webnovel

Bella? It's Always Been Olivia

ALVA menatap gadis yang tengah tertawa bersama sahabatnya. Gadis yang dengan telak mencuri seluruh hatinya dan seolah enggan untuk mengembalikan. Gadis cantik yang membuat seorang Alva Marteen hampir mati hanya karena tak bisa memilikinya.

"Liv, itu si Alva nontonin elo mulu, liat." Bella tertawa, membuat Olivia menatap Alva yang tampak gelagapan karena terlalu lama melihat wajah Oliv.

"Guys, sudah ku bilang berkali-kali. Jangan berbicara dengan bahasa allien di depanku! Aku jadi tidak tahu apa kalian sedang menjelekkan atau mengatakan hal baik tentang ku!" ucap Alva kesal, mambuat Bella tertawa, "Ini cogan satu gampang amat tersinggungnya, dih."

Mendengar kata 'cogan' dari mulut Bella, Alva tampak menatapnya garang, "Lihat! Gadis kecil satu ini benar-benar sedang membicarakan ku!" pria itu mengapit leher Bella di bawah ketiaknya, membuat gadis itu tertawa minta dilepaskan, "Come on! How come you think it's you? Dasar terlalu percaya diri!"

"Karena kau mengatakan 'cogan', dan satu-satunya 'cogan' di sekitarmu, itu aku!" Alva terkekeh, membuat Bella masih berusaha melepaskan lengan Alva yang mengapit lehernya, "Demi Tuhan! Kenapa pria ini begitu percaya diri?!"

"I am not, that's reality."

"Olivia, my baby Hunny, can you stop laughing and let me out of him right now?!" teriak Bella, membuat Oliv semakin tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya. "Bukankah itu impianmu? Kau selalu membicarakan betapa tampannya Alva kepada ku." ucapan Oliv sanggup membuat wajah Bella memerah, "Anjir, Oliv! Lo mau bikin gue malu, anjirr?!"

"Really, Bella?" Alva menyeringai, membuat wajah Bella semakin memerah. Gadis itu mendengus, "Come on, letak me goreng! Ketiakmu benar-benar tidak sedap! Apa kau tidak mandi sehabis dari gym? The Hell, Alva!"

Alva spontan melepaskan lengannya dan mencium kedua ketiaknya, "Really? But this feels good tho."

Bella tertawa seraya bersembunyi di belakang punggung Oliv, membuat Alva tampak menatap gadis itu kesal, "Demi Tuhan! Jika aku mendapatkanmu, aku akan membuatmu mencium bau kaos kakiku!" Alva tampak berusaha mendapatkan Bella yang terus menerus menggunakan tubuh Oliv sebagai tamengnya. Membuat Olivia terguncang kesana kemari, namun tak ayal, gadis itu tertawa, "Guys! Stop! Kalian ini benar-benar seperti anak kecil!"

"Iye, mama, mentang mentang yang pacaran sama papa papa hot jadi dewasa gini." ucapan Bella membuat Olivia gemas. Gadis itu berbalik untuk menangkap tubuh Bella dan melemparkannya kepada Alva, "Aku setuju jika dia harus mencium bau kaos kakimu, Alva!"

Bella mendelik. Kini, Alva tengah mengunci tubuhnya, "Olivia! What a best friend you are!" Oliv tertawa menatap Alva yang kini sedang memeluk Bella dengan satu lengannya, sedangkan lengan lainnya tengah berusaha melepaskan kaos kakinya. Membuat Bella terus berteriak dan menutup wajahnya. Tanpa menyadari bahwa pria itu membisikkan sesuatu ke Bella, membuat gadis itu mengangguk mengerti tapi masih berteriak histeris.

"Kena, kau!" Alva tertawa terbahak-bahak ketika berhasil menempelkan kaos kakinya di hidung Bella, membuat gadis itu benar-benar ingin muntah. Serius, walaupun Alva berbisik padanya agar pura-pura mual sehingga bisa memberi waktu untuk Alva dan Oliv, tapi, kaos kaki Alva benar-benar membuatnya ingin muntah!!

"What the hell, Alva?! Sudah berapa lama, huek, kau, huek, memakai kaos kaki itu?! Shit!!" Bella berlari mencari toilet, benar-benar tidak percaya bahwa pria se-perfect Alva mempunyai bau kaos kaki sehingga itu.

