webnovel

I am a survivor

Hwi Min-Ki adalah anak dari bos mafia kaya di Korea Selatan. Setelah selamat dari kecelakaan helikopter yang menewaskan orang tuanya ketika berumur enam belas tahun, ia memutuskan untuk melupakan masa lalu dan hidup dengan identitas baru. Oh Tae-Won adalah orang yang berhasil menariknya keluar dari mimpi buruk dan rasa sakit yang terus menghantuinya. Laki-laki tua itu tidak hanya memberikan kesempatan hidup kedua untuknya sebagai Cho Joo-Won, namun juga membuatnya bisa melanjutkan hidup dengan baik. Dua belas tahun kemudian, sebagai kapten dari SEAL Angkatan Laut Korea Selatan, Cho Joo-Won berhasil membuktikan janjinya kepada Oh Tae-Won. Tapi, ia tidak pernah tahu kalau semuanya harus ditukar dengan nyawa laki-laki tua itu. Ternyata hidup itu seperti kertas putih dan setiap goresan hitam akan terus menempel meninggalkan bekas. Sekarang tujuan hidupnya hanya satu, melindungi cucu Oh Tae-Won. Awalnya ia berada di sisi Oh Yun-Hee karena ingin melindungi gadis itu dari pamannya, Hwi Yong-Jae. Namun perlahan tapi pasti, perasaan itu mulai muncul. Ia mulai menyukainya. Ia mulai bisa bernapas kembali karena Yun Hee. Ia mulai tidak sabar menunggu hari esok dan melihat gadis itu. Dua belas tahun lalu, ia berhasil lolos dan bersembunyi dari semuanya. Sekarang, ia harus menghadapinya sendiri karena ia mulai berharap. Harapannya adalah hidup bersama gadis itu untuk waktu yang lama. Tapi, kali ini ia tidak akan membiarkan takdir menukar hidup gadis itu dengan hidupnya.

lEm0n94 · Realistis
Peringkat tidak cukup
26 Chs

Farewell

Yun Hee dan Asisten Ahn melanjutkan diskusi terkait dengan pekerjaan saat suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka. Pintu terbuka dan Ye Min-Hyuk memasuki ruangan dengan senyum lebar, menyapa Asisten Ahn sambil membungkukkan badan sekali. Kepercayaan diri serta persona yang dipancarkan oleh laki-laki itu langsung menerangi ruangan.

"Ajeossi, kenapa Anda masih ada disini?" tanya Ye Min-Hyuk sambil melirik jam di tangannya yang menunjukkan hampir pukul sembilan malam.

Asisten Ahn tersenyum mendengar sindiran laki-laki muda itu, "Sepertinya saya harus berterima kasih pada Anda, karena telah menyelamatkanku dari kerja lembur malam ini." Ia kemudian menoleh ke Yun Hee dan berkata, "Karena tuan muda Ye ada di sini, saya permisi dulu."

Yun Hee dengan enggan menganggukkan kepala, membiarkan Asisten Ahn pulang lebih awal dari biasanya. Setelah Asisten Ahn meninggalkan ruangan, ia berdiri dari kursi dan mendekati jendela besar yang menghadap ke jalanan sibuk di bawah. Terlihat lampu-lampu jalan yang sudah dinyalakan untuk memberikan penerangan bagi kendaraan maupun orang-orang yang masih berlalu-lalang disana. "Ada apa?" tanya Yun Hee dengan suara lelah.

"Aku ingin berpamitan. Bisnis benar-benar bukan untukku." Ye Min-Hyuk berdiri di samping Yun Hee sambil mengamati gedung-gedung tinggi di depan mereka. "Ini mungkin sesuatu yang menarik bagi kakekku, tapi tidak untukku."

Ye Min-Hyuk memutar tubuhnya ke arah Yun Hee dan tersenyum pahit. "Kupikir akan menyusulmu dan Seung Hoon Sunbae ke Paris tiga tahun lalu. Namun ternyata hingga akhir, kau tetap pada pendirianmu untuk menetap disini dan tidak pernah mengungkit Paris lagi."

