webnovel

Candu

'Oh...'

Safan tersentak mendapati sesuatu yang diinginkannya itu ternyata tidak seperti bayangannya.

Dia tidak tahu apakah kontrol dirinya melemah karena mendekati awal musim gugur ataukah karena aroma itu terlalu menggodanya. Yang pasti dia mulai kelepasan kontrol terhadap sesuatu yang mendesaknya dari dalam dirinya. Situasinya 50 : 50 sekarang. Dengan kondisi seperti itu dia berada di rumah manusia dan menghendaki sesuatu yang ternyata adalah seorang gadis.

'Heh...', dia melengos dalam hati.

Bagaimana dia akan mengambilnya sekarang? Aroma itu menguar dari sosok gadis di rumah tersebut dan bukan dari benda seperti perkiraannya.

Apakah Safan harus menculiknya dan melahapnya kini? Atau bagaimana? Dia belum memutuskan.

Yang lebih mengherankan, bagaimana seorang manusia bisa mengeluarkan aroma yang begitu candu baginya? Ini membuat Safan mulai pusing karena harus menahan dirinya.

'Aku menginginkannya', sisi lain dirinya berkata. Sisi yang mulai tak bisa dikendalikannya itu.

Matanya berkilat tatkala dia dan gadis itu saling menatap satu sama lain. Sedang gadis itu hanya memandangnya dengan sedikit kebingungan pada wajahnya. Nampaknya si gadis kaget melihat keberadaannya di sana.

'Polos sekali', pikir Safan. Lalu dia bertanya-tanya apakah gadis itu menyadari bila dirinya merupakan seorang vampir. Dengan aroma yang menguar darinya rasa-rasanya gadis itu bukan orang biasa.

"Ella, kemarilah... Ini Tuan Safan. Bosnya Muris," ibu Muris memperkenalkan.

'Ella', dalam benaknya Safan mengulang nama si gadis.

Gadis itu mendekat. Dengan semakin berkurangnya jarak di antara mereka, semakin gila Safan dibuatnya. Namun Safan harus dapat mengendalikan dirinya. Dia menginginkan gadis itu dan dia harus menyusun sesuatu untuk mendapatkannya.

'Bagaimana rasa darahnya?', Safan sedikit kehilangan kendalinya lagi ketika Ella berdiri persis di hadapannya. Mungkin hanya empat lima langkah terbentang di antara mereka.

"Selamat datang, Tuan Safan. Saya Irmela, adiknya Kak Muris," sapa Ella dengan suaranya yang lembut dan kewanitaan sekali itu.

Dari atas sampai bawah Safan memperhatikan Ella dengan seksama. Gadis itu tampak seperti Putri Salju di kehidupan nyata. Kulitnya yang putih bersih kontras sekali dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai melewati punggung. Serta mata hitamnya yang bulat dan berbinar bak air memancarkan kepolosannya.

Sebenarnya bila makhluk seindah Ella mengeluarkan aroma yang begitu membuatnya candu bukanlah sesuatu yang mengherankan. Yang tidak dimengerti Safan adalah bagaimana si bau Muris bisa memiliki adik semenggoda Ella.

Jujur saja, keduanya bagaikan air terjun Iguazu di Brazil sana dengan air comberan. Terlebih, Muris tidak pernah membahas bila dia memiliki adik. Tapi untuk yang terakhir itu Safan bisa maklum. Bila dia memiliki sesuatu yang seindah Ella, dia pun takkan memberitahukannya kepada orang lain.

"Adiknya?" Safan mengulang.

"Ya. Tapi adik sepupu, Tuan," Ella meluruskan diikuti seulas senyum.

"Oh, begitu," Safan bergumam.

Ada semacam kelegaan pada Safan mengetahui bila Ella bukanlah adik kandung Muris. Jadi dia tidak perlu merasa iba pada gadis itu sebab menjadi adik dari seseorang seperti Muris. Walaupun sebenarnya tak ada pengaruhnya juga untuknya karena Ella tetap akan berakhir padanya.

'Harus', batin Safan sambil menyesap dalam-dalam aroma Ella yang sejak tadi seolah mengerubunginya.

Sayangnya kenikmatannya itu harus terusik oleh kehadiran Muris. Meskipun aroma Ella jauh lebih kuat dari bau tubuh Muris, tetap aja Safan tak menyukai bagaimana bau Muris mengontaminasi udara di sana. Wajahnya pun berubah masam karenanya.

'Heh, sepertinya aku harus memisahkan keduanya', sengitnya.