"Bella?!" Oliv hampir saja mengejar Bella ketika tangannya di tahan oleh Alva. Well, setelah beberapa lama, akhirnya, ia punya waktu untuk berdua dengan Oliv. Tanpa gangguan siapapun.

"Can we talk?" Ucap Alva manis. Membuat Oliv tampak menatapnya canggung. Perlahan, gadis itu melepaskan genggaman Alva pada lengannya, "Eh, why not?" Alva tersenyum. Pria itu menggenggam tangan Oliv, lagi-lagi membuat gadis itu berusaha melepaskan genggaman Alva. Namun Alva tidak peduli. Ia tetap menahan lengan Oliv sebisa yang ia bisa.

"Kau ingat? Ini tempat pertama. Tempat pertama saat kau menunjukkan senyumanmu padaku." Oliv tidak menjawab. Memang, mereka ada di Central Park. Entah ap yang membuat Alva mengajaknya ke sini, "Alva, please," Oliv mendesak. Dia tidak suka akan topik pembicaraannya.

"No, Oliv. Aku tidak sedang merayumu," Alva tertawa. Pria itu menarik Oliv menuju sebuah perahu kayu yang pernah ia naiki dengan Alva. Hanya saja, karena sudah malam, dan bukan malam hari libur, si pemilik perahu kayu sudah pulang. Oliv pasrah untuk mengikuti kemauan Alva. Gadis itu terduduk di hadapan Alva yang tampak menatapnya begitu dalam. Benar-benar membuatnya merasa tidak nyaman.

"Sungguh," Ucapan Alva tergantung. Mata coklatnya bersinar, menatap dalam mata hitam di hadapannya. Alva meraih wajah Oliv, membuat gadis itu tersentak, namun tak mencoba menolak.

"Aku tidak tahu, apa yang harus ku lakukan. Hanya saja, aku benar-benar mencintaimu, Oliv." Oliv menggeleng. Gadis itu melepas pegangan Alva di wajahnya, "It's enough, Alva."

"Tidak bisa cukup, Oliv. Bahkan jika kau menyakitiku dengan semua penolakanmu, cintaku, tidak akan pernah cukup untukmu." Alva menghela nafas panjang, "Sama seperti apa yang kau katakan, aku pun tidak bisa memilih untuk mencintaimu ataupun berhenti mencintaimu."

Pria itu mendekatkan tubuhnya, kemudian mencium kening Oliv begitu lama. Hingga ia tak menyadari bahwa air mata sudah menetes hingga jatuh di atas pipi Oliv, "Jika aku tidak bersikap bodoh, kau pasti masih ada di sebelahku. Kau pasti masih mencintaiku." Oliv menggeleng. Gadis itu meraih wajah Alva dan menghapus air matanya lembut, "Kalau kau tidak menyakitiku, maka aku yang akan menyakitimu. Aku yang akan menjadi antagonis karena tak lagi mencintaimu tanpa alasan apapun."

"Olivia, apakah memang harus begini?" Oliv menggangguk. Dia tahu, Alva akan merasa sakit, tetapi, dia memang harus mengatakannya, "Aku tidak mencintaimu, Alva."

'Tapi aku mencintai Jonathan.' Lanjut Oliv dalam hati, "Aku tidak mau kau berharap apapun padaku. Aku tidak mau kau meminta hatiku. Karena itu, lupakan aku, dan mulailah cari kebahagiaanmu, Alva."

Bukan sakit hati, Alva justru tersenyum, "Biarkan pria sejati yang berjuang untuk gadisnya." Alva menarik nafas, "Kau boleh membenciku, atau menghindari keberadaanku. Tapi, jangan pernah menyuruhku untuk mencari kebahagiaanku yang lain. Karena sampai kapanpun, kaulah bahagiaku. Bahkan jika kau menyakitiku, kau tetap bahagiaku." Oliv menarik nafas yang entah sejak kapan ia tahan, "Nyatanya tidak semudah itu."

'Bagaimana aku bisa mengatakannya jika kau terus seperti ini? Demi Tuhan, aku muak dengan semua hal yang ku sembunyikan.

