Jalanan itu ramai dengan mobil berlalu-lalang, asap kendaraan mengepul keluar dari knalpot mobil. Sesekali Leana terbatuk ringan ketika asap mengganggu indra penciumannya, tangannya mengibas berharap lehernya merasa sejuk.
Salju sudah mencair semuanya, jalanan tidak lagi becek dari sisa-sisa salju. Sang Surya juga sudah bertugas kembali diatas sana, memancarkan teriknya yang begitu membakar kulit. Sudah hampir tiga jam Leana menawarkan surat kabar pada orang yang melewati jalan itu, tapi tidak satupun dari mereka yang membeli.
"Panas sekali," keluh Leana.
Gadis itu memilih untuk mencari tempat duduk, kakinya kebas terlalu lama berjalan kesana kemari mengejar orang.
Surat kabarnya masih tertumpuk genap, apakah boleh jika ia menyerah hari ini? Peluhnya bahkan berlomba-lomba untuk berjatuhan, rasanya ia ingin berhenti sekarang juga. Anne datang menghampirinya begitu ia melihat Leana terduduk lesu, gadis itu tampak tak kelelahan seperti Leana.
"Apa kau sakit nona?"
Leana bergeleng, ia masih terduduk lesu. Semangatnya telah hilang bersamaan dengan matahari yang tertutup awan diatas sana, lebih sedikit teduh bukan mendung.
"Apa tak ada pekerjaan lain Anne? Mereka tidak ada yang membeli surat kabar dariku."
"Apalagi sekarang sudah jaman modern Anne, semua orang menggunakan gadget untuk mencari berita. Bukan lagi pada tumpukan kertas buram menyebalkan seperti ini!"
Leana berseru kesal, meluapkan banyak keluhannya. Juga tentang gadget miliknya yang harus disita oleh pihak bank, ia jadi kembali merasa kesal dengan ibunya. Bagaimana bisa ia menjadi wanita jahat dan memberikannya plontang-planting tanpa tujuan, dan tanpa uang, atau barang berharga.
"Aku menyerah Anne!"
Leana mendorong tumpukan surat kabarnya, dan berjalan pergi meninggalkan Anne yang tampak hanya terdiam melihatnya yang terus menjauh.
Gadis itu menghela nafasnya dengan berat, ada sebuah rahasia besar yang ia sembunyikan dari Leana. Tentang beberapa orang yang mendatangi flatnya setelah Leana pergi, mereka meminta uang sewa. Apakah flat yang kumuh itu menyewa? Tentu saja, Anne bukan keturunan orang berekonomi baik sejak ia ingat.
"Kami harus tinggal dimana? Setidaknya aku bisa untuk sekadar menjadi gelandangan. Tapi, Leana?" gumamnya tampak ikut bersedih.
"Halo nona, boleh aku membeli satu?" Seorang wanita tua itu membeli surat kabar darinya.
Jauh dari jalanan berpolusi itu, Leana terus berjalan. Sesekali ia menendang kerikil kecil yang tampak mengganggu langkahnya, gadis itu tak menyadari sebuah mobil van hitam mengawasinya sejak tadi. Pengemudinya terus memberikan informasi terbaru pada tuannya, bagaimana gadis itu mengeluh sepanjang jalan.
"Dunia ini benar-benar tidak adil! Apa hanya aku yang merasa jika kematian Daddy menjadi sebuah kesialan?"
"Daddy, seharusnya kau tidak pergi malam itu. Setidaknya sampai hari ini aku masih bisa bersama dengan kalian, kau tahu Dad? Mommy, dia berubah."
Leana terus berbicara seperti orang gila, ia terus mengatakan yang menjadi keluhannya yang ia tahan sejak kematian ayahnya. Kabar yang menjadi sebuah tranding topic, bahkan dibeberapa surat kabar yang ia jual masih terus membuat kecelakaan ayahnya menjadi headline.
