Randu baru saja selesai mengganti pakaian setelah jam olahraga, ketika seseorang masuk dan menepuk bahunya dari belakang cukup keras, hingga membuat pemuda itu berjengit kaget.
"Ow, Randu!" Dika, orang yang menepuk bahu Randu itu berseru girang, tersenyum cerah memasang wajah tanpa dosa.
Randy mendelik, "Kenapa?" tanyanya seraya melipat kembali seragam olahraganya.
"Sepertinya, kau baru saja mendapat surat cinta?" Dika terkekeh.
"Surat cinta?" Pemuda itu mengernyit.
"Yap, di mejamu ada sepucuk surat dan sebuket mawar biru."
"Dari siapa? Siapa yang mengirimnya?" Tanya Randu heran.
Dika mengendikkan bahu, pertanda tidak tahu, "Mungkin dari kekasihmu."
"Tidak ada kekasih!" Sanggah Randu cepat.
"Kalau begitu dari orang yang menyukaimu! Kau tahu? Gadis-gadis di sekolah ini mengantri untuk menjadi kekasihmu."
Randu berbalik pada Dika, menatap temannya itu dengan pandangan datar, "Jangan mengada-ada!"
"Lihat saja sendiri kalau tidak percaya. Atau Mungkin dari penggemar rahasia?" Dika menaik turunkan alis lebatnya menggoda Randu, yang dibalas pemuda itu dengan sebuah delikan tajam.
Hingga membuat pemuda berambut ikal itu tergelak. Senang sekali menggoda temannya itu yang sedikit kaku untuk urusan perempuan.
Pemuda itu bukan anti, hanya Saha dia tidak tahu bagaimana cara bergaul dengan teman perempuannya.
Memang benar ada seseorang yang menaruh sebuket bunga mawar biru di atas meja Randu, teman sekelasnya bahkan heboh membicarakan itu.
Randu yang tidak pernah terlihat dekat dengan seorang perempuan, tiba-tiba mendapat sebuket bunga.
Sejujurnya, paras Randu cukup tampan. Dengan postur tubuh tinggi tegap, kulit putih bersih, hidung yang mancung, bibir tipis yang tidak tersentuh nikotin, rambut hitam lurus, juga memliki senyum yang mematikan.
Ketampanan Randu bahkan dikenal seantero sekolah. Banyak yang terpikat, namun yak satu pun dari mereka dilirik, apalagi berhasil meluluhkan hatinya.
Selain itu, sikap Randu yang seolah acuh tak acuh, membuat gadis-gadis itu segan untuk mendekati Randu lebih jauh.
Meski ada beberapa gadis yang tetap nekat mendekatinya, dan selalu berakhir dengan penolakan.
"Tidak ada salahnya kau menerima salah satu dari mereka. Randu, kau harus memiliki kisah percintaan di masa sekolah agar hidupmu tidak monoton, membosankan. Agar ada yang bisa kau ceritakan kepada anak cucumu nanti!" Dika kembali berujar. Dengan nada menasehati.
Randu menunduk, tersenyum kecut, "Hidupku sudah penuh cerita, dan aku tidak tahu harus menceritakannya dari mana. Kisah percintaan? Jangan bercanda. Gadis yang dekat denganku bisa berada dalam bahaya." Gerutunya dalam hati.
Kemudian, pemuda itu memutuskan untuk keluar dari toilet. Berjalan tenang menuju kelas. Diekori Dika, Randu ingin memastikan bahwa yang dikatakan temannya itu hanyalah sebuah kebohongan.
Semua mata tertuju panda Randu ketika pemuda itu baru saja mencapai ambang pintu kelas. Dia berjalan pelan menuju bangku yang sering ditempatinya.
Rupanya Dika tidak berbohong. Benar, ada seorang yang menaruh sebuket bunga mawar biru di atas mejanya.
Randu mengambil buket itu, memindainya dari ujung hingga ujung. Lalu, matanya menangkap sepucuk surat yang terselip di dalamnya.
Dibukanya surat itu perlahan. Matanya memicing menangkap sesuatu yang janggal. Namun, di detik berikutnya, surat itu meluncur mulus jatuh ke lantai.
Mata Randu membelalak, dengan mulut terbuka, tubuh yang tiba-tiba bergetar, dan isi kepalanya mendadak kosong.
Dika yang berdiri di samping Randu seraya tersenyum lebar itu, terkejut dengan perubahan mendadak temannya.
