webnovel

Vampir Keluaran 1937

(FLASHBACK ON - pagi setelah Safan berubah menjadi vampir)

Safan meringkuk di sudut kamarnya. Lengannya memeluk erat kedua lututnya. Seluruh tubuhnya bergetar tanpa bisa dia kendalikan.

Sepasang mata biru gelapnya kini berubah menjadi abu-abu tua. Tatapannya terfokus pada satu titik di dalam kamarnya. Sorotnya penuh kengerian. Hanya perasaan itulah yang tersisa dari sisi manusianya.

Segera setelah Yerik menarik tangannya dari dadanya, Safan tahu bila dirinya sudah kosong. Jantungnya berhenti berdetak. Darahnya dalam sekejap surut dan menghilang entah ke mana. Paru-parunya tak lagi membutuhkan oksigen. Tapi dia tidak mati.

Kelima inderanya pun menjadi semakin peka. Terutama penciumannya terhadap aroma tubuh manusia dan itu membuatnya merasa sangat tidak baik-baik saja. Semacam ada sesuatu yang bergumul dalam dirinya. Pergumulan antara sisi buas dengan kesadarannya.

"Sampai kapan kau mau duduk di sana?"

Mendengarnya, Safan menggerakkan kepalanya dengan kaku. Dilihatnya Yerik sudah kembali lagi ke kamarnya setelah menghilang pasca memberinya kutukan. Pria yang kalau masih hidup berada di ujung usia 70 tahunnya itu tiba-tiba saja sudah duduk di atas kursi kayu di samping jendela. Posisinya membelakangi jendela dan menghadap tepat ke arah Safan dengan posisi serong.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Safan dengan suara serak. Tenggorokannya terasa begitu kering seakan dirinya sudah lama sekali terkubur di dalam pasir.

"Hei, hei, apa-apaan sorot matamu itu? Vampir baru memang merepotkan!" protes Yerik yang justru terdengar seperti ejekan.

"Aku tidak takut padamu," Safan berkata tajam.

Itu benar. Safan tidak sedang membual demi menutupi ketakutannya, seperti yang biasanya dilakukan manusia ketika dalam posisi terancam. Setelah apa yang terjadi, apalagi yang harus ditakutinya? Toh dia sudah berubah menjadi predator yang lain. Justru itulah yang ditakutinya -- Safan takut pada dirinya yang baru. Dia takut kalau kesadarannya akan kalah dan dirinya akan sepenuhnya berubah menjadi sesuatu yang beringas.

"Haish! Aku tidak dapat mendengar detak jantungmu. Tentu saja kau tidak takut padaku!" balas Yerik riang.

Safan menatap tajam arwah tua itu. Kali ini Yerik benar sedang mengejeknya. Sungguh tidak adil bagaimana si tua Yerik itu masih bisa riang gembira dalam wujud arwahnya sedang Safan perlahan harus merasakan jiwanya yang kosong diambil alih oleh rasa dingin. Bukankah mereka berdua kini sama-sama makhluk astral? Lalu kenapa hanya Safan yang mati rasa?

Yerik saat masih hidup merupakan pribadi yang supel dan ramah. Setelah mati pun dia masih membawa sifatnya yang sama. Namun Safan tak memiliki keberuntungan yang sama. Dirinya berubah menjadi monster.

Safan menggeram. Melihat bagaimana Yerik bisa tersenyum menjadi kutukan lain baginya. Seolah seabrek kutukan yang telah diterimanya masih tidak cukup.

"Hadiah sialanmu itu..." Safan mendesis.

"Ah, Nak Safan... Aku hanya memberikan sesuatu yang kau inginkan sebagai hadiah. Bukankah kau tidak ingin mati? Ambillah keabadian sebagai hadiah dariku," Yerik berkata santai.

"Ambil kembali hadiahmu! Aku tidak menginginkannya!" teriak Safan.

Suaranya memecah ketenangan di awal pagi hari itu. Menyebabkan burung-burung gagak terbangun dari tidurnya dan berkoak-koak ketakutan. Suasana pagi yang seharusnya indah kini berubah menjadi mistis seketika. Sama seperti malam tadi saat arwah Yerik terlepas dari raganya.

