webnovel

Penangkal Setan

Keluar dari bandara, sedan milik Muris bergabung dengan keramaian lalu lintas Sarajevo. Muris yang selalu mengebut harus tahan untuk mengemudikan mobilnya dalam kecepatan sedang. Dia juga harus bersabar ketika harus menginjak gas beberapa kali di saat ada mobil lain yang memotong jalannya secara tiba-tiba.

Pun begitu, sumpah serapah kelas berat tetap lolos dari mulutnya saat mobilnya nyaris saja tertabrak. Kalau dia tidak sedang bersama Safan saat ini niscaya Muris akan masuk berita sebab baku hantam dengan pengemudi yang hampir menabraknya tadi.

"Tidak perlu diambil pusing. Mobilmu mobil tua. Justru pengemudi lain yang harus berhati-hati," Safan bersuara. Di samping Muris, dia duduk dengan kepala sedikit menengadah dan kedua matanya terpejam. Baginya ucapannya barusan terdengar biasa saja tapi tidak begitu dengan Muris.

Mulut Muris yang tadinya dihiasi oleh kalimat-kalimat kasar, kini berkerut seperti pantat ayam. Muris merasa bila Safan baru saja mengoloknya. Bagaimana tidak? Rata-rata mobil yang berada di jalanan lebih bagus dari mobil Muris. Kalau mereka menabrak mobil Muris, justru mereka lah yang akan sangat merugi. Sedang mobil Muris karena sudah tua, mau mulus atau penyok sekalipun tak masalah.

"Kata-katamu sungguh menenangkan sekali. Saking menenangkannya aku jadi ingin menabrak semua mobil bagus di depan sana," sarkas Muris.

Mata Safan terbuka. Dia melihat pada mobil yang dimaksud Muris dan menakar harganya. Bila Muris bekerja keras dan menabung, tujuh kali reinkarnasi pun pria itu masih takkan mampu untuk membeli mobil tersebut.

"Lakukan saja. Aku tidak peduli. Toh kau yang akan membayar ganti ruginya," Safan berkata. Kemudian dia kembali menutup matanya. Tidak peduli lagi pada hal bodoh apa yang akan dikatakan maupun dilakukan Muris. Toh kalau temannya itu sungguhan akan menabrakkan mobilnya dan berakhir dengan kematian, pria itu sendiri yang akan pergi ke alam baka. Sedangkan dirinya masih tetap akan berkelana di keabadian.

Muris tak mengatakan apapun. Sebagai perwujudan dari rasa gondoknya akan ucapan Safan barusan, pria itu menekan-nekan klakson dengan emosi. Tingkahnya sama sekali tak mengusik Safan. Safan tetap duduk dengan mata terpejam. Siapapun yang melihatnya akan mengira kalau dia sedang tidur saat ini. Padahal sebenarnya dia hanya sedikit menjauhkan dirinya dari hiruk-pikuk dunia.

Tak lama, mobil memasuki jalan tol setelah melewati beberapa lampu lalu lintas. Muris yang tadinya menjalankan mobil dengan tersendat-sendat kini dapat melepaskan adrenalinnya dengan mengebut. Dia tampak tidak terlalu peduli dengan himbauan kecepatan maksimum di jalan tol tersebut.

'Bocah ini ingin mati tapi mengajak yang lainnya juga', Safan membatin. Dia lantas melambatkan laju mobil sampai sedikit di bawah kecepatan maksimum.

Di balik kursi kemudi, Muris melihat dengan bingung ke arah spedometer. Dia terkejut mendapati jarumnya bergerak turun ke kiri dengan posisinya yang menginjak pedal gas.

Muris menoleh sekilas ke Safan, hendak mengutarakan keanehan tersebut. Namun karena dilihatnya Safan masih memejamkan mata -- dia mengira bila Safan tertidur -- akhirnya Muris hanya menikmati kebingungannya itu sendiri. Bolak-balik dilihatnya spedometer dan semakin ditekannya pedal gas hasilnya tetap saja kecepatan mobil tidak bertambah.

"Apa jangan-jangan kau rusak?" Muris bertanya cemas pada mobilnya.