"Hindari aku, tapi, biarkan aku tetap memperjuangkanmu." Oliv menarik nafas panjang sebelum akhirnya menatap mata Alva dalam, "Ku mohon, kembali ke tepian."

"Olivia ... "

"Ku mohon ... "

"Olivia, please."

"Sungguh, Satu-satunya hal yang ku hindari adalah membuatmu membenciku. Tapi, jika kau terus seperti ini, bagaimana bisa aku menghindarinya?" Oliv merasakan kegundahan dalam hatinya.

"Kenapa aku harus membencimu? Katakan padaku, kenapa?"

"Karena aku tidak mencintaimu. Aku, aku mencintai orang lain. Dan itu bukan kamu." ucapan Oliv membuat Alva tersentak. Pria itu menatap gadis di hadapannya begitu dalam, "Orang lain?"

Oliv mengangguk, "Ya, aku mencintai orang lain. Aku sangat mencintainya, hingga hatiku terasa sakit jika kau tetap seperti ini padahal aku tidak bisa melakukan apapun untuk membalas Cintamu." Mata Alva memerah, "Bagaimana bisa kau mencintai orang lain?" Oliv menunduk. Bagaimana bisa? Dia juga enggan untuk menjawab. Hanya saja....

"Kau tidak perlu tahu, Alva. Yang jelas aku mencintai orang lain."

"Siapa?" Alva mengepalkan tangannya, "Siapa pria itu?"

"Kau tidak perlu tahu. Setidaknya, belum. Belum saatnya kau untuk tahu."

Alva menggeram, "Bagaimana bisa aku tidak boleh tahu?! Dan, bagaimana bisa aku mempercayai pria itu begitu saja?! Come on, this is New York, Oliv!! Tak bisakah kau bersikap realistis?!" Oliv tersenyum, "Ku mohon, jangan mengkhawatirkanku. Dengannya, aku merasa jauh lebih baik. Dia adalah pria terbaik yang pernah hidup di bumi. Jadi, mulailah lupakan aku. Hingga aku tak perlu lagi bersembunyi di balik batu."

Alva tidak mau menjawab. Pria itu hanya menjalankan perahu kayunya ke tepian. Dengan hati yang teramat sakit. Menurutmu, bagaimana perasaanmu ketika gadis yang kau cintai, mencintai orang lain dalam waktu yang tidak mencapai 2 bulan. Dan dalam kurun waktu yang Alva gunakan untuk memperbaiki kesalahannya?

Segala bentuk kemarahan dan kekecewaan bercampur jadi satu. Jika Alva masih sosoknya yang dulu, Alva bersumpah, dia ingin menonjok wajah Oliv demi menenangkan emosinya. Tetapi sekarang, Oliv sudah menjadi prioritas hatinya. Oliv, dengan telak menguasainya, hingga Alva lebih memilih untuk bunuh diri ketimbang menyentuh setitik saja tubuh gadis itu.

"Olivia."

Oliv menghentikan langkahnya, membuat Alva ikut beranjak dan berdiri di belakangnya. Pria itu memeluk pinggang Oliv dari belakang, kemudian berkata, "Terima kasih, sudah mengajarkan padaku rasa sakit." Oliv menutup matanya.

"Percakapan barusan, aku akan berusaha melupakannya." Oliv menghela nafas panjang, "Lepaskan aku, Alva."

"Tapi, biarkan aku berjuang." Oliv tidak tahan lagi, "Ku mohon, lepaskan aku."

"Dan biarkan aku membuktikan padamu, bahwa aku bersungguh-sungguh. Bahwa kau akan kembali padaku atas kesungguh-sungguhanku.

Oliv melepaskan tangan pria itu secara paksa. Dan tanpa mau berbalik, ia melangkahkan kakinya dengan pasti. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia benar-benar tidak mau menyakiti Alva untuk itu.

" Olivia, what's wrong?" Oliv berhenti ketika suara Bella kembali memasuki telinganya. Gadis itu mendongak, menatap wajah merah gadis Asia yang telah menjadi sahabatnya sejak lama, "Bella, gue nggak tahu lagi." Oliv memeluk Bella erat-erat, membuat gadis itu tampak terkaget, "Kenapa?"

