webnovel

I’LL STAY (tamat)

"I'll have been falling in love with you today, tomorrow, and forever." Menerima perasaan yang sama dari orang yang disukai apalagi dia orang terkenal adalah suatu yang mustahil, tapi Kirana mendapatkan semua itu dalam sekejap. Tapi saat itu terjadi Kirana menyadari bahwa hatinya sudah dicuri oleh laki-laki yang sama sekali tidak dia harapkan.

Rufina_Dian · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
21 Chs

TIGA BELAS

Dylan melihat Kirana berdiri di sudut lobi Balai Sarbini, menunggu. Ia tidak tahu harus berkata apa pada gadis kelinci itu. "Hei kelinci, ada permen gak?"

Kirana menganggukkan kepalanya, ia mengeluarkan permen Cavendish & Harvey-nya yang sudah menjadi permen favorit mereka berdua. Ia membuka tutup kalengnya dan membiarkan Dylan memilih permen rasa buah kesukaannya.

"Manajer Koh kemana?" tanya Dylan dan gadis itu hanya mengangkat bahu tanpa menjawab.

Dylan melirik jam tangannya, masih ada lima belas menit lagi sebelum mulai. Ia memandangi wajah Kirana yang sedikit pucat dan lingkaran hitam di bawah matanya menjelaskan kalau wanita itu kurang tidur.

"Gimana jalan-jalannya sama Pevita Love?" tanya gadis itu sambil mencibir.

"Pevita love?" Dylan mengulangi perkataan Kirana dengan nadanya yang aneh. "Kok nada kamu begitu sih menyebut nama Pevita?"

"Kenapa? Kamu nggak senang aku panggil dia begitu?" tanya Kirana yang terlihat begitu marah saat menatap Dylan, tapi kemarahan itu tidak berlangsung lama.

"Apa? kenapa melihat aku begitu?" tanya Dylan merasa aneh. "Aku masuk duluan."

"Tunggu!" gadis itu menarik lengan Dylan dengan sedikit kasar.

"Apa?"

"Kamu nggak apa-apa?"

Dylan hanya mendesis pelan−memakai kaca mata hitam kesayangannya. "Nggak apa-apa bawel!"

Kirana duduk mengambil posisi paling sudut tepat disebelah manajer Koh dan disudut lainnya duduk promotor konser Dylan dan Alva, tentu saja sang artis duduk di tengah-tengah. Kirana sengaja duduk disudut agar tidak terlalu tersorot media dan sedikit mengurangi silaunya cahaya jepretan kamera, karena semua itu membuatnya pusing.

Satu per satu wartawan mulai dipersilahkan masuk oleh pihak keamanan yang berjaga di pintu masuk. Mereka sangat tepat waktu sekali, jam satu siang semua sudah bersiap dengan kamera, buku catatan, ponsel canggih untuk merekam.

"Terima kasih teman-teman sudah mau datang dan maaf membuat kalian semua bingung," ucap Alva membuka pembicaraan sambil melemparkan senyumnya yang paling menawan dan seperti biasa pembawaannya selalu tenang dalam menghadapi wartawan. Sedangkan Dylan lebih banyak diam, ekspresi wajahnya dibalik kaca mata hitam tidak bisa terbaca dan membuat Kirana semakin khawatir. Saat tadi bicara dilobi, wajah Dylan terlihat pucat dan kurang istirahat. "Kami mengadakan konferensi pers untuk meminta maaf kepada semua penggemar kami karena konser di Balai Sarbini diundur hingga awal Februari."

Setelah Alva mengucapkan kalimat itu, semua wartawan mulai berbisik-bisik satu sama lain, suara riuh mulai terdengar dan beberapa pertanyaan mulai dilontarkan oleh mereka, "Kapan tepatnya tanggal konsernya diadakan? Tiket yang sudah ludes terjual apa masih berlaku?"

"Ya tanggal 5 Februari dan tiket yang sudah terjual masih berlaku," jawab Alva.

"Kenapa konsernya ditunda? Apakah ini salah satu trik kalian untuk mendongkrak kesuksesan konser supaya orang-orang makin penasaran? Atau trik kalian buat mendongkrak single Alva berikutnya?"

Alva hanya tertawa mendengar lontaran pertanyaan para wartawan yang begitu kritis. Tentu saja tawa itu hanya akting semata. Luar biasa kan? Melihat Alva seperti itu membuat Kirana bertanya-tanya dalam hati, apakah pernyataan cinta Alva itu sungguh-sungguh padanya?