Sudut bibir Safan berkedut melihat Muris yang tak ide bahwa dialah pelakunya. Mungkin Safan terlihat seperti setan yang suka mengusili manusia karena tingkahnya ini. Tetapi sekali lagi, dia hanya ingin ketenangan.

Setelah setahun tak pulang ke tanah airnya, Safan tak ingin hari pertamanya disambut oleh kekacauan sebab mobil menabrak, sumpah serapah Muris, polisi yang akan mengejar untuk menghentikan mereka, atau denda tilang. Benar kan, kalau seseorang ugal-ugalan di jalan apalagi yang akan terjadi? Karenanya, Safan sebenarnya sudah melakukan suatu kebaikan.

Mobil melaju keluar dari jalan tol dengan kecepatan stabil. Setelahnya mereka melewati jalan beraspal di antara daerah rural lalu hutan pinus. Rutenya seperti itu sampai di Mostar nanti, berselang-seling antara daerah rural dengan hutan pinus.

Dalam perjalanannya Safan pun mendapatkan ketenangan yang diinginkannya. Di sampingnya Muris menyetir sambil bernyanyi menggantikan radio mobilnya. Untung saja suara pria itu bagus jadi Safan bisa menikmatinya. Setidaknya sampai Muris membuka mulutnya untuk berbicara.

"Safan, hei... Kau masih tidur? Jendelamu itu tolong ditutup," ucap Muris sambil menoleh sekilas ke Safan.

"Ini musim panas, Muris," tolak Safan. Dia sama sekali tak membuka matanya.

"Aku tahu. Tapi maaf sepertinya mobil tua ini tidak dapat melawan tekanan angin. Kau tidak lihat lajunya yang seperti miring-miring begini?" Muris bersikeras.

Safan membuka matanya. Dia mulai terganggu dengan cuap-cuap Muris mengenai jendelanya itu. "Lupakan jendela. Kalau benda ini bisa berjalan tanpa badan mobilnya, aku juga pasti akan melepaskannya," katanya.

"Man! Kenapa kau tidak naik pesawat saja?" Muris menggerutu.

"Uangku sudah habis untuk membayar gajimu," balas Safan sekenanya.

"Penghasilanmu bahkan 20x lipat dari itu!" Muris tak mau kalah.

Lagi, ke sanalah pembicaraan mereka berakhir. Ujungnya selalu uang. Karenanya mereka berdua terlihat bak sepasang suami istri yang tengah ribut mengenai finansial keluarga saat ini.

Menoleh pada Muris, Safan bertanya dengan nada datar namun mengancam, "Lalu untuk apa aku menggajimu kalau kau tidak bekerja? Apa kau mau di rumahkan saja?"

Mendengarnya, Muris pun segera kembali ke mode pegawainya. "Eh, iya, iya, Bos, jangan."

Setelah berhasil menjinakkan Muris, Safan kembali memejamkan mata. Menikmati perjalanannya dibantu dengan semilir angin dari udara terbuka. Terlebih saat melewati hutan pinus, angin yang berhembus dari sana benar-benar membantunya. Sebab bagaimana dia bisa berada di dalam mobil yang sempit itu bersama dengan Muris dalam perjalanan dua jam itu? Ingat, Muris bau.

Baunya Muris itu takkan terendus bagi manusia. Pria itu menjaga penampilannya dengan dandanan necis serta guyuran satu liter parfum. Tetapi bagi makhluk astral, bau yang menguar dari tubuh Muris itu sungguh petaka. Tak peduli seberapa banyak parfum yang disemprotkannya maupun seberapa seringnya dia mandi, takkan mampu menutupi bau tersebut.

Sudah manipulatif, mata duitan, bau pula! Lalu mengapa Safan justru memperkerjakan dan bahkan membutuhkan pria tersebut? Jawabannya ada pada baunya.

Ya. Bahkan bisa dibilang kalau Safan membayar mahal Muris bukan untuk menjadi supirnya tetapi karena menguarkan bau menyengat tersebut. Karena bau itulah Safan jadi tidak perlu menghabiskan banyak waktunya untuk berurusan dengan makhluk astral lainnya. Segera setelah mencium bau Muris, mereka akan kabur dengan sendirinya.