"Dan kau harus tahu Dad, kematianmu bahkan mengalahkan kepopuleran artis yang tengah naik daun. Kau selalu menjadi berita utama, apalagi jika bukan mommy yang tiba-tiba menikah dengan pria lain."
Leana berhenti berbicara ketika ia sampai didepan flat tempat tinggalnya dengan Anne, didepan sana ada beberapa pria berpakaian gelap.
"Kalian siapa?"
.
Ruangan besar dengan kaca tebal anti peluru, dengan pemandangan kota London dengan bangunan pencakar langit yang begitu menantang langit. Pria itu duduk menikmati secangkir kopi hitam less sugar, ia menyesap kopi tanpa ampas dengan nikmat.
Asap mengepul dari batang nikotin yang ia sesap, pria itu menatap langsung kota London.
"Kenapa kau tidak membawanya dengan paksa saja?" kata pria itu yang sesekali menyesap batang nikotin yang ia apit diantara jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Aku ingin gadis itu datang sendiri, sekalipun ia putri kakakku tapi ia tetaplah putri Harrison!" terang Kaisar.
Kaisar tidak merokok, setidaknya jika ia tidak kalut. Ia hidup bersih dari dunia gelap sejak ayahnya meninggal, tetapi tidak dengan pria didepannya yang asyik merokok.
"Kau benar-benar kejam Kai, gadis itu bahkan sekarang tengah menghadapi anak buah ku. Satu jam ke depan, ia pasti menjadi tuna wisma karena bangunan yang nyaris roboh itu kau beli."
Kaisar terkekeh kecil, ia bisa membayangkan bagaimana wajah cantik gadis itu yang menatapnya nyalang berubah menjadi tatapan nanar mengemis pertolongan.
Seringai miliknya selalu mengerikan, bahkan setelah ia bukan lagi ketua mafia di kota London ia masih memiliki aura yang membuat orang lain merinding. Dan pria didepannya, adalah Jhon asisten pribadinya di dunia gelap. Berbanding terbalik dengan Jeong-Won yang selalu mengurusi hal-hal berkaitan dengan perusahaan ataupun lainnya.
Tetapi, keduanya memiliki kemampuan yang sama. Menjadi pengintai terbaik miliknya, mata-mata dan orang yang sangat dapat diandalkan oleh Kaisar.
"Gadis itu harus merasakan apa yang seharusnya, apalagi jika mengingat bagaimana wajah sombongnya yang begitu berani."
Jhon terkekeh geli, ia sudah mendengar jika Kaisar dan Jeong-Won dikira seorang penagih hutang dan diusir oleh gadis kecil. Wibawanya pasti merasa terinjak dengan sikapnya yang ia terima, dan hampir terpukul dengan sapu? Bagian favorit dari cerita Kaisar adalah tamparan keras dari tangan kecil gadis itu. Jhon tidak bisa menahan tawanya ketika Jeong-Won mengatakannya beberapa hari yang lalu.
"Sudahlah, kau hanya perlu mengerjakan apa yang ku suruh. Tidak perlu mengejekku seperti itu!"
Jhon masih menahan kekehannya.
"Ehem! Berapa lama kau tinggal?" Jhon berdeham kecil dan menghentikan kekehannya, pria itu mengalihkan topik pembicaraannya.
"Entahlah, hidup di Korea terasa begitu damai. Setidaknya sampai para mafia berkedok perusahaan dan pengacara, hah. Kehidupan damai itu adalah di sini."
"Kehidupan damai? Hahaha. Kau bahkan tak pernah berhenti untuk memikirkan strategi menjatuhkan kakak iparmu sendiri, Kai."
Jhon terbiasa berbicara tanpa embel-embel formal tidak seperti Jeong-Won, pria itu lebih menganggap Kaisar sebagai saudaranya ketimbang atasnya.
Keduanya telah menghadapi hidup dan mati bersama, maksudnya nyaris karena keduanya bahkan belum pernah mati. Saling melindungi ketika bertarung menjadi mafia yang memiliki banyak musuh besar di dunia yang teramat luas.