"Enggak dong, semua masih dalam tahap proses persiapan aja supaya konsernya berjalan lancar dan tentu aja luar biasa."

Kirana melihat Alva melirik Dylan memberi tanda supaya Dylan bersuara. "Kami minta doanya pada teman-teman semoga konser kami lancar," jawab Dylan sambil tersenyum.

Setelah itu pertanyaan-pertanyaan lain dijawab oleh manajer Koh dan promotor acara dan semua berjalan lancar hingga celetukan salah seorang wartawan dengan topi merahnya melenceng dari pembahasan. "Hei bukannya dia wanita yang ada difoto itu?" mendengar lontaran seperti itu sontak membuat semua kamera menyorot ke arah Kirana.

"Teman-teman maaf, pertemuan kita disini untuk menjelaskan penundaan konser dan terima kasih kalian sudah mau datang. Jumpa pers sudah selesai!" seru manajer Koh dan tentunya tidak digubris sama sekali. Yang ada mereka mulai bertubi-tubi melempari Kirana dengan pertanyaan.

Kirana menyadari sesuatu, hari ini ia mengenakan jaket abu-abu yang sama seperti saat itu dan rambutnya yang sebahu ia gerai.

"Kamu perempuan yang ada di foto itu kan? Yang berciuman sama Dylan?" semua teringat foto mereka yang tersebar di dunia maya. Pengambilan gambar dengan angle yang sangat pas seperti sedang berciuman, padahal saat itu Kirana sedang menunduk berusaha memapah Dylan. "Sejak kapan kalian berhubungan? Bukannya kamu itu asisten mereka? Apa kamu mencoba mencari popularitas supaya bisa tenar?" dan masih banyak pertanyaan yang tentunya tidak enak didengar.

Manajer Koh yang melihat kejadian itu langsung memanggil security untuk mengamankan situasi dan meminta mereka untuk keluar ruangan.

Kirana gemetar, telapak tangannya basah karena keringat dingin mulai mengalir disekujur tubuhnya. Ia hanya bisa duduk terpaku. Matanya melotot menatap silaunya cahaya jepretan kamera yang mengarah padanya dan membuat pandangannya berkunang-kunang. Bagaimana ini?

Wartawan-wartawan itu terus menyerangnya. Pandangannya mulai berkabut ditutupi oleh genangan air mata. Ia sadar jika dirinya membuka mulut mencoba meluruskan, yang ada ia akan menangis dan bukannya menjelaskan malah semakin mengacaukan.

"Ayo kelinci!" tiba-tiba Dylan menarik tangan Kirana mengajak keluar dari ruangan itu dan dapat dipastikan para pencari berita itu bersorak tidak jelas. Tanpa perlawanan yang berarti Kirana mengikuti langkah laki-laki itu dan sadar bahwa dirinya sudah diselamatkan dari ruangan neraka itu.

"Tunggu! Manajer dan yang lain?"

Dylan menoleh dan menatapnya dengan tajam. "Kamu mau nungguin mereka sampai wartawan itu datang dan mencecarmu dengan puluhan pertanyaan yang nggak masuk akal?"

Kirana menggelengkan kepalanya, menarik nafas dan menghembuskannya dengan cepat dan pasrah. "Terus sekarang gimana?" tanya Kirana memandang sekeliling parkiran mobil yang sepi.

"Nggak tahu!" jawab Dylan kesal. "Mata mereka jeli banget sih!"

"Sekarang mereka bukan buat berita soal konser doang, pasti soal—kita."

"Sial! Gue nggak peduli lagi, itu urusan mereka!" Dylan menyalakan mesin mobilnya, ia mengintip ke belakang lewat bahunya dan langsung tancap gas sebelum wartawan itu mengejar mereka.

"Mm," tangan Kirana menutup wajahnya yang silau karena salah satu dari wartawan tersebut berhasil menangkap wajah mereka berdua di dalam mobil.

"Sial!" seru Dylan. "Kita ke apartemen kamu aja, mereka pasti sudah nungguin di depan apartemen gue."

          

Dylan menjatuhkan tubuhnya ke sofa yang jauh dari kata empuk jika dibandingkan dengan sofa yang ada di apartemen mewahnya. Tidak lama kemudian ia memilih merebahkan tubuhnya yang lelah; matanya sedikit mengantuk. Beberapa hari belakangan ini, ia bisa merasakan tubuhnya dalam keadaan tidak sehat.

