Pria ini dengan langkah cepat berjalan membawa wadah besar di punggungnya dan dia menaruh wadah itu di sebuah gubug besar yang isinya adalah ribuan kentang.
"Kau baik sekali," kataku dengan memuji pria itu dengan ramah.
"Terimakasih, lagi pula ini memang menjadi tugasmu. Aku kasihan saja denganmu karena kau wanita baru di desa ini. Maksudku kau penduduk baru di desa ini," kata pria itu dengan ramah.
"Siapa namamu?" Tanyaku dengan sopan sambil mengulurkan tanganku.
"Namaku Stevan," kata pria itu dengan tersenyum manis.
"Oh namaku Jihan," ucapku dengan melepaskan tangannya.
Kini bos dari desa ini terlihat datang dari belakangku. Dia sudah siap untuk memeriksa berapa kilo kentang yang telah aku panen.
"Jadi kita hitung ya. Berapa kilo kentang ini. Kalau sampai kurang dari apa yang aku inginkan. Kau akan segera kembali lagi ke kebun itu," kata Bos itu dengan wajah penuh dengan rambut. Bahkan yang terlihat wajahnya seperti kecil sekali. Bicaranya saja sudah sekali karena kedua pipinya yang besar. Pantaslah di bilang bos. Badannya juga besar sekali. Bahkan tiga kali lipat dari berat badanku mungkin.
Kini bos yang bernama William itu mulai menimbang dengan alat timbangan yang baru pernah aku lihat. Di kota aku sama sekali tidak pernah melihat barang itu. Setelah selesai di timbang. William tersenyum kepadaku. Aku lega sekali untung saja aku bisa istirahat.
"Oke, baiklah. Sekarang kau boleh pulang. Ini kentang sudah cukup sekali," kata William dengan ramah. Berbeda sekali saat menyuruhku memanen kentang. Dia tampak garang. Sekarang ketika pekerjaanmu memuaskan dia sangat terlihat baik sekali di mataku.
Aku membungkuk sedikit sambil mengucapkan terimakasih beberapa kali.
"Ya, ya tidak masalah. Ini uangnya, " kata William sambil merogoh mantel besarnya. Saku yang ada itu di rogoh dan ia memberikan sejumlah uang kepadaku. Aku menerima uang itu dengan sangat senang sekali. Ini adalah pertama kalinya aku menerima uang disini dengan hasil jerih payahku. Uang ini bisa untuk membayar sewa rumah. Hem, rasanya benar benar melelahkan sekali mencari uang seperti ini.
"Eh, Steven kenapa kau ada disini? Jangan jangan kau ingin mendekati Jihan ya? Kau suka kepada Jihan ya?" ledek William dengan menuding Steven. Kulihat wajah Steven sangat lucu sekali. Bahkan dia menggaruk kepalanya di belakang.
"Eh, tidak enak saja. Aku hanya membantu dia membawa wadah berisi kentang ini tahu," kata Steven lalu dia pergi begitu saja. Dasar aneh sekali. Kenapa baru pergi sekarang. Kenapa tidak dari tadi.
"kalau begitu aku permisi," kataku kepada William dan aku langsung berlari mengejar Steven. Aku ingin berterimakasih dengannya. Mungkin aku bisa mentraktir dia membeli makanan disini tapi apa.disini ada yang menjual makanan?
Aku terus melangkah dengan lebar. Supaya aku bisa mendekat kepada Steven..punggung Steven susah sekali aku dekati. Terpaksa aku memanggilnya.
"Hei Steven!" panggilku dengan keras. Membuat orang orang yang ada di ladang gandum ini melihatku dengan mata menyorortiku.
Aku tersenyum kepada mereka. Mereka adalah orang tua laki laki dan perempuan yang bersama sama memanen gandum.
Kulihat Steven berhenti disana dan menungguku yang sedang berjalan mendekatinya.
"Ada apa Jihan?" tanya Steven dengan wajah seperti tidak peduli denganku. Jutek lebih tepatnya
"Aku hanya ingin berterimakasih kepadamu. Mungkin aku bisa mentraktirku," ucapku dengan asal. Ya sejujurnya aku ingin mempunyai teman disini. Aku rasa di cukup baik bagiku. Aku tidak ingin sendiri di desa ini. Minimal dia adalah teman yang mungkin bisa di bilang umurnya hampir sama denganku. Karena aku yakin sekali dengan wajah dan penampilannya.