"Bukankah aku sudah memberitahumu kalau itu bukan mimpiku." Yun Hee mengulangi kata-katanya untuk kesekian kalinya.

"Ya.. Ya.. Aku sudah mendengarnya langsung darimu berkali-kali, begitu juga aku mendengar hal yang sama dari Seung Hoon Sunbae."

Tidak ingin membahas itu lagi, Yun Hee mengalihkan pembicaraan ke hal lain. "Lalu, apa rencanamu setelah ini?"

Min Hyuk tersenyum santai, "Aku akan kembali ke Italia sambil mengenang momen-momen paling menakjubkan dalam hidupku saat itu."

"Maksudmu saat kau terjatuh ke sungai karena dikejar anjing keluarga Sunbae?"

Min Hyuk tertawa pendek, seolah kenangan memalukan itu masih tersimpan jelas di kepalanya. "Lihat saja nanti kalau aku bertemu dengan anjing itu lagi."

Yun Hee mendengus mendengar omelan Min Hyuk. Meski temannya terkadang melakukan hal-hal konyol, tapi Yun Hee tahu kalau Ye Min-Hyuk adalah laki-laki yang bertanggung jawab, hanya saja dengan caranya sendiri. "Kuharap kau menemukan apa yang kau cari." Yun Hee bersungguh-sungguh.

Min Hyuk tersenyum berterima kasih. "Aku juga berharap kau segera membuka hatimu lagi." Meletakkan sebelah tangannya di bahu Yun Hee. "Aku sekarang menyadari betapa berbedanya kau saat di Italia dan Korea. Bagaimana kau mencoba beradaptasi dengan kehidupan Seung Hoon Sunbae saat itu. Sementara Oh Yun-Hee yang ada disini, terlihat bebas menjadi dirinya sendiri tanpa ada seorang pun yang bisa menghentikannya. Semua itu karena ada seseorang yang tepat berada di sampingmu dan mendukungmu."

Yun Hee menantap laki-laki itu dalam diam, memilih untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.

Ye Min-Hyuk mengangkat tangan yang satunya lagi ke bahu Yun Hee yang lain. "Hidup ini terlalu singkat, jangan buang waktu mengkhawatirkan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi karena ketakutan itu hanya akan berubah menjadi penyesalan di kemudian hari."

Yun Hee menarik nafas panjang dalam hati, mulai bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ini benar-benar yang diinginkannya? Apakah semua ini membuatnya lebih bahagia atau sebenarnya ia hanya mencari alasan?

Keraguan merayapi hatinya. Namun bila ia mengambil keputusan hanya karena mengikuti kata hati atau keinginannya sendiri, bukankah ia malah akan menyesalinya nanti? Ibarat bubur yang tidak bisa kembali menjadi nasi. Dan jika keputusan itu sudah diambil, yang bisa dilakukannya hanya menanggung segala konsekuensi seumur hidupnya.

***

Sejak Yun Hee memasuki ruang makan, dua orang yang duduk di depannya terus berbisik dan memberi kode satu sama lain. Dari nada suara yang pelan dan sinyal samar mereka, Yun Hee bisa merasakan ada sesuatu penting yang ingin disampaikan padanya. Setelah tiga puluh menit, ia memutuskan untuk bergabung dalam permainan mereka.

Menyesap kopinya habis, Yun Hee berdiri dari kursi. "Aku sudah selesai sarapan."

"Jangan pergi dulu!!"

"Kami ingin mengatakan sesuatu."

Bibi Soon Ja dan Yun Na akhirnya membuka mulut untuk mencoba menahan Yun Hee. Melihat kedua orang itu akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah mereka diskusikan sejak tadi, ia memutuskan untuk duduk kembali. "Katakan," lalu melirik jam di tangannya, "Kalian hanya punya waktu lima belas menit."

Yun Na menatap ke arah Bibi Soon Ja, akhirnya mau tidak mau wanita paruh baya itu berbicara. "Kemarin Supir Cho.. Ah, maksudku Joo Won datang kesini."