Ia mengangkat salah satu lengannya untuk mengganjal kepalanya dan salah satu lengannya lagi untuk menutup matanya supaya tidak silau terkena cahaya lampu, tapi ia tidak bisa tidur. Dylan tidak tahu apa yang dilakukan gadis kelinci itu−sangat berisik dan sangat mengganggunya. Ia bisa mendengar dengan jelas dari ruang tamu tempatnya berbaring, kalau gadis itu seperti membuka laci lalu menutupnya lagi, membuka lalu menutupnya lagi.

"Kelinci! Berisik!" seru Dylan masih dalam posisinya, kepalanya sedikit pusing.

Kirana buru-buru keluar dari kamarnya, menghampiri Dylan yang masih tiduran di sofa. "Maaf, aku nyari ini nih!" gadis itu membuka lembaran kertas yang ada ditangannya−surat perjanjian kontrak kerja. Kirana terus membolak-balik kertas tersebut dan membacanya dengan tergesa-gesa. Mencari-cari hal yang dilarang sebagai asisten sambil terus berdecak.

"Memangnya kenapa?" tanya Dylan membuka matanya perlahan dan melirik gadis itu.

"Dilarang menjalin hubungan asmara dengan atasan maksudnya artis, terus sesuai surat perjanjian ini aku bakalan diberhentikan secara sepihak oleh manajemen," jelasnya.

Dylan beringsut duduk, menghela nafas dan menepuk-nepuk sofa kosong yang ada di sebelahnya, menyuruh gadis itu duduk bersamanya. "Bukannya itu yang kamu mau?"

Kirana menoleh, menatap Dylan dengan tatapan penuh tanya.

"Iya, bukannya kamu kangen sama hal yang benar-benar dunia kamu?"

Mendengar pertanyaan laki-laki itu sontak membuat Kirana terkejut. Memang benar, jauh di dalam lubuh hatinya ia merindukan dunianya. Dunia tata rias yang ia impikan. Merindukan bagaimana caranya berjuang bersama teman-temannya untuk menjadi penata rias professional yang sama-sama ia impikan bersama mereka.

"Mungkin kedengarannya naif tapi hidup kita itu cuma sekali, jadi lakukan apa yang benar-benar kita inginkan selama itu baik." Dylan menaikkan kedua alisnya, "Hmm... brosur itu?"

Kirana kembali terkejut saat laki-laki itu mengetahui masalah brosur yang ia selalu bawa kemana-mana. Ia melirik tas yang teronggok di sudut sofa.

"Jangan cuma dibawa-bawa terus atau dipikirin, tapi langsung bertindak."

Kirana mengangguk mengerti perkataan Dylan, tapi kali ini ada masalah yang lebih serius. "Soal gosip itu... bisa merusak konser gak?"

"Sedikit," jawab Dylan santai tidak terlihat bingung ataupun takut.

"Padahal gosip itu sama sekali nggak benar," ucap Kirana sambil mendengus dengan senyumnya yang hambar. "Menjalin hubungan apanya?"

"Kata siapa? Kali ini gosip itu benar kok,"

Kirana mengerjapkan matanya tidak mengerti dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, tapi yang jelas telinganya kali ini ikut merona. Maksudnya benar? "Aku..."

Laki-laki itu tersenyum lalu mencium kening Kirana dengan lembut. Setelah itu ia kembali berbaring di sofa dan membiarkan Kirana tetap duduk di pinggir sofa. Dylan memejamkan matanya, "Aku capek..." ucap Dylan lesu dengan nafas tersengal-sengal.

Kirana segera beranjak menuju kamar, mengambil selimut bersih dari lemari dan menyelimuti Dylan yang terlihat menggigil disertai peluh di keningnya. "Kamu demam," Kirana menyentuh kening untuk mengukur suhu tubuh Dylan.

"Kirana aku nggak apa-apa," ucap Dylan lirih. "Hp di jaket—dokter Bayu,"

Dengan sigap, Kirana merogoh jaket laki-laki itu untuk mencari ponsel. Untuk sesaat Kirana tertegun saat mendapati tabung plastik berisi obat-obatan, tanpa ia sadari nafasnya tercekat. Ada sesuatu yang membuatnya takut, tapi pikiran buruknya kembali buyar setelah mendengar Dylan bergumam pelan dalam tidurnya.