"Ayo, Bos!" ajak Muris.

"Ke mana?" tanya ibunya.

"Mengantarnya pulang, Bu. Ke mana lagi?"

"Dasar anak tidak tahu sopan santun! Bagaimana bisa kau mengusir tamu yang datang ke rumah kita?!" sentak ibunya sambil mencubit lengannya.

Muris meringis kesakitan. "Berhentilah menyiksaku, Bu!" protesnya. Dia lalu menoleh pada Safan. "Kau akan bertamu?" tanyanya keheranan. Wajar karena selama ini Safan selalu menolak.

Safan tak menjawabnya. Posisinya digantikan oleh ibu Muris yang bertambah kesal mendengar pertanyaan anaknya itu.

"Tentu saja Tuan Safan akan bertamu! Dasar tidak sopan!" seru wanita itu. Tak lupa tangannya melayang demi memukul lengan putranya.

"Baik, baik... Ampun, Bu! Hentikan!" rengek Muris ketika mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari ibunya. Kedua lengannya terangkat menutupi wajahnya dan punggungnya sedikit membungkuk demi menghindari serangan. "Aku tidak tahu kalau Safan akan berkunjung. Tadi dia ingin langsung pulang katanya," Muris membela diri.

"Anak ini... Sudah salah tidak tahu malu pula!" hardik ibunya gemas.

Tak seperti tadi, kali ini Safan tidak terhibur melihat pertikaian mereka. Perhatiannya telah disita oleh sosok Ella yang kini tengah memandang bingung pada bibi dan sepupunya. Wajah gadis itu tertekuk dan keningnya berkerut ketika mencoba untuk menenangkan keduanya.

"Bi, Kak, sudah... Ada Tuan Safan di sini," Ella mengingatkan.

Ibu Muris lalu menarik dirinya menjauhi Muris. Wanita itu memandang sungkan kepada Safan. "Maaf, Tuan. Semoga kami tidak membuatmu merasa tidak nyaman. Saya suka lupa diri saat berhadapan dengan Muris. Anak ini benar-benar tak tahu diuntung," ucap wanita tersebut.

"Tidak masalah, Nyonya. Rumah ini terasa begitu hidup," balas Safan penuh penyamaran. Dia tidak peduli dengan orang-orang di sana ataupun rumah itu. Malah bagus bila keduanya semakin tenggelam dalam pertikaian. Itu akan jadi celah bagi Safan untuk menculik Ella.

'Baru pertama bertemu saja kau sudah membuatku gila, Ella...' suaranya dalam hati.

"Kalau begitu mari ke ruang makan, Tuan. Kita sarapan bersama," ibu Muris mempersilakan. Wanita itu lalu menuntunnya melintasi ruang tamu ke bagian lebih dalam rumah.

Saat Safan melewati Ella, jarak mereka menjadi begitu dekat. Desakan dalam dirinya pun jadi sangat sulit untuk ditahan. Rasanya dia ingin menerkam Ella saat itu juga. Untungnya Safan masih bisa mendapatkan kendali dirinya.

'Tidak, bukan sekarang', dia mengingatkan dirinya. Namun Safan tetap menginginkan gadis itu untuk mengikutinya. Sayangnya Ella justru tak beranjak dari ruang tamu dan berdiri di sana bersama Muris.

Dari balik punggungnya Safan dapat mendengar Muris berbicara dengan Ella.

"Maaf tadi kebelet jadi tidak menyapamu. Sini, peluk dulu," suara Muris cengengesan.

Mendengarnya Safan tak dapat memikirkan hal lain selain betapa genitnya Muris. Dia tidak tahu bila hubungan keduanya memang sedekat itu bak saudara kandung.

Di meja makan, Safan bertemu dengan ayah Muris. Kedua orang tua Muris sibuk menawarinya ini dan itu serta menanyakan kesukaannya yang membuatnya risih. Sedangkan Ella dan Muris baru menyusul kemudian.

Ella duduk bersebelahan dengan bibinya. Sialnya, Muris justru mengambil tempat berhadapan dengan Safan.

"Makan yang banyak, Bos," kata Muris sambil meringis.

Safan melengos dalam hati melihatnya.

"Tuan Safan, Anda belum mengambil apapun," ayah Muris mengingatkan.

"Apa menu kami tidak cocok bagi Anda?" tanya ibu Muris segera.

