webnovel

I Own The Cyborg

Kehilangan ingatan adalah hal yang tidak terlalu penting oleh sesetengah orang bukan tapi tidak dengan Elyana. Ingatan yang hilang darinya justru adalah hal yang paling penting dalam hidupnya. Ingatan terakhir yang dimiliki nya dalam membuat dia tetap sedar dan terjaga sebagai gadis yang terlahir sebagai manusia. Namun ingatan itu malah dihapus tidak tersisa. Kerana kegilaan Texas dia dijadikan bahan ujikaji. Semuanya sangat menyakitkan bagi gadis yang bahkan baru menginjak usia 11 tahun ketika itu. Perasaan dan emosi nya perlahan lenyap seiring berjalannya waktu dia berada dalam genggaman Texas. Dia telah diubah sepenuhnya menjadi mesin pembunuh. Setelah dirinya berubah atas kegilaan lelaki bekas doktor bedah itu, Texas malah melarikan diri tidak tahu ke mana meninggal kan dia disitu. Sel bawah laut yang sengaja didirkan jauh tersembunyi dari jangkauan manusia. Namun kehadiran Airiz perlahan-lahan merubahnya. Tapi tetap tidak dapat dielakkan bahawa lelaki itu akan tetap terluka pada akhirnya. "Tolong pergi jauh dari sini selagi boleh, please" "Jika kau meminta untuk aku pergi...maaf, saya tidak mampu untuk memenuhinya" Tubuh yang mula hilang kendali itu didakap seerat mungkin oleh Airiz sedangkan Elyana berusaha untuk melerai pelukan itu. "Please Riz lepas! Kau akan tersakiti kalau...arrgg...k..kau terus seperti ini..." Airiz hanya tersenyum memandang lembut kedua-dua pasang mata coklat itu yang kian basah dengan air mata. Diseka perlahan air bening itu. "Biarkan aku menerima kesakitannya untuk kali ini. Jadi mulai sekarang kau tidak perlu lagi menanggung kesakitan ini seorang diri,hmm" Airiz mengusap kecil pundak Elyana.

Chuwiee00 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
6 Chs

002

Drofeld Town

Kota yang didirikan di pesisir pantai ini terlihat jauh lebih tenang berbanding dengan bandar pusat. Indahnya kebiruan laut yang menyelimuti begitu mendamaikan.

Airiz meletakkan bagasinya di tepi katil. Dia melihat ke sekeliling bilik hotel yang akan disewanya mulai saat ini. Bilik yang tepat berhadapan dengan pemandangan laut biru di depan sana.

Tirai yang dibiar lepas tidak diikat sesekali berkibar ditiup angin bayu. Angin yang sejuk itu berhembus masuk ke dalam ruang bilik.

Bagasi yang tidak terlalu besar itu diletakkan di atas lantai. Mata yang terasa mengantuk sebentar tadi kini tidak lagi terada berat. Kaki dibawa menapak ke arah balkoni luas di luar.

Desiran ombak terdengar seperti musik lembut di telinganya. Mata ditala ke dada langit senja. Terlihat pancar senja yang indah sang mentari menghiasi ufuk langit. Burung-burung di udara berkicau pulang. Airiz menghela nafas lembut.

Sudah lama dia tidak merasa perasaan setenang ini. Hidup sebagai orang dewasa ini begitu sulit dan sukar apatah lagi harus berhadapan dengan kejatuhan dan bangkit semula yang menjadi rutin hidup seorang manusia.

Airiz memejamkan mata sejenak, meresapi kedamaian yang sudah lama tak dirasakannya. Suara ombak yang bersahutan dengan angin seolah memanggilnya untuk keluar dari batasan tembok kamar.

Setelah beberapa saat berdiri menikmati pemandangan senja, Airiz memutuskan untuk keluar, ingin lebih dekat dengan keindahan alam yang selama ini hanya menjadi impian.

Setelah mengganti pakaiannya dengan sesuatu yang lebih santai—kaos tipis dan celana pendek—dia mengambil sebotol air mineral dan berjalan keluar kamar. Udara pantai yang lembab segera menyapanya saat dia melangkah keluar dari lobi hotel, menyusuri jalan setapak menuju pasir putih yang terhampar luas di depan.

Kakinya tenggelam dalam pasir hangat yang tersisa dari panas matahari siang tadi. Setiap langkah terasa ringan, seolah semua beban pikiran yang menghantuinya selama ini sedikit demi sedikit terangkat. Dia melihat sekeliling, hanya ada beberapa orang yang masih tinggal di pantai, mungkin sama-sama menikmati suasana tenang sebelum malam menjelang.

Ombak lembut menyapu kakinya saat dia berjalan mendekati garis air, menciptakan perasaan damai yang aneh. Ditatapnya kembali ufuk barat, di mana langit yang tadinya oren mulai berubah menjadi ungu dan biru gelap, seiring mentari yang perlahan tenggelam ke dasar laut.

Tiba-tiba, Airiz merasa dorongan kuat dalam hatinya untuk terus berjalan. Bukan sekadar menikmati pantai, tapi untuk mencari sesuatu—mungkin sebuah jawaban atau sekadar ruang untuk menenangkan diri lebih dalam. Tanpa disadari, kakinya sudah melangkah cukup jauh dari keramaian, menuju bagian pantai yang lebih sepi, hanya ditemani debur ombak dan sepoi angin malam yang mulai mendingin.

Di kejauhan, ia melihat sebuah perahu kecil yang tertambat di pinggir pantai. Perahu itu tampak tua, dengan cat yang sudah pudar dan tali yang terikat pada sebuah tiang kayu. Airiz berhenti sejenak di dekatnya, mengamati ombak yang terus memukul lembut lambung perahu.

Dia duduk di tepi pantai, membiarkan tubuhnya jatuh ke pasir yang dingin. Angin malam terus berhembus, membawa aroma laut yang menenangkan. Pikiran Airiz mulai mengembara, teringat akan perjalanan hidupnya.

Bagaimana semua hal yang dulu tampak begitu pasti, kini terasa begitu rapuh. Namun, di tempat ini, jauh dari hiruk pikuk kota dan rutinitas yang memenatkan, dia merasa menemukan kembali sesuatu yang hilang—sebuah harapan baru.

Matanya menatap laut yang luas di hadapannya. Mungkin, pikirnya, ada sesuatu di luar sana yang menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang lebih besar dari apa yang selama ini dia kejar. Ombak datang lagi, kali ini lebih besar, menyentuh kakinya dengan lembut, seolah ikut merestui perjalanannya.

Saat malam perlahan turun, Airiz menyadari betapa damainya dia di sini. Di tempat yang jauh dari segala tekanan hidup. Dia tersenyum kecil, merasa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia sudah berada di tempat yang tepat.

Namun, tanpa dia sadari, seseorang memperhatikannya dari kejauhan, bayangan misterius yang muncul dari balik bebatuan karang di sudut pantai...