenarnya tanpa diundang pun dia akan datang dengan Ka Rian bukan." Ucap Putri masih memaksakan senyumannya.
"Andi?" Tanya Wira, Putri menatap wajah kakaknya dengan kaget kemudian dengan cepat menunduk. "Sorry, aku tau masalah diantara kalian. Mega menceritakan semuanya." Ucap Wira yang langsung menyadari kesalahannya.
"Bisa dikatakan hubungan persahabatan kita sedang dalam keadaan tidak baik. Memang sudah waktunya kami saling instropeksi diri." Jawab Putri pelan.
"Kamu tau, Put? Kamu gak perlu melakukan hal ini, apalagi sampai mengorbankan... Ini masih bisa dibatalkan bukan." Ucap Wira dengan ragu, Putri menatap Wira. Ia sadar kakaknya mencoba untuk menghiburnya.
"Gak apa-apa kok kak. Beneran deh. Lagian Putri juga senang dengan kondisi sekarang ini. Keluarga kita lebih harmonis, walau tanpa kehadiran mama." Putri memegang erat tangan kakaknya untuk meyakinkan omongannya.
Wira pun membalas dengan memberikan pelukan hangat kepada adiknya, "hei kalian lagi apa sih? Kok jadi seperti adegan perpisahan? " Raja muncul dari belakang, disusul dengan Rafa yang tidak mengenakan jasnya dan lebih memilih meletakkan di lengannya.
"Kita harus segera berangkat sekarang, semua sudah siap? Dan kamu gak boleh ketinggalan Putri." Ucap Rafa seraya menunjuk adiknya yang masih berkaca-kaca. "Ayo dong tersenyum sedikit." Ledek Raja, yang memegang erat bahu adiknya.
"Kamu mau dibatalkan Put? Acara pertunangan ini?" Senyuman Raja semakin melebar. "Kita bisa kok, buat sedikit kekacauan." Timpal Rafa tersenyum dengan licik.
"Kalian jangan bertindak yang aneh. " Ucap Wira curiga menatap kakak kembarnya. "Ayo kita berangkat, jangan sampai telat." Putri bangkit dari duduknya, tidak menghimbaukan rencana kakak kembarnya, dan membawa sepatunya heels-nya dengan tangan kirinya. Enggan untuk memakainya sekarang, karena membuat tumitnya sangat sakit.
Putri lebih memilih untuk satu mobil dengan ayahnya, seringkali ayahnya menggenggam tangan Putri dengan erat. Tidak banyak bicara, tapi Putri yakin ayahnya hanya ingin melindunginya. Ia sudah menahan air matanya untuk tidak keluar, rasanya sangat aneh jika ia harus bertunangan dengan orang yang bahkan bisa dengan hitungan jari ia bertemu dengan Irfan.
Sebuah hotel telah disiapkan untuk acara pertunangan mereka, Putri masih mengingat hotel ini. Tempat pertama kali ia bertemu dengan Irfan, kali ini sebuah ballroom besar telah disiapkan.
Ia pun telah mengenakan sepatu tingginya, ada beberapa media yang telah menunggu kedatangan keluarga Soedarmo. Sungguh canggung bagi dirinya untuk mempertahankan senyumannya.
Banyak undangan yang datang, dan Putri tidak banyak megenal wajah-wajah baru. Ia merasa acara pertunangannya terlalu berlebihan. Keluarga Wijaya sudah tiba, Putri bisa melihat tante Rita sibuk menyapa para tamu undangan begitu juga dengan orangtuanya.
Irfan berpenampilan sangat sempurna, rambutnya yang tertata rapi, dengan jas hitam yang ia kenakan membuat semua mata wanita memandangnya. Irfan dengan pelan menghampiri Putri.
Meraih tangan Putri dengan lembut, dan menyapa anggota keluarga Putri dengan sangat sopan. Putri pun tidak bisa menolak, dengan pasrah Irfan membawanya ke area VIP khusus untuk anggota keluarga.
Terdapat sebuah panggung kecil, seorang wanita cantik bersiap-siap untuk membuka acara. Sedangkan pria disampingnya, sibuk memainkan lantunan musik dari pianonya yang besar.