"Tidak, Nyonya. Saya hanya menunggu Muris dan Ella tadi," Safan beralasan. Yang tidak sepenuhnya bohong, omong-omong. Dirinya sungguhan menunggu Ella untuk berada di sana.

"Kalau begitu silakan, Tuan. Apa yang Anda inginkan?" suara ayah Muris.

Safan tidak tahu apa yang harus diambilnya. Dia lapar. Tapi dia tidak menginginkan semua menu yang berada di atas meja. Mungkin kalau Ella yang berbaring di atas sana, dia sudah pasti akan melahapnya sampai habis.

Dia membayangkan bagaimana Ella akan tampak sangat menggoda saat berbaring. Sedang dia sendiri akan mengungkung gadis tersebut. Berada di atasnya dan perlahan menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Ella. Lalu dia akan bergerak menyesap setiap inci tubuh gadis itu yang teramat-sangat wangi, seperti bunga peony. Setelahnya dia akan kembali ke leher Ella dan menikmati sesuatu yang akan keluar dari nadinya.

Oh, atau mungkin dia akan menikmati bercinta dengan gadis itu dulu sebelum menghisapnya habis?

Hanya membayangkannya saja sudah membuat Safan menjadi tegang dan sangat bernafsu. Kontrol dirinya hilang dan timbul.

"Palacinke," jawab Safan, melihat pada crepe ala Bosnia tersebut yang berada di piring Ella.

"Oh, Anda menyukainya, Tuan? Ella juga," komentar ibu Muris.

Safan menatap Ella. "Begitukah?"

"Biasanya saya menyantapnya dengan selai cherry, Tuan," Ella menanggapi.

"Sesuatu yang manis sangat lezat," katanya penuh makna. Sudut bibirnya lalu tertarik. Safan dengan sengaja tersenyum pada gadis itu. Dia ingin menggodanya.

Dilihatnya kedua pipi gadis itu bersemu kemerahan. Itu membuatnya puas.

"Anda benar," ucap Ella kikuk. Kemudian dengan canggung gadis itu meraih palacinke yang berada di ujung meja dan meletakkannya ke piring Safan. "Silakan, Tuan."

Tangan Ella yang terulur tepat berada di bawah hidungnya. Safan pun tak melewatkan kesempatan ini untuk menghirup dalam-dalam wanginya Ella. Rasa-rasanya dia ingin meraih tangan itu dan menjilatinya sekarang juga. Garpunya sampai nyaris bengkok sebab Safan menggenggamnya erat demi menahan gejolaknya itu.

"Terima kasih," ucapnya yang dibalas dengan anggukan oleh Ella.

Dengan gerakan elegan Safan mulai memotong palacinke-nya. Lalu membawa potongan crepe-nya sambil menatap menggoda pada Ella. Safan tahu bila gadis itu bereaksi terhadapnya karena Ella segera menundukkan wajahnya.

"Apakah kau yang membuatnya?" tanya Safan pada Ella begitu menelan potongan pertamanya.

Ella mengangkat wajahnya. "Bukan. Bibi yang membuatnya, Tuan," jawabnya malu-malu.

'Hanya meletakkannya pun aroma makanan ini jadi seharum dirinya', sudut bibir Safan berkedut memikirkannya.

Dari Ella, Safan lalu menoleh ke ibu Muris. "Sangat lezat," pujinya.

"Ella juga piawai dalam memasak, Tuan. Biasanya Ella juga akan membantu tapi karena dia baru saja datang dari Zenica jadi saya lah yang memasak," kata ibu Muris dengan bangga.

"Kau tinggal di Zenica?" tanya Safan dengan sepasang mata birunya menatap gadis itu lekat.

"Ya. Aslinya kami semua dari Zenica, Tuan," Ella menjawab.

"Hmm, begitu..." Safan menanggapi sambil meraih kembali potongan crep-nya. Hanya karena ada aroma Ella di makanan itu maka Safan akan menghabiskannya.

"Saya dengar Anda yang menolong Kak Muris, Tuan? Terima kasih untuk itu," ucap Ella.

"Aku hanya kebetulan lewat. Siapapun yang melihatnya pasti akan melakukannya," bohong Safan. Nyatanya dia menolong Muris hanya untuk kepentingannya sendiri. Kalau Muris tidak ada gunanya baginya, jelas Safan akan membiarkan si bau itu berhadapan dengan seleksi alam.

"Anda sungguh baik hati, Tuan Safan," puji Ella.

Safan menyeringai.

'Setelah aku mendapatkanmu apakah kau akan berkomentar yang sama, gadis cantik?'