Yun Hee melipat tangannya di depan dada. Meski ia dan Joo Won belum pernah bertemu sekali pun dalam tiga tahun terakhir, tapi ia tahu kalau laki-laki itu sering datang berkunjung ke rumahnya. Entah untuk membantu para bibi dan paman memetik anggur, membantu memasak di dapur, atau bahkan mencabut rumput di belakang paviliun, sampai dengan mengantar Yun Na ke sekolah dan pergi bermain. 

Meski Yun Hee sudah mengatakan kepada Bibi Soon Ja dan Yun Na untuk menjaga jarak dengan laki-laki itu, tapi keduanya tampak tidak mempedulikannya, malah semua orang saling bekerja sama untuk membujuk Yun Hee kalau itu bukan masalah besar dan tidak perlu terlalu memikirkannya. Akhirnya sejak saat itu sampai dengan sekarang, Yun Hee memutuskan untuk membiarkan Cho Joo-Won datang ke sini saat ia tidak ada di rumah.

"Joo Won bilang dia akan pergi jauh, sehingga tidak akan datang ke sini untuk waktu yang lama." Ekspresi Bibi Soon Ja terlihat muram saat memberitahukan informasi ini kepadanya.

"Baguslah," komentar Yun Hee pendek. "Itu artinya kalian tidak perlu mengganggunya lagi untuk datang ke sini."

"Tapi, kali ini berbeda. Oppa akan dikirim ke perbatasan zona perang, sehingga dia akan pergi dalam hitungan tahun dan tidak ada yang tahu apakah Oppa akan kembali atau tidak." Ekspresi ingin menangis muncul di wajah gadis kecil itu.

"Joo Won bilang dia akan berangkat besok. Tidakkah lebih baik kau menemuinya sekali saja sebelum dia benar-benar pergi?" Tanya Bibi Soon Ja berusaha membujuk Yun Hee.

"Bukankah kau sudah memaafkannya? Lagi pula, ini sudah tiga tahun. Kalau terus seperti ini, kau yang akan menyesal nantinya." Mata Yun Na mulai berkaca-kaca dan suara isak tangis terdengar pelan. 

Meski adiknya baru berusia sepuluh tahun, Yun Hee tidak pernah berusaha menyembunyikan masalah apa pun dari Yun Na. Termasuk apa yang sebenarnya terjadi pada kakek mereka dan Cho Joo-Won beberapa tahun lalu. Awalnya ia ragu apakah Yun Na bisa memahami apa yang dikatakannya, namun nyatanya gadis kecil itu menyikapi semuanya dengan sangat dewasa dan penuh pengertian. Ikatan mereka sebagai kakak adik menjadi semakin kuat karena ia menyadari bahwa Yun Na bisa diandalkan, dan karena adiknya itu jauh lebih kuat dari yang dipikirkannya selama ini. 

"Joo-Won adalah anak muda yang sangat kasian." kata Bibi Soon Ja sambil menghela nafas dalam dan mulai berbicara lagi, "Di usia yang begitu muda dia kehilangan kedua orang tuanya, kemudian ketika dia mulai dewasa harus kehilangan Direktur Oh dan ketika semua masalah sudah mulai terselesaikan satu demi satu, dia harus pergi ke tempat yang sangat jauh dan mengerikan."

"Oppa adalah orang yang baik, dimana lagi kau akan bertemu dengan laki-laki yang bisa menerima sifat egoismu dan menunggumu seperti ini selama bertahun-tahun." Nada suara Yun Na kini lebih terdengar seperti orang tua yang sedang mengomeli anaknya karena keras kepala dan tidak mau mendengarkan nasihat. "Kesempatan baik tidak datang dua kali, seperti halnya orang baik belum tentu datang dua kali."

Yun Hee mendesah dan memijit area diantara matanya, "Lalu kalian ingin aku melakukan apa?"