"Gue .... Gue nggak tahu gimana caranya ngadepin Alva. Gue nggak mau bikin dia sakit hati, Belum." Oliv terisak.

Mengetahuinya, Bella mengelus punggung Oliv. Demi Tuhan, jika dia jadi Oliv, mungkin, Bella lebih memilih lompat dari lantai 115. Posisi Oliv benar-benar rumit, "Gue bahkan bingung harus ngomong apa," Bella menghela nafas panjang, "Lo, yang penting, lo jangan stress. Gue bakal berusaha semampu gue buat bantuin elo. Pertahanin apa yang harusnya elo pertahanin, Liv. Semua bakal indah." Oliv semakin memeluk Bella, "Kalau lo nggak ada, gue nggak tahu bakal hidup kayak gimana lagi. Gue sayang banget sama elo, sampai rasanya, gue pengen elo yang bakal manggil gue mama nantinya."

Mata Bella membulat. Demi Tuhan, di keadaan yang seperti ini, kenapa Oliv masih sempat-sempatnya bercanda?

"Lo nggak liat nih wajah gue berantakan gara-gara calon anak elo?" Bella menggerutu seraya menunjuk-nunjuk wajahnya yang masih merah, membuat Oliv tertawa, "Ganteng-ganteng kaos kakinya kayak bangke tikus, ya Tuhan. Untung aja ganteng, kan gue jadi ga bisa marah." Dengus Bella, lagi-lagi membuat Oliv tertawa seraya menoyor kepalanya. Tawa gadis itu berhenti ketika melihat Alva yang berjalan dengan kepala tertunduk, ke arah mereka. Pandangannya jatuh ke arah Bella, membuat sekelebat bayangan dimana Alva begitu dekat dengan Bella, terngiang di benak Oliv. Membuat gadis itu tersenyum lebar.

"Bel, gue ke toilet dulu ya!! Lo tunggu sini." Oliv tersenyum dan segera berlari dari hadapan Bella, membuat gadis itu nampak menatap punggung Oliv yang semakin menjauh dengan tatapan yang tak percaya. What the hell is going on with her?

Dengan segera, Bella membalikkan tubuhnya. Namun, gadis itu harus tersentak kaget ketika kepalanya membentur sesuatu yang amat keras dan tinggi. Gadis itu mengaduh seraya mengelus kepalanya, kemudian mendongak untuk melihat siapa yang menabraknya.

"Bella?" Alva menyahut, membuat Bella membulatkan matanya. Demi Tuhan, sejak kapan pria itu ada di belakangnya?

"HAHAHAHAHAHA ..... " Tawa Alva meledak, membuat Bella mengerjapkan matanya dan menatap pria itu aneh, "What? What's wrong?!" "Your red-face, Gosh! Aku tidak tahu bahwa efek kaos kakiku bisa sedahsyat itu!!" Wajah Bella semakin memerah. Gadis itu menatap Alva tajam, "Demi Tuhan!! Berapa lama kau tidak mencucinya?!"

Alva terkekeh seraya menepuk kepala Bella, "Well, justru itu, kaos kaki ini baru dicuci tadi pagi." Bella menatap pria itu penuh selidik. Mana mungkin?!

"Nah, karena ini kaos kaki kesayanganku, jadi aku tetap memakainya walaupun masih basah. Aku terus memakainya di seluruh aktivitasku. Termasuk, well, gym," Alva menyengir, membuat Bella menatap pria itu tidak percaya, "Kau benar-benar berniat membunuhku." ucap Bella tak percaya. Pandangan Bella benar-benar horror, tapi bagi Alva, justru terlihat menggemaskan. Hingga tak sadar, Alva bahkan mencubit pipi gadis itu dan merangkul lehernya, "Baiklah, maafkan aku sudah menggunakanmu, ya."

Bella mendengus, "Tidak bisa dimaafkan. Apa untungnya aku memaafkanmu?!" Alva tertawa, "Setidaknya, kau bisa jalan-jalan dengan cogan. Ah, itu pasti menguntungkan." Bella menatap pria yang di sebelahnya dengan gemas, kemudian mencubit kedua pipinya, "Makan tuh cogan, makan. Jadi cowok kok pede nya kebangetan!!"