Yerik menutup kedua telinganya menggunakan tangannya. Sepasang matanya terkatup dan wajahnya mengernyit. Bahkan untuk ukuran arwah, suara teriakan Safan pun sangat mengusiknya. Yerik baru membuka matanya setelah gema dari teriakan Safan menghilang.

"Sungguh tidak sopan sekali," Yerik mendecakkan lidahnya. "Aku menerima hadiahmu meskipun aku tidak tahu kenapa kau memberikannya untukku. Setidaknya kau harus melakukan hal yang sama, bukan? Itu baru adil."

"Aku hanya menjalankan perintah. Kau merubahku menjadi monster!" Safan menyalak.

Hening sejenak. Yerik menatap Safan lalu mengeluarkan bunyi 'ck' dari mulutnya.

"Seperti yang aku bilang kalau pertukaran tetap pertukaran, Safan," Yerik menyeringai. "Kalau itu yang kau khawatirkan -- menjadi monster -- kau hanya membuang waktumu. Dengan sedikit latihan kau akan tahan tidak meminum darah manusia. Oh ya, ada fitur tambahan lainnya tentu saja..."

Dalam sekejap Yerik berpindah tempat. Pria itu kini berdiri di tepi jendela dengan senyum yang terulas lebar di wajahnya. Ekspresi di wajahnya serupa dengan sales yang hendak mempresentasikan keunggulan produknya.

Melihatnya, Safan segera paham maksud Yerik. Insting untuk bertahan hidupnya mendorongnya untuk mencegah apa yang hendak dilakukan oleh si arwah tua itu. Dalam sekelebat Safan berpindah hanya untuk terhenti secara dramatis. Si sialan Yerik itu berhasil menyingkap tirai lebih cepat dari gerakannya. Bahkan di saat Safan menggunakan kekuatannya sebagai vampir.

Sinar matahari dengan segera menghujani dirinya. Safan membuang wajahnya ke samping dengan kedua lengan menyilang menutupi wajahnya. Dia pikir itu akan menjadi akhir dari hidupnya.

"Tadaa! Sun-proof!" suara Yerik ceria.

Mendengarnya, Safan membuka matanya. Langsung diceknya seluruh anggota tubuhnya dengan tergesa. Tidak ada yang berubah. Ah benar, dia memang tidak merasakan apapun tadi. Menutupi dirinya hanya sebagai gerakan refleks bentuk pertahanan diri.

"A-apa? S-sun proof?" ulangnya tidak mengerti sambil menatap ke arah Yerik. Sorot matanya meminta penjelasan dari si arwah itu.

"Ah, Safan yang lugu. Kau pasti mengira bila dirimu sejenis dengan vampir yang muncul di abad pertengahan atau sebelum itu," Yerik menggeleng-gelengkan kepalanya. "Anak baru biasanya memang pahpoh. Tapi kau akan terbiasa dengan ini," mimik wajahnya terlihat iba saat mengatakannya.

Masih terperangkap dalam kebingungannya, Safan berusaha mencerna perkataan Yerik barusan. Dia tidak mengerti bagaimana dirinya bisa tidak bereaksi terhadap sinar matahari. Apakah ini semacam muslihat Yerik? Bagaimana pun pria itu seorang politikus. Bukan tidak mungkin Yerik sedang menjebaknya pada sesuatu yang lain saat ini, bukan?

"Hei, aku tidak sedang menipumu," kata Yerik membaca isi pikiran Safan. "Keluarlah kalau kau tidak percaya. Tapi kau tidak punya banyak waktu untuk berleha-leha. Kau sudah melewatkan apel pagi pertamamu di Sarajevo!"

(FLASHBACK OFF)

***

Matahari masih terik di Sarajevo. Sinarnya yang menembus dinding kaca bandara tepat menimpa Safan saat dia keluar dari pintu kedatangan.

"Ah, matahari!" Safan berseru kecil sambil menaikkan tangan kirinya demi menutupi sebagian wajahnya.

Sekilas dia bersikap seolah sinar matahari merupakan benda mematikan baginya. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah dia merasa silau. Oh, ralat, dia 'hanya' merasa silau.

Sama seperti manusia yang terpapar sinar matahari, Safan tak merasakan apapun selain pandangannya yang sedikit mengabur. Tidak ada sensasi terbakar maupun kesakitan saat sinar matahari mengenai kulitnya. Seperti yang dikatakan Yerik, hal seperti itu hanya dialami oleh vampir lama. Sinar matahari sama sekali tidak berpengaruh bagi vampir keluaran baru seperti dirinya. Dengan kata lain, vampir jaman modern sudah lebih tangguh.