Ponsel pintarnya berdering, mengalihkan perhatiannya dari pembicaraan nostalgia diantara keduanya. Jeong-Won memiliki informasi penting, membuat pria itu segera meninggalkan Jhon.
Mercedes-Benz C-Class tipe AMG C 63 hitam milik Kaisar melaju dengan kecepatan diatas rata-rata, menerobos keramaian kota London.
Lima belas menit berlalu, kendaraan Kaisar sampai di halaman mansion. Seorang wanita dewasa tampak berdiri dengan gaya sombongnya, Luciana Harrison yang kini telah berganti menjadi Luciana Marchetti.
"Ada apa kau kemari? Eomeoni tidak ada disini," kata Kaisar dengan datar. Raut wajahnya jelas mengatakan jika ia tidak senang dengan kedatangan kakaknya.
"Hei! Aku ini kakakmu, apakah salah jika aku ingin mengunjungi adikku sendiri saat aku berada di kota yang sama?" katanya sambil berjalan masuk kedalam mansion.
Kaisar mendengus kesal, sebenarnya ia menyayangi wanita yang berjalan melihat-lihat dalam mansion tersebut sebelum ia menikah dengan musuh terbesarnya– Harrison.
"Ck, kau bisa menemukanku dengan mudah. Jangan-jangan kau juga sudah melihat bagaimana keadaan putrimu?"
Lucy terkekeh geli, Kaisar tahu jawabannya. Wanita itu tidak benar-benar meninggalkan putrinya begitu saja, sekalipun ia juga tak meninggalkan apapun.
"Gadis itu sama keras kepalanya dengan Harry, kau pasti akan senang jika harus menjadi wali baru untuknya," katanya yang kini duduk diatas sofa diruang utama.
Wanita itu sama sekali tak berubah, miliki sifat sombong. Sama seperti Leana, ia sepertinya menurunkannya pada putrinya.
"Ternyata kau juga tahu tentang permintaan eomeoni."
"Ed, aku ingin anggur dengan kadar alkohol yang rendah. Aku ingin bersantai sebentar, mengenang ayah disini dengan adikku," katanya yang langsung dilaksanakan oleh buttler di mansion Williams.
Kaisar ikut duduk di sofa, ia menatap kakaknya yang sibuk mengamati keadaan rumah besarnya dulu.
"Siapa lagi yang kau nikahi? Marchetti? Keluarga pemilik restoran terbesar di Italia? Kau menikah untuk menjadi juragan pizza?"
Lucy tertawa geli, juragan Pizza? Tepat sekali perkiraan Kaisar. Ia kali ini menikah dengan pria pemilik restoran pizza terkenal di Italia, bukan pria biasa tepatnya karena pria itu adalah mantan kekasihnya sebelum ia berakhir dengan Harrison.
Kaisar menatap wajah kakaknya dengan kesal, ia masih tetap adik yang penurut jika berhadapan dengan Lucy. Sifat dinginnya meleleh, berganti dengan sifat possessive. Sejak masih muda, Lucy selalu menjadi panutannya karena ia selalu memiliki jalan hidup yang menurutnya unik dan cerah. Sebelum ia bertemu dengan Harrison–pria yang teramat ia benci sepanjang hidupnya.
"Tentu, saat kau berkunjung ke Italia jangan lupa mampir. Nick akan sangat menyambut kedatanganmu, Kai," kata Lucy yang sudah berhenti tertawa.
"Awas saja jika aku mendengar pernikahan kesekian kalinya, apa kau juga berencana untuk menikah dengan pemilik perkebunan anggur terbesar di Paris? Atau pengusaha minyak di Timur tengah?" Kaisar benar melupakan sifat dinginnya.
Pada kenyataannya ia merindukan Lucy, ia selalu merasa kehilangan sosok kakaknya sejak ia mengenal kehidupan dewasa.