"Bella!!" Alva berteriak seraya mencoba melepaskan cubitan Bella di pipinya. Membuat gadis itu tertawa sejenak kemudian berlari untuk menghindari kejaran Alva. Mereka terus berlari berputar-putar, dengan tawa yang menghiasi tiap langkahnya. Hingga tiba-tiba, heels Bella tersangkut di lubang jalan, yang mengharuskan gadis itu untuk jatuh terduduk.

"Oh, Gosh!!!!" Teriak Bella ketika kakinya terpelintir, membuat mata Alva membulat tak percaya. Pria itu berlari menghampiri Bella dengan tawa yang tertahan, "Are you okay?"

"Bagus!! Kau masih bisa tertawa melihatku seperti ini?!" Kini, tawa Alva kembali meledak, "Demi Tuhan, Bella!! Kau bisa melihat bagaimana bodohnya wajahmu!! Ya Tuhan!! Aku tidak menyangka bisa bertemu gadis bodoh ini, hm?" Alva tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Bella yang mengembung.

"Diam, Alva!" Bella berusaha bangun, ketika Alva tampak melepas kedua heels nya dan membuangnya jauh-jauh, membuat mata Bella membulat tak percaya, "Demi Tuhan, Alva!! Itu keluaran terbaru!!" Alva memutar bola matanya, "Keluaran terbaru itu yang membuat kau terjatuh, bodoh!!" Alva berbalik arah dan berjongkok. Membuat Bella menatap punggung pria itu bertanya-tanya, "What?" Alva menepuk-nepuk punggungnya, membuat Bella semakin menatapnya bertanya-tanya. Alva memutar bola matanya, "Demi Tuhan, naiklah!! Kau membuat kakiku kesemutan!!"

"What? Naik?" Bella masih tak percaya. Membuat Alva membalikan tubuhnya dan berkata, "Naik!! Atau aku akan meninggalkanmu!!" Dengan gelagapan, Bella meraih punggung Alva dan melingkarkan lengannya di leher Alva. Dan saat itu juga, Alva berdiri. Pria itu berjalan, seolah Bella yang ada di punggungnya bukanlah apa-apa. Alva kemudian mendudukkan Bella di sebuah ayunan. Pria itu berjongkok untuk melihat pergelangan kaki Bella yang kemerahan. Alva menyentuhnya, membuat gadis itu tampak berteriak kesakitan.

"Ya Tuhan, Bella!! Suaramu seperti tikus kejepit pintu!!" Bella meringis tak peduli, "Apa bedanya dengan kaos kakimu?!" Alva tertawa. Gadis itu melucu di saat dia sedang kesakitan. Dan bagi Alva, itu menggemaskan. Alva memijat kaki Bella dengan begitu lembut. Membuat Bella menatap rambut coklat itu dengan intens. Bella bahkan berpikir bahwa Oliv memang sudah gila bisa menolak pria sejantan ini. Like, for God's shake!! Alva sungguh manis.

"Tahan ya, ini akan sedikit sakit." Alva mendongak, hingga matanya bisa ditangkap dengan jelas oleh Bella. Gadis itu mengerjap sesaat, "Eh?" Dan saat itu pula, Alva menarik telapak kaki Bella. Membuat Bella berteriak kesakitan. Bahkan, gadis itu sampai menjambak rambut coklat Alva begitu keras, "Demi Tuhan!! Aku akan membunuhmu!!" Bella terus berteriak, membuat Alva tertawa terbahak-bahak, "Bunuh saja aku. Tapi lihat, kau bahkan akan bisa berjalan."

Bella mendengus kesal, "Bagaimana mungkin aku berjalan jika kau membuatnya semakin sakit!!" Alva menarik lengan Bella hingga gadis itu berdiri. Mata gadis itu berbinar ketika rasa sakit di kakinya tak lagi terasa. Gadis itu menatap Alva tak percaya, "Demi Tuhan!! Kau tukang urut paling handal yang pernah aku temui."

"Atau tukang urut paling tampan?" Alva tertawa, membuat Bella mendengus karena lagi-lagi, Alva terlalu percaya diri. Bella kembali terduduk di ayunan dan menatap pria itu dengan senyuman, "Tapi, terima kasih, ya."