Putri akhirnya mengetahui, bahwa wanita itu adalah pembawa acara mereka malam itu. Wanita itu membuka acara dengan memberi sambutan kepada keluarga Soedarmo dan keluarga Wijaya. Mengumumkan acara pertunangan dua keluarga besar.
Putri yang duduk bersampingan dengan Irfan, terlihat sangat gugup dan Irfan menyadarinya. Irfan pun menggenggam tangan Putri dengan erat, dan meletakkan tanggannya di atas tangan Putri.
"Jangan terlalu gugup, sayang." Ucapnya dengan manis, Putri langsung menatap Irfan dengan kesal, sejak kapan panggilan sayang itu terucap dari mulutnya. "Jangan menatapku seperti itu, bersabarlah sedikit. Kalau kita sudah menikah kau akan dengan bebas menatapku setiap saat." Ucap Irfan dengan senyum liciknya, kemudian langsung mengalihkan pandangannya ke arah depan.
Putri hanya bisa mendengus kesal, dan rasanya ingin muntah mendengar Irfan berbicara seperti itu. Mencoba untuk melepaskan genggamannya, tapi Irfan terlalu erat menggenggam tangannya. Putri pun melirik ke arah berlainan, masih mencoba untuk menutupi wajah kesalnya.
Wanita itu terlalu banyak berbicara, bahkan Putri tidak memperhatikan banyaknya orang-orang penting yang datang dan ia sebutkan. Pandangan Putri pun teralihkan, ada sosok yang sangat ia kenal.
Andi duduk tidak jauh darinya, dan berada di arah kirinya. Putri sangat yakin, Andi memperhatikannya dari tadi. Sampai Putri sadar akan kehadirannya, ia pun memalingkan wajahnya dari Putri.
"Andi? Kenapa dia bisa disini?" Ucap Putri pelan, Irfan masih menggenggam tangannya dengan erat. Putri kembali melirik ke arah Andi, dan kali ini terlihat jelas wajah Andi. Ia terlihat sangat tampan, mengenakan pakaian formal menjadikan wajahnya tampak lebih dewasa. Putri pun sadar Andi merubah gaya rambutnya.
Andi kembali melirik ke arah Putri, jantung Putri berdegup kencang dan dengan cepat ia memalingkan wajahnya. Menatap Irfan yang masih memandang ke arah stage. Putri kali ini bisa melihat ayahnya dan Brama Wijaya, memberikan pidato kecil.
Putri bahkan sempat mendengar, ayahnya mengucapkan menerima lamaran dari keluarga Wijaya. Putri masih tidak peduli dengan apa yang terjadi di stage. Ia masih berharap bisa melihat temannya.
Putri kembali melirik, terdengar suara tepukan yang meriah dari para tamu undangan. Andi menghilang, Putri tidak melihatnya. Entah sejak kapan Andi pergi meninggalkan kursinya. Putri mulai mencari-cari, tapi ia tidak menemukan.
"Apa yang kamu cari Putri?" Tanya Irfan heran, dan masih menggenggam tangan Putri. "Ehh.. itu.. tidak ada." Jawab Putri cepat. Irfan sepertinya tau Putri berbohong, dan kali ini senyumannya hilang pada saat menatap Putri yang berbohong.
"Ayo kita naik!" Perintahnya, dan mulai berdiri.
"Naik? Naik kemana?" Tanya Putri bingung.
"Apa kau tidak mendengar nama kita disebut? Saatnya untuk memakai cincin, dan tunjukkan senyummu." Ucap Irfan datar, dan kali ini membuat Putri menggantungkan lengannya di lengannya.
Terimakasih untuk yang sudah membaca sampai bab ini.
Jangan lupa untuk dukung saya. caranya.
1. Vote dengan Power Stone.
2. Berikan Review anda.
3. Beritkan Rate bintang lima untuk bab yang sudah dibaca
4. Share Cerita ini pada teman dan keluarga ya.
Terimakasih :)
Find me on IG Sita_eh