'Sama seperti senjata yang selalu mengalami kemajuan dalam teknologinya', pikir Safan.

Terima kasih pada fitur anti mataharinya, Safan jadi tidak perlu berpura-pura tidur di dalam peti mati saat pagi tiba (dia tidak mampu membayangkan dirinya berakhir melakukan hal yang menurutnya sangat bar-bar sekali itu). Dirinya dapat dengan bebas melenggang ke manapun tak peduli bila matahari sedang terik sekalipun. Seperti saat ini ketika dia semakin mendekati pintu keluar bandara.

Bersamaan dengan itu, ponselnya kembali berdering. Muris menghubunginya lagi.

"Aku sudah sampai," kata Muris begitu telepon tersambung.

"Hm, jangan mengekor di belakang taksi dan segeralah kemari," Safan memberi instruksi.

Sebenarnya tanpa Muris harus meneleponnya Safan sudah tahu bila pria itu baru saja memasuki kawasan bandara. Safan juga tahu bila sejak melewati pintu masuk bandara, Muris sengaja berlama-lama dengan mengikuti taksi di depannya. Pria itu sengaja melakukannya demi menikmati rokok yang tengah dihisapnya.

'Memang manusia tak tahu diri', batin Safan.

Tak lama, sebuah mobil sedan keluaran lama menepi mendekatinya. Bau menyengat segera menusuk indera penciuman Safan ketika dia membuka pintu mobil. Yang tadinya hendak langsung duduk, Safan refleks menarik dirinya kembali keluar. Wajahnya mengkerut.

"Aku sudah ngebut untuk sampai sini. Begitu sampai kau malah tidak masuk mobil," protes Muris sambil melongokkan kepalanya.

Safan melirik temannya itu. Perutnya kini terasa sangat mual. Aroma yang menguar dari tubuh Muris terasa sangat kuat baginya. Bau rokok pun bahkan tak mampu menutupinya. Entah Safan yang lupa karena sudah setahun tak bertemu atau memang demikian adanya. Yang pasti, itu bukan aroma yang disukai oleh makhluk astral termasuk dirinya.

"Mobilmu pengap sekali. Biarkan udara masuk dulu," Safan berbohong. Padahal sebenarnya dia ingin mengulur waktu agar hidungnya -- setidaknya -- bisa sedikit menerima aroma tubuh Muris tersebut.

Masalahnya, mau badan mobil dilepas sekalipun 'pengap' yang dimaksud Safan takkan hilang. Tapi Muris tidak tahu apa yang dirasakan Safan kini. Jangankan soal aroma tubuhnya, Muris bahkan juga tidak tahu bila Safan adalah seorang vampir. Yang diketahui Muris, Safan hanyalah seorang cybersecurity engineer yang tak sengaja menyelamatkannya empat tahun lalu.

"Kalau kau naikkan gajiku, aku akan beli mobil yang lebih bagus dari ini untuk menjemputmu kapanpun kau mau," Muris mengeluarkan tipu muslihatnya. Lelaki itu tanpa tahu malu memasang wajah polos saat mengatakannya. Seolah Safan tak tahu saja kalau uang itu akan digunakan Muris untuk berjudi. Kalau tidak, sudah dari jaman kapan Muris dapat membeli mobil yang lebih bagus daripada yang dinaikinya kini.

Safan kemudian melemparkan jaket kulitnya ke Muris. Jaket itu mendarat tepat di kepala Muris dan sedikit meredam aroma dari lelaki itu.

"Aku sudah menaikkan gajimu dua kali lipat. Kalau masih kurang, bukan mobil terbaru yang akan kau tumpangi tetapi mobil jenazah," ucap Safan sembari masuk ke dalam mobil. Setelahnya dia menoleh pada Muris yang duduk seperti patung, "Cepat masukkan koperku ke bagasi. Aku ingin segera sampai ke Mostar."

Mendengar ancaman sekaligus perintah dari Safan, Muris bergegas menarik jaket yang masih menutupi wajahnya. Dengan posisi tegap sambil memberi hormat dia berseru, "Siap, Bos!"