❤❤❤❤❤

Olivia tidak tahu apa yang Bella dan Alva bicarakan di ayunan. Hanya saja, gadis itu tersenyum lebar. Terlebih ketika Alva yang tengah memasangkan jaketnya ke Bella, diikuti dengan sentilannya di dahi Bella. Membuat Bella tampak merengut kesal. Oliv tertawa kecil seraya memeluk dirinya sendiri, "Oh, bagus. Mereka membuatku iri. Dan bagus. Kenapa udaranya semakin dingin?" Dan saat itu, Oliv merasakan sesuatu tampak tersampir di bahunya. Membuat gadis itu menatap sesuatu yang ternyata kemeja flanel kotak-kotak merah.

"Siapa suruh kau pergi tanpa kekasihmu?"

Suara seseorang di telinga Oliv, membuat jantung gadis itu hampir melompat. Dia berbalik sepenuhnya, lantas matanya membulat melihat sosok pria tampak berkaos abu-abu tengah tersenyum ke arahnya, "Daddy!! Bagaimana bisa kau ada disini?" Bisik Oliv seraya menatap hati-hati ke arah Alva dan Bella yang masih asyik bercanda.

"Aku? Aku disini dari tadi. Kau saja yang terlalu asyik hingga tidak mengetahui keberadaanku." Jonathan cemberut, membuat Oliv tertawa kecil seraya mencium pria itu secara kilat, "Kau bilang, kau punya banyak tugas yang harus diselesaikan? Kau harusnya mengerjakan tugasmu di rumah!!"

"Dan membiarkan kekasihku bersama mantan pacarnya?" Jonathan mengangkat alisnya, membuat Oliv menekan kedua pipi Jonathan dengan telapak tangannya yang dingin, "Apakah kau harus tetap cemburu dengan anak lelakimu?? Ya Tuhan. What a daddy!!" Jonathan tertawa, pria itu menggenggam telapak tangan Oliv yang ada di pipinya, kemudian menggesekkannya dengan kedua tangannya, "See? Tanganmu dingin sekali." Jonathan mendekatkan tangan Oliv ke mulutnya, kemudian menghangatkannya. Membuat wajah Oliv tampak memerah.

"Kau sudah jadi kekasihku. Apakah wajahmu harus terus memerah karenaku?" ucapan Jonathan membuat Oliv tertawa kecil. Gadis itu berjinjit dan lagi-lagi mencium bibir Jonathan, "Ya. Apa yang kau lakukan padaku hingga aku seperti ini? Hm?" Jonathan tersenyum. Pria itu merangkul bahu Oliv erat dan menatap anak semata wayangnya sedang duduk di ayunan bersama sahabat Oliv, membuat pria itu menoleh ke arah Oliv, "Apakah dia sudah move on?" Oliv menggeleng, "Entahlah. Dia membuatku semakin sulit."

Jonathan menatap Oliv dalam, "Apa yang dia katakan padamu tadi?" Oliv menunduk. Mengingat ucapan Alva, membuat gadis itu merasa sedih. Dia tidak tahu harus bertahan hingga berapa lama untuk bersembunyi dari hubungan mereka. Namun, di atas segalanya, Oliv jauh lebih tidak tahan harus terus menerus membohongi Alva.

"Dengar, Oliv, Kita tidak harus terus bersembunyi. Karena, Alva sudah dewasa. Dia pasti mengerti." Oliv memberengut, "Kenapa jadi aku yang terlalu peduli dengan Alva? Kau kan ayahnya?!"

Jonathan tertawa, "Disamping seorang ayah. Aku juga seorang pria, pria yang sama dengan Alva. Lagipula, karena aku begitu tahu bagaimana Alva, maka dari itu, aku percaya dia bisa mengerti." Oliv menghela nafas, "Lalu, aku harus bagaimana, dad?" Jonathan menarik tangan gadis itu dan berjalan meninggalkan tempat mereka, "Semua terserah kamu. Aku hanya akan mendukungmu apapun yang terjadi." Oliv tersenyum. Lebih ke, bagaimana kaitan tangan Jonathan di tangannya begitu membuatnya merasa nyaman. Mereka berjalan ke arah mobil ketika seorang pria paruh baya tampak tersenyum ke arah mereka.