Sebenarnya Safan sendiri tidak sengaja memiliki ide tersebut. Empat tahun lalu saat tengah berkelana menikmati suasana Mostar, Safan tak sengaja melihat Muris dari kejauhan. Kondisi pria itu terkapar di pinggir jalan dengan lebam di sekujur tubuhnya -- kondisi yang wajar bagi penjudi yang tak mampu membayar hutangnya.

Tidak ada yang menolong Muris saat itu. Normal karena suasananya masih dini hari. Terlebih itu bukan jalanan yang biasanya dilewati oleh orang-orang. Yang tidak normal adalah dalam statusnya sebagai pendosa yang sekarat, tidak ada makhluk ghaib yang mengerubunginya. Safan seketika melihat ini sebagai keuntungan bagi dirinya yang kerap disenggol oleh makhluk ghaib lainnya. Jadilah Safan menolong Muris, membayar lunas hutang judinya, dan memperkerjakannya.

Jangan tanya awalnya bagaimana. Sungguh sulit bagi Safan untuk menahan bau Muris. Kalau digambarkan, jangankan membuat mual, pertama kali menciumnya saja rasanya Safan akan melebur menjadi abu. Untuk bisa tahan dengan itu, Safan harus melakukan latihan yang sesulit latihan menahan meminum darah manusia seperti yang dilewatinya saat baru menjadi vampir.

Safan sudah 83 tahun menjadi vampir. Sedang dirinya baru empat tahun bersama Muris. Jadi wajar bila dia masih kesulitan menahan bau Muris yang aduhai tersebut. Oh, malah sebenarnya Safan harus berbangga dengan dirinya karena sudah dapat sampai pada titik ini berkawan dengan si manusia bau itu.

Merasa perlu meredam bau Muris, Safan meraih parfum yang diberikan oleh maskapai. Dia menyemprotkan parfum itu ke sekeliling wajahnya. Gerakannya sama persis seperti yang dilakukannya di dalam pesawat tadi.

Mengendus aromanya, Muris menoleh. Dengan nada menggoda bertanya, "Kau pakai parfum wanita? Sekarang kau jadi wanita atau kau punya wanita?"

'Dasar manusia sialan', batin Safan tatkala mendengarnya.

"Kampungan," Safan mendecakkan lidahnya. "Ini dapat dari pesawat."

"Mana aku tahu. Seumur hidup aku belum pernah naik pesawat," kata Muris tersinggung. Namun dengan cepat dia kembali ke jiwa manipulatifnya, "Kapan-kapan ajak aku, ya?"

"Hm, boleh. Kalau kau mau pesawatnya tidak turun."

Safan menghirup dalam-dalam aroma parfumnya setelah mengatakannya. Dia tahu kalau Muris akan kesal dengan ucapannya barusan. Sayangnya dia tidak peduli.

"Kau selalu mengancamku seperti ini. Kalau tiba-tiba aku mati kau pasti akan jadi tersangka utamanya," Muris mengomel sambil menggertak.

"Malaikat maut saja enggan mendekatimu," balas Safan asal.

Muris semakin memperpanjang ocehannya karenanya. Namun Safan memilih untuk menulikan dirinya dan menikmati pemandangan jalan di antara hutan pinus yang melingkar dan sedikit menanjak. Semuanya sempurna sampai mobil tiba-tiba mulai tersendat dan mogok total.

Muris memukul kemudi. "Itu karena kau sembarangan menyebut malaikat maut!" serunya kesal pada Safan.

Akhirnya mereka terpaksa menepikan mobil dan menunggu mobil derek untuk datang. Semua ketenangan yang dirasakan Safan pun lenyap seketika. Dia menyesal kenapa menghubungi Muris dan bukannya langsung teleportasi saja.

Sekarang bila dia melakukannya Muris akan menyadarinya. Mau membenarkan mobil pun Safan bukan montir. Jadi dia harus terima bila kepulangannya ke Mostar akan tertunda setidaknya sampai besok.

Sungguh sial.