"Mentraktir? Hahaha, disini tidak ada yang menjual makanan. Ada juga jauh dari sini. Lebih baik kau pergi saja ke kota menemani pria hidung belang," kata Steven dengan wajah jijik melihatku.
Aku membelalak melihatnya. Hatiku serasa ditusuk dalam dalam oleh pedang. Kenapa dia bisa tahu tentang hidupku di kota. Dari mana dia tahu? Kenapa dia berkata seperti itu padaku?
Aku kesal dan marah dengannya. Aku mendekati dia dengan lebih dekat.
"Dari mana kau tahu itu semua?". Tanyaku dengan tajam mendelik di depan wajahnya.
"Semua sepertinya sudah tahu. Tapi mereka hanya diam saja," kata Steven dengan wajah santai sekali.
Aku menampar pipi ya dengan keras. Pukulan itu benar benar membuat aku puas. Aku sama sekali tidak habis pikir dia berkata kasar seperti itu kepadaku.
Wajahnya kini terlihat marah melihatku..biarkan saja aku sangat puas melakukan itu.
"Tidak seharusnya kau mengatakan itu kepadaku. Kau ternyata benar benar tidak sopan sekali," kataku dengan tegas di depan hidungnya. Kini aku berbalik dan melangkah pergi dengan cepat. Hancur sudah hatiku sekarang. Kulihat orang orang melihatku dengan menatap seolah aku benar benar orang yang sangat berdosa. Aku kira hidup di desa akan lebih menyenangkan. Ternyata ada juga orang yang modelnya seperti Steven. Sungguh Steven sangat jahat sekali melukai hatiku. Aku tidak akan lagi berdekatan dengannya .aku harap aku tidak lagi melihat wajahnya lagi. Steven telah membuat aku melayang lalu menjatuhkan aku begitu Saja. Aku kira saat bertemu pertama kali dia benar benar laki laki yang baik tapi ternyata malah seperti ini. Dasar gila kau Steven!
Aku berlari sampai ke rumahku. Aku menangis di ruang tamu ini. Dengan sofa yang buluk sekali warnanya. Karena memang hanya rumah ini yang bisa aku sewa. Aku hanya seorang diri disini. Tidak mempunyai siapa siapa dan ketika seseorang melukaiku. Aku benar benar hancur lebur. Ya Tuhan, hanya kepadamu aku bisa menceritakan semua rasa ini. Aku berusaha untuk beridir dan berjalan ke kamar. Melihat wajahku di cermin. Stres aku benar benar stress sekarang juga. Aku ingin pulpen dan sebuah buku. Diary ya. Aku butuh ini. Sudah lama sekali aku tidak menulis diary. Aku sangat membutuhkan barang itu. Mungkin besok atau sore nanti aku bisa ke desa sebrang untuk membeli beberapa perlengkapan.
Oke. Aku mulai tidak menangis lagi. Karena aku kesal jika aku harus menangis. Bodoh, bodoh, bodoh. Aku bodoh sekali ya Tuhan.
Kini aku mengelap air mataku kembali agar aku tidak menitikkan air mata lagi. Aku mulai menarik nafas dalam dalam dan pergi ke dapur untuk meminum air putih. Aku sedikit lapar. Untung saja masih ada telur rebus sisa semalam. Aku memakannya dengan lahap. Mungkin aku harus membeli telur lagi nanti. Karena sudah habis.
Sekarang aku keluar rumah dan menuju ke rumah Stella. Dia adalah seorang ibu yang mempunyai anak satu laki laki yang menurutku sangat bandel sekali.
Stella adalah tetanggaku juga. Aku mengetuk pintu dan dibuka pintu itu. Terlihatlah seorang wanita dengan rambut di Cepol tampak kusut wqjahnya.
"Maaf, aku belum mandi. Aku baru saja memasak. Ada apa ya Jihan?" tanya Stella.
Aku melihat di belakang ada Dani yang bermain dengan kayu mobil mobilan sambil berlari ke sana kemari.
"Oh, aku hanya ingin menanyakan. Dimana aku bisa mendapatkan sayur sayur dan bumbu makanan di desa ini?" tanyaku dengan sopan.