Dia melihat surat yang Randu jatuhkan di atas lantai, mengambilnya, membacanya dengan wajah terheran-heran. Untuk kemudian melakukan hal yang sama, meski tidak sampai menjatuhkan surat tersebut.
Dika menoleh pada Randu, tenggorokannya seolah tercekat hanya untuk mengatakan sebaris kata yang ada dalam pikirannya.
"Randu..." Dan, hanya nama Randu yang bisa diucapkannya, dengan suara lirih, nyaris hilang.
Tapi, Randu bahkan tidak sanggup menoleh. Tenggorokannya sama tercekat, saking syoknya pemuda itu.
~~~~
Kedua sahabat itu menatap kosong ke depan, dengan tangan yang bertopang dagu di atas pembatas.
Padahal cuaca hari ini cerah tanpa awan, burung-burung terbang di atas mereka. Birunya langit begitu memanjakan mata. Namun, yang terdengar dari keduanya, hanyalah sebuah helaan napas berat.
Sekolah sudah sepi, karena bel pulang sudah berbunyi 30 menit yang lalu. Keduanya saat ini tengah berada di rooftop. Tempat paling aman untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia.
"Kupikir bunga itu benar-benar ungkapan cinta dari seseorang." Dika bersuara, "surat berdarah? Sungguh mengejutkan, aku hampir menjatuhkan rahang saat melihatnya, untung tidak pingsan."
"Bagaimana mungkin?" Tanya Randu lirih.
"Itu dia! Itu yang sejak tadi aku pertanyakan! Bagaimana mungkin kau mendapat surat berdarah itu? Darimana mereka mendapatkan darah itu? Darimana mana mereka tahu alamat sekolahmu? Aku adalah temanmu satu-satunya, kau juga tidak bermasalah dengan siapa pun di sekolah. Apa kau punya musuh di luar sana yang sangat dendam padamu? Di sekolah sebelah misalnya." Tanya Dika beruntun.
"Maksudku, bagaimana mungkin kau pingsan disaat para gadis memperhatikan?" Randu terkekeh kosong.
"Disaat seperti ini kau masih bisa bercanda?!" Sembur Dika.
"Setidaknya masih ada komedi dibalik misteri ini. Salah satunya adalah saat kau memasang tampang seperti orang bodoh." Jawab Randu terkekeh.
Dika mendengus, "itu karena aku sangat terkejut! Seumur hidup aku tidak pernah melihat hal seperti itu kecuali di film-film."
"Kupikir hal itu sudah menjadi hal yang paling mengejutkan," jawab Randu, namun jawaban itu membuat Dika mengernyit, "ternyata ada hal yang lebih mengejutkan."
Dika menoleh, hanya untuk menemukan Randu tertunduk, "Maksudmu... ada hal yang lebih mengejutkan?"
"Aku tidak tahu, mungkin di depan sana akan ada lebih banyak hal yang mengejutkan. Atau mungkin... lebih dari sekedar mengejutkan?" Randu tersenyum sumir di akhir kalimatnya.
Randu membuka kembali surat tersebut, membaca ulang isinya.
Bersiaplah, Randu! Karena kau akan menjadi yang selanjutnya!
Randu tidak paham maksud dari isi surat tersebut. Namun, satu hal yang pasti. Surat yang menggunakan darah asli sebagai tinta, entah darah manusia atau bukan, dengan bau amis yang masih tercium saat membukanya, adalah sebuah ancaman. Yang menandakan bahwa Randu sedang dalam bahaya.
"Apa kau diincar oleh seseorang?"
Pertanyaan Dika membuat Randu menerawang pada kejadian beberapa hari kali.
Pada dua orang pria yang mendatanginya bersama sang ibu. Dua pria yang mengungkap fakta bahwa Randu bukanlah putra kandung dari kedua orang tuanya.
Apa Mungkin mereka? Batin Randu.
Pemuda itu meremas kuat surat di tangannya, lalu melemparnya jauh ke bawah. Lantas, pemuda itu berbalik menghadap Dika. Menatap temannya lekat.
"Dika," panggilnya, Dika menoleh.
Untuk sesaat Randu hanya diam, mempertimbangkan apakah ia harus mengatakannya atau tidak.
Namun, pada akhirnya, pemuda itu berujar.
"sepertinya aku punya misi rahasia. Kau mau ikut?"
Dika menatap Randu dengan satu Alis terangkat naik. Bertanya lewat mata 'apa yang kau rencanakan?'
Namun, Randu berbalik, kepalanya mendongak menatap birunya langit, dengan sebuah senyum yang terbit di kedua sudut bibirnya.