webnovel

I'm Sorry, Love..

Cerita ini berlatar tahun 2007 an. Please, jangan hakimi Erica yaah (gadis 19 th itu). Karena dia bukan Bad Girl, Play Girl, F*ck Girl atau apalah itu. Dia hanya gadis polos yang hanya mengikuti proses pendewasaan hatinya untuk menemukan cinta dalam hidupnya. Dia ga jahat gaess, aseli, sumpah, dia ga jahat. Dia hanya gadis remaja yang kesepian dan ingin mencari kebahagiaan. Dia berlari, untuk sebuah pelarian dari semua problem keluarganya yang broken. # Erica mencoba belajar cinta dengan seorang Ari. # Erica falling in love dengan seorang Rasya. # Erica menggila dengan seorang Vino. What happened to the Love ..??? Baca sampai habiss gaess!! Dijamin lu ga bakal boring sama petualangannya Erica. Happy, Fun, Disappointed, Lies, Regret, Friend Zone, semua Erica rasakan di masa mudanya yang masih bergejolak dan tak tentu arah.

erijunior88 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
21 Chs

Menahan Diri

Dia adalah dunia baru untukku

Bagaikan mimpi indah yang mengikis lelah

Sesaat, namun begitu melekat

Meski pada akhirnya mimpi itu terkoyak oleh kenyataan yang terpaksa ku telan

Dan semuanya menjadi tertahan meninggalkan sebuah harapan

Semoga kelak akan ku jumpai lagi dunia baruku itu

Bukan sekedar di alam bunga tidurku yang indah

Namun di alam sadarku yang nyata

♡♡♡♡♡

Riuh cengkrama dan tawa membaur  dari para tamu yang merupakan sanak keluarga Ari di kediamannya siang hari itu.

Sebuah acara arisan keluarga yang pertama kali diselanggarakan untuk menyambung tali silahturami yang sempat merenggang karena kesibukan masing-masing setiap keluarga.

Beberapa orang terlihat santai berinteraksi dengan Eyang putri Ari, seraya menikmati makanan yang tersaji di meja makan yang cukup besar.

Dan beberapa lainnya asyik menikmati indahnya karaoke nostalgia tembang kenangan yang dinyanyikan bersama. Terlihat Ayah Ari pun membaur dalam indahnya kebersamaan yang hangat di ruang keluarga yang tak jauh dari meja makan.

Sementara Ari memilih sedikit menjauh dari kerumunan. Tepatnya di taman belakang rumahnya, dengan tangan yang menempelkan ponsel di telinganya.

Iya, dia baru saja selesai menelpon Erica untuk mengabarkan ketidakbisaannya menjemput pacar kesayangannya itu yang kini masih berada di rumah Novie.

"Bro, main PS yuk. Boring nih acaranya kebanyakan emak-emak rempong." Ujar pria yang tampak seumuran dengan Ari. Berparas tampan, dengan model rambut Afro Fade yang baru saja menghampirinya dari arah belakangnya.

"Nyesel gue. Niatnya cuma anter nyokap doang, eh..malah disuruh ikut nimbrung dimari." Oceh cowok itu lagi, yang tak lain adalah Vino. Si Don Juan kw. Sahabat Erica di kosan.

Parahnya lagi dia belum mengetahui bahwa Erica gadis yang selalu ia modusi di kosan merupakan pacar dari kakak sepupunya sendiri, yaitu Ari.

"Yah, nyesel juga dong lo ketemu gue?" Sahut Ari menimpali.

"Ga lah bro. Malah gue seneng ternyata ada lo disini. Kalo ga mah bisa mati gaya gue. Lagian kangen juga gue sama brother gue ini yang makin sibuk aja kayaknya." Celoteh Vino dengan muka riangnya seraya menepuk pundak Ari.

"Bisa aja lo." Balas Ari seraya terkekeh.

"Yuk Vin. PS nya ada di kamar gue. Biar tar lo bisa nyantai juga, nungguin sampe acaranya kelar." Ujar Ari seraya merangkul Vino.

Mereka berdua akhirnya memutuskan melenggang menuju kamar Ari yang berada di lantai dua. Mencoba mencari kesibukan dan keasyikan dunianya sendiri untuk menghilangkan kebosanan mereka.

"Wahh, asik banget kamar lo bro. Dari tadi aja kita ngungsi disini. Bete banget gue sumpah di bawah. Udah kayak acara tembang kenangan di TV tau ga?" Ujar Vino yang mengekori Ari saat memasuki kamarnya, dengan sebuah softdrink kaleng ditangannya.

Ari pun tertawa mendengar celoteh Vino, adik sepupunya itu.

Vino adalah anak Ibu Ira yang merupakan adik dari almarhumah Ibu Ari yang bernama Intan. Dulu ketika mendiang Ibu Ari masih ada, mereka sering menghabiskan waktu bersama.

Namun sejak Ibu Ari meninggal, tepatnya saat Ari masih SMP, dan dengan seiring berjalannya waktu membuat Ari yang kini tinggal bersama Ayah, Adik, dan Eyang Putri yang merupakan ibu dari Ayahnya, jarang bertemu dan bersilahturami dengan keluarga Vino.

Ditambah dengan kepindahan keluarga Vino dari rumah lamanya, dan kesibukan masing-masing keluaraga, semakin menambah jarak antara keluarga mereka berdua. Bahkan Ari sendiri belum pernah menyambangi kediaman baru Vino dan keluarganya.

"Mau main apaan Vin?" Tanya Ari yang sudah duduk bersimpuh di depan Play Station dan memilah-milih kaset gamesnya.

"Bola ajalah. Pro Evolution Soccer." Jawab Vino yang masih berdiri dengan mata yang berkelana memperhatikan setiap sudut kamar besar Ari.

"Yahh, tapi gue ga jago lagi main game soccer. Ga gitu suka bola soalnya." Balas Ari sambil tersenyum.

"Yaudah yang lain juga gapapa. Metal Slug ada ga?" Tanya Vino lagi.

"Ada deh kayannya. Favoritnya si Adi tuh, Metal Slug." Jawab Ari sambil tertawa kecil. Tangannya kembali mencari mengacak-acak tumpukan kaset PS koleksinya.

"Btw, Adi mana? Dari tadi ga keliatan?" Tanya Vino lagi.

"Biasa dia mah Vin, hobinya ngedekem di kamarnya. Maen game juga palingan." Balas Ari yang masih melanjutkan pencarian kaset game PS nya.

Sementara Vino yang masih berdiri, tertarik memperhatikan beberapa robot gundam yang menghiasi nakas samping tempat tidur Ari, sambil meneguk softdrink yang berada digenggamannya. Dan tak lama kemudian ia dikejutkan dengan sebuah penampakan benda yang terdapat di sebelah robot gundam Ari.

Benda itu adalah sebuah bingkai foto yang berisi potret selfie Ari dan Erica. Foto dengan tawa lepas keduanya yang diambil di dalam sebuah gondola, sesaat sebelum Ari menyatakan perasaannya cintanya terhadap Erica saat gathering di Ancol. (Ada yang masih ingat?)

Vino sempat terkejut, sampai tersedak saat melihat gadis yang bersama Ari adalah Erica. Teman kosan, yang sempat jadi target incaran dari playboy cap kutu kupret itu.

"Kenapa lo Vin? Pelan-pelan kali minumnya sampe batuk gitu." Cletuk Ari saat melihat Vino terbatuk-batuk sehingga memuncratkan minuman yang baru saja masuk ke mulutnya.

Ari pun mengambil tisu yang berada di rak TV tepat dihadapannya. Kemudian bangkit menghampiri Vino dan menyodorkan tisu dari tangannya.

"Itu pacar lo Ri?" Vino to the point melontarkan pertanyaan yang membuat Ari melebarkan matanya, heran.

"Iya Vin. Erica. Kenapa Emang?" Tanya balik Ari dengan antusias.

"Ahh gila. Sempit banget dunia. Ternyata Erica pacarnya Ari. Kakak Sepupu gue. Gimana kalo Ari tau kalo gue suka mepet ceweknya? Ampun deh..! Tobat lu Vin.." batin Vino mulai nerocos, merutuki kelakuannya sendiri. Matanya tak lepas memandangi foto itu.

"Woii! Bengong lagi. Kenapa sih? Lo kenal sama Erica?" Tanya Ari sembari melambaikan tangannya pelan tepat di depan wajah Vino yang cengo. Membuat Vino tersadar dari lamunannya.

"Oh..Y-ya kenal lah. Orang dia ngekos di tempat gue." Balas Vino sambil mengelap mulut dan bajunya dengan tisu. Berusaha bersikap natural dan santai.

"Serius Vin? Ga nyangka yah. Ternyata sempit banget dunia. Padahal gue sering anter Erica pulang loh. Kok kita ga pernah ketemu yah?" Ujar Ari antusias seraya tertawa lirih.

"Ya iya lah ga ketemu. Orang lo nganterinnya sampe depan gang doang. Malem mulu lagi nganterin pulangnya." Balas Vino santai lalu beranjak dari tempat ia berdiri menuju tempat play station.

"Kok lo tau sih? Erica suka cerita yah? Lo akrab sama dia?" Ari membrondong pertanyaan karena semakin penasaran.

"Bukan akrab lagi Ri. Gue aja sering modusin cewek lu biar bisa makan bareng." batin Vino lagi.

"Lumayan akrab sih. Dia juga suka cerita kok tentang pacarnya. Dan gue ga tau ternyata pacarnya itu lo." balas Vino santai sembari tertawa meringis. Tangannya membuka sebuah kaset games Metal Slug yang ingin mereka mainkan.

"Jadi main ga nih?" Tanya Vino yang mulai memutar games PS itu. Ari mengangguk, kemudian dengan wajah ceria, ia terlihat menghampiri Vino.

Mereka pun segera memulai memainkan gamesnya. Lalu Ari juga tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari tahu tentang keseharian pacarnya di kosan.

"Erica suka cerita apa aja tentang gue?" Ari membuka pertanyaan kembali. Dengan matanya yang tetap fokus pada layar televisi dan jarinya yang lincah menggerakan stick PS.

"Ya, dia suka cerita aja kalo abis jalan sama lo. Dia juga pernah bilang kalo lo tuh baik. Ga blangsak kayak gue. Cinta banget sih kayaknya dia sama lo." Balas Vino dengan tanpa menoleh ke Ari dan tetap fokus dengan games nya. Sementara Ari menanggapi dengan senyum tipis namun seperti menyimpan makna berbeda.

"Masa sih Vin? Lo yakin dia beneran cinta sama gue?" Ari dengan suara pelan melontarkan pertanyaan yang sama sekali tak terduga oleh Vino.

"Lah, kok lo malah nanya ke gue sih bro? Kesannya malah lo ga yakin sama dia?" Balas Vino mengangkat alisnya, saat melihat perbedaaan mimik wajah Ari yang kini terlihat gamang.

"Bukannya ga yakin sih. Tapi gimana yah ngomongnya? Kayak ada yang ganjel aja di hati gue Vin. Gue tuh masih ngerasa dia kayaknya ga secinta itu deh sama gue." Ucap Ari pelan. Membuat Vino menghentikan permainannya.

"Hah? Tar dulu, gue makin jadi bingung Ri. Maksudnya gimana? Kalau dia ga cinta sama lo, ga mungkin kan dia mau jadi pacar lo." Vino semakin terheran sejadi-jadinya dengan ucapan Ari.

Ari terdiam mencoba mencerna ucapan Vino. Namun nalurinya yang begitu kuat tak mampu menahan perasaan gusarnya yang selama ini ia pendam sendiri.

Ari mulai memutar ingatannya mengenai gelagat Erica yang terkadang membuatnya sangsi akan perasaan cinta Erica terhadapnya.

Meskipun dia dan Erica telah resmi berpacaran tapi dia bisa merasakan kalau Erica tidak sepenuhnya mencintainya.

Awalnya ia selalu mencoba berfikir positif untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia selalu beranggapan mungkin memang Erica masih belum terbiasa dengan hubungan baru mereka. Atau mungkin Erica bukan tipe cewek romantis dan lebih terkesan kaku.

Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa ada hal-hal kecil yang membuatnya janggal. Mengingat Erica yang jarang sekali memberikan perhatian layaknya sepasang kekasih.

Contohnya Erica yang jarang menelfonnya duluan untuk sekedar menanyakan kabar. Sikap Erica yang terlalu cuek, bahkan sampai sekarang tidak ada panggilan sayang dari Erica untuknya, seperti pasangan lain. Dan hampir tidak pernah ia mendengar ucapan sayang yang keluar dari mulut Erica untuknya.

Terakhir dia mendengar ucapan sayang dari Erica adalah tadi malam. Itu pun karena dia yang menanyakan langsung kepadanya. Dan saat itu Ari sebenarnya menangkap ekspresi wajah Erica yang terkesan penuh dengan tekanan dan keterpaksaan.

Ditambah kejadian saat Erica menolaknya saat ia berusaha mencium bibirnya semalam. Meskipun Erica menggantinya dengan memberikan kecupan kecil dipipinya, namun hal itu nyatanya semakin menambah keraguan dalam hatinya.

Ari terus menerawang dan mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan atas kecurigaan yang ia rasakan dan pendam sendiri saat ini tanpa membagikan cerita kepada orang lain. Dan ini adalah pertama kalinya ia mencurahkan isi hatinya. Kepada Vino, adik sepupunya.

"Vin, gue boleh minta tolong ga?" Tanya Ari dengan lirih, sedikit ragu.

"Apaan bro?" Balas Vino dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Tapi ini rahasia yah." Ujar Ari dengan tatapan penuh harapan.

Vino mengerutkan dahinya. Matanya menatap ke arah Ari dengan pandangan kebingungan.

*****

Sementara di waktu yang sama, di tempat berbeda, Erica terlihat masih sibuk membantu Rasya membuat lamaran kerja.

Terlihat beberapa buntelan sampah dari kertas folio tergeletak dibeberapa sudut area bawah meja lipat. Tentu saja sampah kertas itu dari coretan tangan Rasya yang beberapa kali melakukan kesalahan saat menulis lamaran kerja.

"Akhirnya kelar juga.." cletuk Erica, diiringi dengan helaan nafas lega, saat Rasya berhasil menyelesaikan tulisannya.

Sementara Rasya tak menghiraukan suara Erica. Ia terlihat sibuk merapihkan surat lamaran yang ia tulis, dan beberapa dokumen untuk melengkapi CVnya. Lalu ia pun memasukkan ke dalam sebuah amplop cokelat.

"Thanks yah." Ucap Rasya kemudian, dengan senyum tipis yang tersungging.

"Good luck yah Sya. Kalo diterima kerja jangan lupa sama gue, orang yang berjasa bantuin lo bikin surat lamaran." Ujar Erica.

"Pamrih banget lo." Balas Rasya santai sembari tertawa lirih.

Erica hanya terkekeh seraya memperhatikan senyum Rasya yang pertama kali ia lihat.

"Bisa senyum juga ternyata adiknya Novie." Ujar Erica dalam hati, masih menyunggingkan senyumnya.

"Btw, lo nganterin lamarannya dimana Sya?" Tanya Erica.

"Di rumah temen gue." Jawab Rasya singkat, seraya memunguti sampah kertas hasil karyanya.

"Rumahnya daerah mana?" Tanya Erica lagi.

"Di Jaktim. Deket Universitas Tunas Bangsa." Balas Rasya singkat.

"Wah, ngelewatin kosan gue tuh Sya." Ujar Erica.

"Ga nanya." Ujar Rasya santai.

"Dihh, baru aja tadi senyum manis. Sekarang kumat lagi ngeselinnya." Gerutu Erica dalam hati menanggapi ucapan Rasya. Kemudian otaknya mulai berfikir sesuatu.

"Gue nebeng pulang dong Sya." Ucap Erica ragu, seraya melirik ke arah Rasya, sembari menopang dagu dengan tangan kanannya.

Rasya sempat terdiam sesaat tak menjawab, hanya membalas tatapan polos Erica, dengan lirikan dari sudut matanya.

"Minggir dong. Mau gue lipet nih." Ujar Rasya yang terlihat ingin merapihkan meja lipatnya, melihat Erica yang bertopang dagu dengan tangannya yang masih berada di atas meja.

Erica pun menyingkirkan tangannya dari atas meja, namun tetap duduk bersimpuh beralas karpet bulu yang masih tergelar.

"Pacar lo kemana emang?" Tanya Rasya datar, seraya mengangkat meja yang sudah ia lipat lalu menyandarkan pada salah satu sudut dinding kamarnya.

"Pacar gue lagi ada acara di rumahnya, jadi ga bisa jemput." Balas Erica.

"Tapi sorry. Motor gue lagi dipake nyokap. Jadi lo ga bisa nebeng." Ujar Rasya.

"Ohh.. terus lo naik apaan Sya?" Tanya Erica kembali.

"Metromini." Balas Rasya singkat.

"Ooo..." Erica hanya ber-o-ria seraya mengangguk-anggukan kepala.

"Terus ngapain masih deprok disitu? Kan udah selesai nulis lamarannya." Cerocos Rasya yang berdiri di depan Erica yang terlihat masih duduk bersimpuh di atas karpet.

"Iya..iya.., ini gue mau pergi. Sewot banget sih." Gerutu Erica seraya memonyongkan bibirnya.

"Aduh..duh..kesemutan lagi." Ujar Erica yang sempat oleng dan jatuh terduduk kembali saat hendak bangkit dari duduknya.

Dan dengan spontan Rasya mengulurkan tangannya untuk membantu Erica berdiri.

Erica sempat salah tingkah saat melihat uluran tangan kekar Rasya. Entah apa yang ada difikirannya saat itu. Yang jelas sejak pertemuannya dengan Rasya selalu muncul perasaan aneh dan berbeda yang ia sendiri tak mampu menjabarkannya.

Ia kemudian langsung cepat-cepat menetralkan perasaan gugupnya. Dan perlaham menyambut uluran tangan Rasya lalu perlahan berdiri seraya meringis menahan sakit pada betisnya yang kaku karena kesemutan.

Mereka pun kini tengah berdiri sejajar. Dengan posisi tangan mereka yang masih bergenggaman. Mata mereka juga saling bertautan. Suasana sempat sunyi beberapa detik. Sebelum Akhirnya suara cempreng Novie memecahkan keheningan.

"Woii..woi.. ngapain lo berdua? Bandel yah. Berdua-duaan di kamar. Pake pegang-pegangan tangan lagi. Ada setan lewat tau rasa loh!" Oceh Novie sembari berkancak pinggang di tengah-tengah pintu kamar Rasya. Matanya sinis memandang kedua manusia dihadapannya.

Rasya seketika menghempaskan tangan Erica yang ia genggam dengan sedikit kasar dengan wajah sedikit panik dan kikuk.

"Iya, setannya lo Nov." Cletuk Erica, menutupi rasa gugupnya.

"Ga lucu." Balas Novie masih dengan tatapan sinisnya kepada Erica.

"Ih, jelek lo kalo kayak gitu. Kayak Nyi Pelet tau ga?" Ledek Erica sembari mencolek pipi Novie. Lalu ia berjalan dengan sedikit terpincang menuju ke kamar Novie.

Novie menghela nafas kesal lalu mengalihkan pandangannya kepada Rasya, adiknya. Ia melemparkan tatapan intimidasi seolah meminta penjelasan kepada Rasya yang kini membaringkan tubuhnya di kasur.

"Kenapa sih lo? Jangan negatif thinking. Orang gue tadi cuma bantuin temen lo yang ga bisa berdiri gara-gara kakinya kesemutan. Ga liat dia jalannya pincang kaya gitu?" Terang Rasya memberikan penjelasan.

"Oooo..kirain gue, lo naksir sama Erica." Ujar Novie sembari mengangkat sebelah alisnya.

"Gila kali gue naksir pacar orang. Ngaco aja otak lo. Sono pergi ah! Gue mau tidur." Ketus Rasya sambil melemparkan bantal ke arah Novie.

"Songong lo." Balas Novie seraya melempar balik bantal tepat mengenai wajah Rasya.

"Rusuh lo! Sama kayak temen lo." Ketus Rasya setelah menghempaskan bantal yang menutupi wajahnya.

Sedangkan Novie hanya membalas dengan acungan jari tengahnya ke arah Rasya lalu menutup pintu dengan kasar dan keluar dari kamar Rasya langsung menyusul Erica.

*****

Kesorean harinya, Rasya terlihat sudah rapih mengenakan setelan t-shirt dan kemeja flannel sebagai outhernya. Ditambah dengan backpack warna hitam yang tersampir di bahu kanannya yang semakin menyempurnakan penampilannya.

Ia terlihat keluar dari kamarnya dan tanpa sengaja berbarengan dengan Erica yang keluar dari kamar Novie, yang juga terlihat sudah rapih dengan masih menggunakan t-shirt kepunyaan Rasya yang ia lipat bagian lengannya karena kebesaran.

Bedanya kini dia sudah mengganti short pant punya Novie yang tadi siang ia gunakan, dengan celana jeans panjang berwarna navy blue kepunyaannya sendiri. Terlihat juga Novie mengekori Erica di belakangnya.

"Sya, gue masih pinjem kaos lo yah. Besok gue titipin Novie kalo udah gue cuci. Baju gue kemarin kotor soalnya." Ujar Erica saat berhadapan dengan Rasya. Dan Rasya hanya membalas dengan anggukan.

"Nov, gue ke rumah Adnan yah. Mau anter lamaran." Pamit Rasya kepada Novie.

"Iya. Langsung pulang lo. Jangan keluyuran. Bentar lagi mamah pulang loh." Balas Novie menceramahi.

"Iya bawel." Ujar Rasya. Matanya melirik ke arah Erica.

"Lo mau pulang?" Tanya Rasya yang melihat Erica nampak mengenakan tas slempangnya.

"Iya Sya." Balas Erica singkat.

"Mau bareng naik metromini?" Tanya Rasya lagi.

"Boleh deh Sya." Jawab Erica seraya tersenyum meringis.

"Nov, gue balik yah. Salam buat Nyokap lo sama Ina. Ga ketemu deh gue sama mereka." Pamit Erica.

"Iya tar gue salamin. Hati-hati lo." Ujar Novie.

Erica mengangguk kemudian melambaikan tangan ke arah Novie. Lalu ia mulai melenggangkan kakinya menyusul Rasya yang sudah lebih dulu meninggalkannya.

Erica dan Rasya kini tengah berjalan menuju jalan raya untuk menunggu metromini yang akan mereka tumpangi bersama. Ditemani hangatnya langit senja sore itu, yang seolah menjadi saksi perjalanan dua anak manusia itu

Tak ada percakapan dari keduanya. Erica hanya memandangi tubuh semampai dan punggung bidang Rasya yang terlihat berjalan lurus di depannya, tanpa memperdulikan keberadaannya di belakangnya.

Erica lalu mengeluarkan ponsel kesayangannya. Kemudian memasang earphone di telinganya dan memutar lagu dari playlist pada ponselnya.

Sebuah lagu dari Keane yang berjudul This is the Last Time mulai mengalun indah di indera pendengarannya. Mengiringi langkahnya mengekori jangkahan kaki jenjang cowok yang ada dihadapannya saat ini, yaitu Rasya.

The last time

You fall on me

For anything you like

Your one last line

You fall on me

For anything you like

And years make everthing alright

You fall on me

For anything you like

And I, no, I don't mind

This is the last time

That I will show my face

One last tender lie and

Then I'm out of this place

So tread it into the carpet

Or hide it under the stairs

You say that some things never dies

Well I tried and I tried

🎵🎵🎵

Kini keduanya nampak berdiri sejajar di trotoar dipinggir jalan raya, menunggu metromini yang akan mengantarkan mereka pada tujuan masing-masing.

Rasya dengan perawakan coolnya terlihat menebar pandangannya ke arah jalan raya. Ia kembali pada sifat asalnya yang tak banyak bicara.

Namun diamnya kali ini sedikit berbeda. Seperti ada yang ia tahan atau malah mungkin sedikit ingin menjaga jarak dengan wanita yang berada disampingnya yang kini terlihat bersenandung mengikuti lirik lagu yang sedang ia dengarkan.

Rasya dengan mata tajamnya menoleh lalu menatap Erica sekilas yang terlihat komat-kamit menyanyikan lagu yang ia dengar.

Ada kekaguman yang terpendam saat melihat wajah cantik nan polos Erica. Iris mata Erica yang bulat berwarna cokelat dengan tatapan yang berbinar melengkapi indahnya suasana senja kala itu.

Namun nyatanya itu hanya cerita batinnya saja. Tak mungkin juga ia ungkapkan karena hanya akan membuat Erica ge-er saja, pikirnya. Dan terlebih ada alasan lain yang lebih kuat yang membuat Rasya hanya menyimpan rapat rasa kekagumannya terhadap Erica.

Rasya kembali meluruskan pandangannya ke depan. Seolah tak mau lama-lama memandangi wajah perempuan disampingnya.

Dan kini berganti Erica yang melirik ke arah Rasya yang tengah terdiam meluruskan pandangannya ke depan.

Ia memperhatikan lekat-lekat wajah pria itu dari samping. Sungguh sempurna, batinnya. Alis yang hitam tebal, mata yang tajam, dan hidung mancungnya menyempurnakan lekuk wajahnya yang tegas. Rambut gondrongnya yang sedikit berantakan tertiup angin semakin menambah kekharismatikkannya.

Ditambah dengan sikap dan pemikirannya yang selalu realistis dan berprinsip semakin membuat Erica  terkagum.

Namun pada akhirnya gumaman pujian itu juga hanya tersimpan dalam benak Erica. Ia tak mau terlarut dan terbawa perasaan. Takut nanti pada akhirnya akan menambah persoalan hidupnya kembali.

Rasanya, kisah cintanya yang rumit bersama Ari sudah cukup memporak-porandakan perasaannya. Ia tak mau menambah masalah lagi. Ia pun memilih menurunkan pandangannya. Mengalihkan semua pikiran yang berkecambuk dihatinya.

Beberapa menit kemudian metromini yang sedari tadi mereka tunggu akhirnya datang juga. Erica terlebih dahulu berbegas naik diikuti Rasya dibelakangnya.

Erica langsung masuk menerobos kepadatan penumpang di dalam metromini, sembari menaruh asal earphone pada tas slempang yang ia kenakan. Cerobohnya lagi ia malah lupa menutup resleting tasnya.

Sementara Rasya berdiri terpisah dari Erica, terhalang oleh beberapa penumpang lain. Karena memang kondisi metromini yang sesak dan penuh oleh penumpang. Namun dari kejauhan pandangan Rasya tak luput ke arah Erica. Sekedar memastikan keadaan cewek itu baik-baik saja.

Dan sialnya kini mata Rasya menangkap seorang pria yang berdiri di dekat Erica, sedang mencoba melakukan tindakan kriminal. Tangan pria itu terlihat memasuki tas Erica yang tadi lupa ia tutup resletingnya. Bodohnya lagi Erica terlihat tak menyadarinya. Ia hanya fokus menatap ke arah luar jendela.

Rasya geram, menggertakkan giginya, mata tajamnya melebar, rahangnya mulai mengeras.

"Bajingan!" Gerutunya lirih sembari menerobos kasar penumpang lain untuk menghampiri Erica. Tak peduli penumpang lain yang merasakan tekanan dari tubuhnya saat melintas.

"Ngapain lo bangsat?" Ketus Rasya saat sampai dihadapan pria yang berusaha mencopet Erica.

Ia mencekal tangan pencopet yang sudah memegang dompet Erica yang baru saja diambilnya dari dalam tas Erica.

Tangan kekar Rasya pun memlintir pergelangan tangan copet itu, hingga sang copet terlihat meringis kesakitan. Kemudian Rasya  mendorongnya dengan kasar setelah berhasil mengambil kembali dompet Erica dari tangan pencopet itu.

Sang pencopet itu kalang kabut lalu kabur menerobos kerumunan dan memilih melompat dari pintu belakang metromini mencoba menyelamatkan diri dari amukan massa sebelum penumpang lain menyadari kejahatannya.

Sementar Erica hanya tercengang dan membelalakkan matanya saat menyadari kejadian yang menimpanya. Dia tak percaya kalau dirinya hampir saja menjadi korban pencopetan.

"Kenapa itu tadi dek?

"Tadi copet yah?

"Udah kabur orangnya?

"Kamu gapapa dek?

"Apanya tadi yang di copet?

Kegaduhan pun tak terelakkan lagi. Pertanyaan-pertanyaan terlontar dari penumpang lain kepada Rasya dan Erica.

"Sudah aman kok. Dompetnya udah saya ambil lagi." Terang Rasya sembari tersenyum simpul, menjawab pertanyaan para penumpang yang penasaran.

"Syukurlah.." Jawab salah salah satu ibu-ibu penumpang.

"Lain kali ati-ati neng. Jangan jauh-jauh dari pacarnya." Sahut ibu-ibu yang sedang duduk tepat disamping Erica berdiri. Membuat Erica mengerutkan dahi atas ucapan sok tau ibu-ibu itu.

"Dia bukan pacar saya Bu." Ujar Erica mencoba menjelaskan. Sedangkan Rasya memilih diam dan cuek tak menanggapi ucapan ibu-ibu penumpang ataupun ucapan Erica.

"Masih calon yah? Baru Pdkt?" Tanya ibu-ibu penumpang, rasa sok taunya makin membabi buta. Erica hanya menggeleng sembari tertawa meringis dan mengusap tengkuknya. Lalu mengalihkan pandangannya kepada Rasya yang berdiri dihadapannya.

"Dompet lo nih." Ujar Rasya menyodorkan dompet Erica kepada sang empunya, seraya menaikkan backpack hitam dibahunya.

"Makasih Sya. Duh, gue ga tau gimana nasib gue kalo ga ada lo." Balas Erica seraya menerima dompet dari tangan Rasya. Ia pun kemudian memasukkan ke dalam tasnya.

"Tasnya ditutup yang rapet, terus dikedepanin." Titah Rasya perhatian. Erica mengangguk.

"Jangan jauh-jauh makanya. Nyelonong aja sih tadi ninggalin gue." Gerutu Rasya sambil membuang muka ke arah luar jendela. Sementara tangan kanannya berpegangan pada handle besi yang berada di atasnya.

Dan Erica yang berdiri berhadapan dengan Rasya, tak mampu menjelaskan perasaannya saat ini.

Ia terdiam seribu bahasa. Menunduk dan sempat menyunggingkan senyum tipisnya tanpa sepengetahuan Rasya.

Tak lama kemudian tiba-tiba badan Rasya terdorong memepet ke arahnya saat ada salah satu penumpang yang melintas dan ingin turun.

Wajah Erica tergencet dada bidang Rasya yang semakin membuat jantungnya berdetak tak beraturan. Mau mati di tempat rasanya.

Rasya pun mencoba menguatkan pegangannya agar tak semakin mendorong tubuh Erica. Perasaannya saat ini sama seperti apa yang dirasakan Erica. Gugup, kikuk, dan salah tingkah dalam posisi sedekat ini dengan Erica. Namun ia selalu mencoba menutupi perasaannya dengan ekspresi muka datarnya.

Ketika suasana kembali normal, keduanya nampak menetralkan kekikukan mereka. Mata mereka sempat beradu, kemudian keduanya buru-buru mengalihkan pandangannya.

Rasya membuang pandangannya lurus ke arah jendela, sedangkan Erica tak punya pandangan lain selain dada bidang Rasya yang sejajar lurus dengan matanya. Seraya diam-diam menyunggingkan senyum tipisnya.

Sekali-kali ia mendongak ke atas mencuri pandang wajah cowok yang menjadi superhero-nya hari ini. Yang membuat celengan kekagumannya terhadap Rasya bertambah satu lagi.

"Copot loh tar matanya liatin gue terus." Ujar Rasya yang rupanya sedari tadi sadar diperhatikan Erica. Dengan mata tajamnya ia menundukkan kepalanya, menatap wajah mungil Erica yang cukup dekat dengannya.

Erica yang ke-gep pun hanya bisa tersenyum kaku tanpa bicara. Keduanya lantas kembali mengalihkan pandangannya. Menahan semua perasaan yang sulit dijelaskan.

Atau mungkin sebenernya mereka berdua bisa mendeskripsikannya namun sengaja menyangkal dan memilih memendamnya rapat di hati. Karena keduanya sadar ada benteng yang menghalangi perasaan keduanya.

Menahan diri, hanya itulah yang saat ini bisa mereka lakukan. Menunggu semesta yang mungkin nanti akan memberikan mereka kesempatan waktu untuk bisa menterjemahkan semua perasaan keduanya nyata, melalui kata-kata. Entah kapan itu waktunya?!

*****

Bersambung...