"Bertemu dia!" Kedua orang itu serempak mengatakan hal tersebut bersamaan dengan suara keras sehingga Yun Hee bisa mendengarnya dengan jelas.

"Kami tidak akan memaksamu untuk menerimanya, hanya saja lebih baik mengucapkan selamat tinggal secara langsung daripada menyesalinya seumur hidup." Yun Na mendorong tubuh ke depan dan berbicara kepada Yun Hee dengan mata hitam bulatnya, "Bukankah kita harus belajar dari pengalaman kemarin untuk hidup dengan penyesalan sesedikit mungkin?" 

Sepertinya mereka berdua telah sepakat untuk menggunakan segala macam alasan sampai Yun Hee menyetujuinya. Menatap Bibi Soon Ja dan Yun Na bergantian, ia bisa melihat ekspresi berharap, tapi juga kesiapan untuk berdebat lagi dengan Yun Hee kalau dirinya menolak. Merasa tidak ada gunanya melawan, akhirnya Yun Hee memutuskan untuk menuruti keinginan mereka. "Baiklah, aku akan menghubunginya."

***

Cho Joo-Won berdiri di depan loker yang terbuka, suara berderit terdengar dari pintu besi saat ia mengemasi barang-barang. Tangannya terus bergerak memasukkan beberapa perlengkapan ke dalam tas ransel besar bermotif loreng yang akan menemaninya dalam perjalanan besok. Di sekelilingnya, tiga orang dengan mata memperhatikan setiap gerakannya mengawasi dirinya seolah sedang menunggu sesuatu. 

"Aku masih tidak mengerti kenapa Hyeong mengajukan diri untuk pergi ke sana. Bukankah itu tempat yang paling dihindari semua orang? Bahkan perwira tinggi sekalipun." kata Chun Hee berdiri di sebelah kanan Joo Won dengan bahu bersandar pada loker dan matanya mengamati laki-laki itu yang sedang sibuk di hadapannya.

Jeon Su yang berdiri di sebelah kiri Joo Won mengerutkan alis bingung, "Bahkan dengan pangkatmu sebagai Mayor, tidak bisakah kau menolak tugas ini?"

Do Yeon yang berdiri di belakang Joo Won mendecakkan lidah, "Apakah kalian masih belum bisa menebak alasan kenapa Hyeong bersikeras tetap pergi meski semua orang sudah berusaha membujuknya?" Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, laki-laki itu tampak paling tenang di antara dua orang lainnya.

Chun Hee dan Jeon Su langsung mengalihkan pandangannya ke Do Yeon, seolah menunggunya memberikan penjelasan. "Tentu saja ini semua karena masalah hati. Kisah cinta dua anak muda yang tidak bisa terselesaikan oleh waktu."

"Apakah kau melakukan semua ini karena gadis itu, Hyeong? Karena dia tidak pernah membalas pesanmu, makanya kau memutuskan untuk bunuh diri di medan perang?" Tebak Chun Hee tanpa berpikir panjang.

"Hyeong, kalau semua ini hanya karena cintamu ditolak, aku bisa mencarikanmu gadis lain yang lebih cantik, pintar, banyak uang daripada Oh Yun-Hee."

Saat mendengar nama itu disebutkan oleh Jeon Su, tangan Joo Won yang sejak tadi bergerak tiba-tiba berhenti. Ia bisa merasakan betapa ia sangat merindukan gadis itu, ingin bertemu dengannya dan mendengar suaranya meski hanya sekali saja.

"Melihat kondisi Hyeong kita yang seperti ini, meski dia berhasil kembali dengan selamat dari tugas, aku yakin hanya masalah waktu saja sebelum dia mendaftar ke kuil dan mengabdikan diri menjadi biksu." Do Yeon bergumam dengan ekspresi percaya diri.

"Hyeong tidak boleh melakukan ini. Bagaimana nasib kami kalau kau tidak ada lagi disini." Chun Hee mulai mengeluh.

"Aku berjanji akan mencarikanmu ratusan bahkan ribuan gadis lain hingga akhirnya kau bisa melupakan gadis itu." tambah Jeon Su.