Ruang tamu terasa sunyi saat Kirana pergi. Dylan tidak tahu gadis itu pergi kemana? Mama... bisik Dylan pelan. Ia benci dirinya sendiri yang selalu memanggil wanita itu disaat dirinya sakit. Ia benci wanita itu. ada rasa sakit saat memanggilnya, tapi ada rasa hangat saat mengingat wanita itu.

"Kirana?" panggil Dylan saat mendengar keributan di pintu apartemen gadis itu.

"Iya ini aku, aku minta obat penurun panas sama tetangga-ku," Kirana menyodorkan segelas air dan obat ke tangan Dylan. "Dokter Bayu akan segera kemari,"

Dylan mengangguk pelan, dengan perlahan ia meminum obat tersebut dan matanya terpaku pada wanita yang berdiri memunggungi dirinya dan Kirana. "Dia?" ada hal aneh yang menyeruak di dalam dada Dylan.

"Itu loh tante tetangga yang tempo hari aku ceritain ke kamu. Kamu pindah ke kamar aja ya, istirahat."

"Hmm," Dylan berjalan terhuyung dibantu gadis itu menuju kamar yang kecil dan terasa nyaman. Ia berbaring dan tanpa sadar sudah tertidur pulas.

Kirana melangkahkan kakinya dengan hati-hati, berusaha agar Dylan tidak terbangun dari istirahatnya. Ia menemui tante Elisa yang masih menunggunya di ruang tamu; sama seperti dirinya, tante Elisa terlihat khawatir.

"Dia sudah tidur," Kirana tersenyum hingga lesung pipinya terlihat jelas.

"Syukurlah, kalau begitu tante pulang dulu ya,"

"Iya, makasih tante obatnya." Kirana mengantar tetangganya hingga ke pintu dan seorang laki-laki berumur sudah berdiri ambang pintu. Laki-laki itu sekitar enam puluhan, rambutnya tipis; warna rambutnya nyaris putih semua. Tubuhnya masih tegap dan sehat. Laki-laki itu sederhana dengan bingkai kacamata-nya yang berwarna coklat tua.

"Saya dokter Bayu," laki-laki itu memastikan nomor yang tertera di pintu apartemen Kirana. "Dylan ada disini?"

"Oh iya dokter, silahkan masuk. Aku Kirana yang tadi menelepon dokter," melihat penampilan dokter Bayu dengan kemeja lengan pendek dan celana panjang, penampilannya tidak seperti yang digambarkan oleh Kirana. Gadis itu selalu beranggapan kalau dokter selalu berambut klimis dan mengenakan jas putih setiap kali bekerja.

Kirana melambaikan tangannya pada bibi Elisa dan mempersilahkan dokter Bayu untuk masuk. Ia memperhatikan dokter Bayu yang begitu terlihat serius saat melihat tetangganya. "Bagaimana keadaan Dylan sekarang?" tanya dokter Bayu kembali melempar pandangannya pada Kirana.

"Badannya demam tinggi, tapi sudah saya berikan obat penurun panas. Sekarang Dylan sedang tidur," Kirana mempersilahkan dokter Bayu ke kamarnya untuk melihat keadaan Dylan, tidak butuh waktu lama dokter Bayu kembali ke ruang tamu. "Apa dia akan baik-baik aja?"

"Kamu siapanya Dylan?"

"Ah, aku temannya." Kirana mengulurkan tangannya untuk mempersilahkan dokter Bayu untuk duduk dan menyuguhkan segelas air putih.

"Kamu tahu masalah yang Dylan hadapi?" tanya dokter Bayu dan melihat Kirana menganggukkan kepalanya. "Penyakit jantungnya semakin kemari semakin memburuk, sebenarnya dia sudah tidak boleh terlalu lelah. Belakangan ini bagaimana?"

"Dia nggak pernah menceritakan keadaan yang sebenarnya. Aku nggak tahu apa yang dia rasakan, tapi aku tahu dia menderita dan wajahnya selalu pucat." Jelas Kirana. Ia bisa mendengar helaan nafas dokter Bayu meski sangat pelan.

"Dylan memang begitu, tapi sepertinya dia dekat denganmu. Saya yakin kamu bisa membantunya melewati semua ini."

"Tapi Dylan bisa sembuh kan dok?"

Dokter Bayu mengangguk. "Secepatnya menjalani operasi dan pola hidup sehat, lagi pula Dylan masih muda untuk berhasil kemungkinannya sangat besar."