webnovel

Hidden magic: Re and The Old Castle

Hujan selalu turun setiap dua jam sekali di desa Jelzaca, sedangkan di desa lain, hujan akan turun setiap satu kali sehari setelah munculnya eksperimen gagal seorang penyihir terkutuk yang membuat dunia sihir menjadi kacau-balau. Desa Jelzaca yang terletak di tengah kota Hermagica—pusat sihir di dunia—menjadi desa terkutuk semenjak saat itu. Kastel yang dulunya menjadi pusat pemerintahan sihir menjadi tempat paling terkutuk karena sama sekali tidak ada matahari yang menyinarinya, melainkan hanya hujan yang terus-menerus mengguyurnya. Karena eksperimen itu pula, terjadi penambahan populasi manusia terkutuk menyebar luas. Re, yang ternyata adalah keturunan langsung ke-4 dari penyihir terkutuk itu di tugaskan untuk membuat dunia sihir kembali normal. Mampukah Re mengembalikan dunia sihir yang sudah kacau-balau? Atau malah menambah kerusakan yang terjadi di dunia sihir?

Aldisti_ · Fantasi
Peringkat tidak cukup
3 Chs

Ch. 2 – Partner

Re berlari cepat, menghindari tiap tetes petir yang menyambar.

Tak lama setelah itu, hujan deras datang. Hujan yang berbeda. Setiap langkah yang Re lalui dipenuhi dengan segala macam emosi yang membara. Amarah mendominasinya.

Tangan Re terkepal kuat, ia berlari layaknya seorang Assassin di medan perang. Tetes hujan yang turun selalu teterpa angin sebelum berhasil menyentuh dirinya.

Re berhenti melangkah ketika sudah sampai di perbatasan hutan Jelzaca. Dahulu kala, di tengah hutan itu berdiri sebuah kastel kokoh yang selalu ramai oleh penyihir dari belahan dunia, berbanding terbalik dengan sekarang.

Kini, sudah tidak ada seorang pun yang berani menginjakkan kaki di Jelzaca, orang lebih memilih untuk pergi menjauh dari tempat yang selalu dikatakan sebagai "desa terkutuk".

Re tidak pernah tahu siapa yang menanami pohon di sini hingga bisa dinamakan hutan. Ia tidak peduli soal itu sekarang. Ia melangkah maju. Emosinya berubah menjadi labil akibat guyuran hujan yang kian deras ketika ia melangkah kian dalam menuju hutan.

Di setiap langkah yang Re lalui, yang terlintas di kepalanya hanyalah hujan, penyihir sialan itu, dan Elly yang dikurungnya di dalam rumah.

Re mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku akan menghentikan hujan ini," ikrarnya.

"Aku yakin, pasti ada sesuatu yang tersembunyi di kastel tua milik Penyihir Sialan itu."

𝘎𝘳𝘶𝘴𝘶𝘬

𝘎𝘳𝘶𝘴𝘶𝘬

Re berhenti melangkah, netranya menatap tajam semak-semak di sekitarnya.

Indra Re menangkap gelombang lumayan keras di belakangnya tatkala hujan di sekelilingnya berhenti untuk sejenak.

"𝘋𝘪𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢." Satu orang terdeteksi, seorang perempuan dengan suara melengking.

Re masih mendengarkan, bibirnya menggumamkan sesuatu. "Wah, sangat mengejutkan mendapati ada seorang cewek di sini."

"𝘌𝘭𝘪𝘴𝘢!" Suara lain menyahut, sedikit berbisik. Suara bariton khas seorang lelaki.

"𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘦𝘳𝘢𝘴! 𝘉𝘪𝘴𝘢-𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢—𝘢𝘴𝘵𝘢𝘨𝘢! 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘪𝘣𝘢-𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘳𝘶𝘵!"

"𝘈𝘴𝘵𝘢𝘨𝘢, 𝘈𝘭! 𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘯𝘥𝘢𝘭𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯?" