webnovel

Namanya Safan

Ella memasuki kamar yang telah ditinggalkannya selama tiga tahun itu. Kecuali seprai dan juga tirai yang baru saja diganti oleh bibinya sebelum kedatangannya, tidak ada yang berubah di sana. Letak semua furnitur maupun barang-barangnya masih sama seperti terakhir kali dia tinggalkan.

'Tiga tahun bisa jadi lambat dan bisa jadi terlalu cepat untuk perubahan', pikirnya meresume dengan cepat semua perjalanan hidupnya. Dari dirinya yang harus meninggalkan tempat itu hingga kini dapat kembali ke sana.

Ella lalu melemparkan tubuhnya ke kasur dan berguling-guling di atasnya seperti anak kecil. Dia menghirup aroma deterjen yang masih tercium pada seprainya untuk kemudian tertawa. Sepasang matanya memandang pada langit-langit kamarnya yang kini dihiasi oleh warna semburat orange sinar mentari sore.

Ah, tampaknya dirinya benar-benar merindukan tempat itu, rumah itu. Dia tidak bisa berbohong kalau rumah pamannya itu lebih nyaman daripada rumahnya sendiri di Zenica. Terlebih setelah ketenangan kabur dari rumahnya digantikan oleh kesedihan (kalau tidak bisa disebut kegelapan).

Sejenak Ella memejamkan mata, merasakan kehadirannya di tempat tersebut. Kedua lengan dan kakinya lantas dia rentangkan lebar-lebar. Setelahnya dia menggerakkan lengan dan kakinya secara bersamaan dengan gerakan mengayuh bak kura-kura. Senyum menghiasi wajahnya.

Kamarnya tertutup. Tidak ada yang melihatnya jadi dia bebas mengekspresikan perasaannya saat ini. Betapa menyenangkannya menjadi jujur tentang apa yang dirasakannya!

Merasa puas, Ella menghela nafas. Kedua matanya kembali terbuka. Sebentar dia menatap lagi ke langit-langit kamar sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak dari kasurnya.

'Sudah cukup rebahannya, Ella!', dia mengingatkan dirinya sendiri dengan bersemangat.

Ella kemudian meraih kopernya. Dari dalam benda itu Ella meraih baju gantinya dan mengganti baju yang dikenakannya kini dengan baju rumahan. Selesai dengan itu, Ella keluar dari kamarnya.

Kakinya setengah melompat saat dia menyusuri koridor diantara ruangan. Langkahnya terasa begitu ringan. Saking ringannya seolah dirinya sedang tengah terbang saat ini.

"Bibi," panggil Ella, menyapa bibinya dari depan pintu dapur.

Bibinya yang tengah berkutat dengan masakannya menoleh dengan gerakan terkejut. "Ella, Sayang, aku pikir kau tidur."

"Aku tidak mengantuk, Bi," kata Ella seraya berjalan mendekati bibinya.

Dilihatnya sang bibi dengan kedua tangannya terbungkus sarung tangan lateks tengah mengolah masakan berbahan dasar daging giling sapi. Beberapa bumbu seperti bawang putih yang dipotong kecil-kecil, garam, dan merica juga dimasukkan ke dalamnya. Dengan terampil sang bibi mencampur semuanya menggunakan tangannya. Setelah semuanya tercampur, bibinya mengambil sejumput daging olahannya dan membentuknya menjadi lonjong seukuran jari.

"Wah, cevabi!" Ella menyebut nama masakan itu dengan antusias.

"Ya. Dengan campuran daging giling domba kesukaanmu," bibinya tersenyum.

"Muris akan keberatan dengan itu," ujar Ella terkikik mengingat bila Muris tak menyukai makanan dengan campuran daging domba di dalamnya.

"Kau jangan pedulikan dia. Anak tidak berguna itu mau diberi makan menu sultan pun tetap saja akan jadi keledai!" gerutu sang bibi yang memancing tawa Ella.

"Ah, Bibi... kenapa kau berbicara sepeti itu tentang Muris. Bagaimana pun dia yang dari dulu selalu melindungiku saat aku dibully," protes Ella dengan nada manja.

Itu benar. Meskipun Muris terlihat tak becus dalam hal apapun tapi kakak sepupunya itu jagonya berkelahi. Bagi bibi dan pamannya tentu saja itu bukan merupakan suatu prestasi. Alih-alih dibanggakan, yang ada malah menjadi aib keluarga. Ditambah dengan kegemarannya berjudi, lengkap sudah abu yang dicoreng Muris ke wajah kedua orangtuanya. Pun begitu, dengan semua tabiat buruknya itu, Muris dari dulu selalu pasang badan bila ada yang mengganggu Ella. Terima kasih juga atas pamornya sebagai tukang pukul itu, Ella jadi jauh dari marabahaya.

'Dan juga lelaki', batinnya.

Baiklah, yang barusan itu keluhan. Bagaimana ada yang mau mendekatinya dengan status sebagai 'adik tukang pukul' melekat padanya? Yang ada para pemuda lari duluan karenanya.

Tapi tak masalah. Selama ini meskipun belum pernah menjalin hubungan dengan pemuda manapun, Ella tetap bahagia. Dan selama tiga tahun hidup yang dijalaninya setelah berpisah dari rumah itu, dia mendapatkan pelajaran bahwa ada hal yang lebih layak untuk ditangisi selain menjadi jomblo.

"Aku akan membantumu, Bi. Di mana sarung tangan lateksnya?" tanya Ella dengan mata mencari.

"Kau baru datang. Lebih baik kau istirahat," bibinya menolak.

"Aku tidak lelah, Bi. Dari Zeneca ke Mostar kan hanya dua jam," Ella bersikeras.

"Kalau kau ingin membantu, bantu aku menelepon Muris saja. Anak keledai itu belum memberi kabar padaku dari tadi," kata bibinya sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

"Ah, begitukah? Baiklah, Bi."

Ella pun meraih ponsel dari saku celananya dan mengubungi nomor Muris. Nada sambung terdengar namun Muris tak segera mengangkat. Baru setelah nada sambung yang ketiga, telepon terhubung.

"Halo," sapa suara di seberang sana.

'Bukan Kak Muris', pikir Ella begitu mendengar suara asing tersebut.

Ella pun menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia mengecek nomor yang dihubunginya. 'Benar nomor Kak Muris. Lalu siapa pria ini?', batinnya.

"Maaf, bukankah ini nomornya Kak Muris?" tanya Ella kemudian.

"Iya ini nomornya. Jadi kau mencari Muris?" suara pria itu terdengar datar.

Ella mengerutkan keningnya mendengar respon pria itu. "Ya, saya meneleponnya," jawab Ella dengan ketidakmengertian.

"Hm..." hanya itu balasan yang diberikan si pria kepada Ella. Setelahnya terdengar suara pria itu memanggil Muris, "Muris, ada telepon untukmu. Kau dalam masalah besar kali ini!"

Kerutan di dahi Ella semakin dalam karena mendengarnya. 'Apa Muris membuat masalah lagi?', dia bertanya-tanya.

Pria di seberang sana kemudian kembali berbicara padanya, "Tunggulah, dia sedang kemari."

Merasa bila pria itu akan meninggalkan sambungan, Ella buru-buru menahannya, "Tunggu, Tuan... apakah terjadi sesuatu?"

Hening. Hanya suara angin yang didengar oleh Ella. Sejenak itu membuat Ella berpikir bila pria tersebut telah berlalu. Sampai akhirnya dia mendengar suaranya kembali, masih dengan nada datar yang sama.

"Padaku? Tidak."

Rasa gondok memenuhi dada Ella saat mendengarnya. Tetapi dia masih berusaha untuk tetap bersikap sopan, "Lalu bagaimana dengan Muris, Tuan?"

Itu karena Ella ingat pamannya tadi bilang kalau Muris sedang menjemput bosnya. Besar kemungkinan orang yang berbicara di telepon dengannya kini adalah si bos, bukan?

"Orang bau susah mati," pria itu menjawab. Kata-katanya terdengar semakin aneh.

"Maaf?" Ella bertanya tidak mengerti akan maksud ucapan pria itu barusan. Tapi sebelum mendapatkan jawabannya, Muris sudah muncul di sambungan.

"Ella, kau sudah sampai rumah?" tanya kakak sepupunya itu.

"Iya, Kak. Kapan kau pulang? Kami sedang menyiapkan makan malam," jawab Ella mengabaikan apa yang barusan terjadi.

"Aku baru saja akan menelepon. Mobilnya mogok. Kami baru bisa sampai Mostar paling cepat besok pagi," terang Muris.

"Ah, begitu... Padahal aku sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu," Ella tak dapat menyembunyikan kekecewaannya.

"Maaf ya, adik kecil? Aku usahakan besok sudah sampai Mostar," bujuk Muris.

"Baiklah, Kak. Jaga dirimu. Jangan buat masalah," Ella berpesan.

"Astaga! Kau sudah terdengar seperti ibuku saja!" ejek Muris diikuti oleh tawa. Ella hanya mengerutkan bibirnya mendengarnya.

"Aku akan mengabari lagi nanti, oke?" kata Muris kemudian setelah tawanya mereda.

"Oke, Kak."

Sambungan pun terputus. Ella kemudian kembali ke sisi bibinya untuk melapor.

"Kak Muris baru akan pulang besok katanya, Bi. Mobilnya mogok," katanya memberitahu.

Bibinya yang masih sibuk membentuk cevabi mendadak jadi menekan-nekan adonan dagingnya dengan keras. Omelan pun tak dapat dihindari keluar dari mulut wanita tersebut.

"Anak itu! Coba kalau dia menabung gajinya dan tidak menggunakannya untuk berjudi, dia pasti dapat membeli mobil yang lebih bagus. Sekarang dia menjemput menggunakan mobil rongsokan itu dan mogok. Astagaaa!"

Begitulah sang bibi menumpahkan unek-uneknya. Ella mendengarkannya sambil menahan tawa. Dalam sehari entah berapa kali bibinya mengomel karena tingkah Muris. Yang pasti bukan satu dua kali. Bahkan bisa sepanjang hari. Entah Ella harus kasihan pada bibinya atau Muris karena itu.

"Bikin malu saja! Padahal Tuan Safan sudah sangat baik padanya selama ini," bibinya melanjutkan.

Setelahnya Ella tak mendengarkan lagi ocehan bibinya. Pikirannya terpaku pada hal lain.

'Safan... Namanya sungguh bagus'.