"Di kehidupan ini, Cho Joo-Won hanya ingin bersama Oh Yun-Hee. Jadi kalau bukan gadis itu, maka dia tidak akan menikah dan lebih memilih menyendiri seumur hidupnya." Do Yeon akhirnya merangkum apa yang sebenarnya diinginkan Joo Won menjadi satu penjelasan singkat karena tidak tahan dengan pemikiran Chun Hee dan Jeon Su yang masih juga belum mengerti.

Joo Won tertawa mendengar perdebatan ketiga orang itu, lalu ia menoleh ke kanan. "Aku bukan mau bunuh diri, kalaupun mau tidak perlu jauh-jauh sampai kesana." Kemudian ia memutar tubuhnya ke arah Jeon Su, "Cintaku belum ditolak, dia masih belum memberikan jawaban. Lagipula, meski banyak gadis lain yang jauh lebih baik dari gadisku, aku hanya akan bersama satu Oh Yun-Hee sampai nafas terakhirku."

Beralih ke arah Do Yeon yang sedang bersandar di loker lain, Joo Won berkata. "Yang kau bilang memang benar, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menunggu dan terus mencoba."

"Satu-satunya hal yang harus kau lakukan sekarang adalah pergi bersama kami." Suara lain dari ujung lorong terdengar dan membuat semua orang di sana berdiri tegak memberi hormat. Laki-laki yang lebih tua itu berhenti di depan mereka dan menganggukkan kepala sekali sebagai kode agar mereka menurunkan tangan. Pandangannya kemudian berhenti pada Joo Won. "Kau akan berangkat besok?"

"Ya, aku sedang membereskan beberapa barangku, Sunbae."

"Apakah masih ada yang perlu kau urus?"

"Tidak ada."

Tatapan laki-laki tua itu berubah, lalu ia memberi kode kepada Chun Hee dan Jeon Su melalui matanya. "Kalau begitu," beberapa saat kemudian kedua orang tersebut langsung melingkarkan tangan mereka di lengan Joo Won hingga membuatnya tidak bisa bergerak.

"Sepertinya ada pembicaraan penting yang ingin disampaikan Mayor Shin kepada kita." Do Yeon mengambil tas yang dipegang Joo Won dan memasukkannya ke dalam loker. Bunyi nyaring pintu loker yang ditutup dan dikunci terdengar oleh mereka semua.

"Karena pembicaraan ini sangat penting, sepertinya hari ini kita akan pulang terlambat." Kata laki-laki tua yang dipanggil Mayor Shin itu sambil tertawa dan berbalik berjalan menyusuri lorong kembali dengan kedua tangan diletakkan di belakang tubuhnya.

Saat Chun Hee dan Jeon Su mulai menyeret tubuh Joo Won, laki-laki itu berkata. "Tunggu sebentar, aku harus mengambil ponselku dulu."

"Untuk apalagi lagi? Tidak akan ada panggilan atau pesan penting yang masuk kesitu. Bukankah Hyeong sudah menunggu tiga tahun dan tidak ada balasan sama sekali?" Chun Hee mengeratkan cengkramannya seolah tidak akan membiarkan Joo Won lolos darinya.

"Lagipula Hyeong akan berangkat besok, tidak ada lagi kesempatan bagi kalian berdua untuk bertemu. Jadi, lebih baik bersenang-senang bersama kami hari ini sampai puas." Kemudian bersama Chun Hee, kedua orang itu menarik tubuh Joo Won hingga bergerak menuju pintu keluar dimana Mayor Shin sudah menunggu.

Do Yeon berjalan di belakang mereka sambil tersenyum lebar, bersiap untuk minum sampai mabuk bersama dengan rekannya yang lain. 

Saat mereka semua sudah pergi, ponsel di loker Joo Won bergetar menandakan ada pesan masuk. Beberapa pesan dikirimkan sekaligus, pesan pertama berisi lokasi tempat pertemuan dan pesan kedua berisi satu kata singkat.

Jangan terlambat.

***