"Selamat malam, Mr. Marteen." ucap pria itu, membuat Jonathan tersenyum, "Ah, jadi ini wanita beruntungmu? Sayang sekali, aku tidak bisa melihat wajah bahagianya karena," Jonathan memotong ucapan pria itu, "Ah, aku ingat masih ada kerjaan. Kami permisi dulu, tuan." Pria itu tersenyum ketika memperoleh kode dari Jonathan agar tidak menceritakan apa yang terjadi. Namun, bukan Oliv namanya jika dia tahan dengan rasa penasaran. Karena saat Jonathan menarik lengannya, Oliv tetap diam di tempatnya, menatap pria tua itu dengan tanda tanya besar di kepalanya.

"What is that, sir? Kenapa kau tidak bisa melihatnya?" tanya Oliv, membuat pria itu tampak menatap Jonathan, meminta persetujuan.

"Tidak. Jangan menatapnya!! Katakan saja padaku!!" Sergah Oliv.

"Itu sama sekali tidak penting. Ayo pulang." Jonathan menarik lengan Oliv, tapi gadis itu masih diam di tempatnya, "Oh, baby, please. Ayo kita pulak,"

"Tidak!!"

Jonathan menghela nafas panjang. Dia tahu bagaimana keras kepalanya Oliv. Karena itu, ia kemudian mengangguk, membuat pria tua itu akhirnya angkat bicara, "Beberapa hari yang lalu, bukankah kau ulang tahun?" Kata-kata pria tua itu membuat Oliv penasaran. Kenapa pria tua itu bisa mengetahuinya? Gadis itu mengangguk membenarkan.

"Mr. Marteen menyiapkan segalanya untukmu. Dia menyewa Central Park, karena dia bilang, seseorang yang spesial begitu menyukai taman ini." ucapan pria itu berikutnya membuat Oliv tampak membuka mulutnya tak percaya.

"Sudah, kan? Ayo kita pulang." Oliv tidak menggubris ucapan Jonathan, "Lanjutkan cerita anda, sir."

"Well, dia menghias seluruh taman. Dia bilang, dia ingin membuat seseorang yang spesial itu bahagia. Setidaknya, itulah yang ia katakan ketika ia ingin bekerja sama dengan kami." Pria tua itu tersenyum, "Selain itu, dia juga menyiapkan makan malam yang romantis. Karena itulah aku berkata bahwa wanita itu adalah wanita yang beruntung." Oliv menatap wajah Jonathan yang tampak memerah tak percaya. Demi Tuhan. Kenapa Oliv tidak mengetahui itu?

"Tapi, dia membatalkan semuanya dengan tiba-tiba. Sayang sekali, aku tidak bisa melihat wajah bahagiamu."

Oliv bahkan sudah tidak peduli dengan keberadaan pria tua itu. Ia hanya berjinjit, mengalungkan lengannya pada leher Jonathan, kemudian mencium dalam. Membuat si pria tua tersenyum kecil dan berlalu untuk memberi mereka berdua privasi.

"Daddy, I am sorry," Oliv berbisik, kemudian kembali mencium pria itu. Oliv mengeratkan pelukannya, membuat Jonathan menekan pinggangnya dan menghapus air mata gadis itu yang tiba-tiba menetes.

"Ku bilang, kau tidak perlu tahu, baby." Oliv menggeleng. Gadis itu menatap mata coklat Jonathan, kemudian menciumnya, "Daddy, I am sorry."

"Itu bukanlah hal yang penting," bisik Jonathan.

"Kau pasti sangat marah padaku. Kau pasti benar-benar membenciku, kan?" ucap Oliv membuat Jonathan mengecup bibir gadis itu beberapa kali, "Daripada itu, aku bahagia karena kau sudah menjadi milikku."

Oliv tersenyum. Gadis itu mengeratkan pelukannya di leher Jonathan. Menyandarkan telinganya di dada bidang Jonathan yang terasa hangat untuknya, "Aku benar-benar mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, daddy." Jonathan tersenyum. Pria itu kembali menunduk dan melumat bibir Oliv dalam. Bersama gadis itu, Jonathan seolah tidak butuh apapun lagi. Dia merasa begitu sempurna, seolah bumi pun tampak berhenti berputar hanya demi momen indah mereka berdua.

"Seriously, Olivia?!!"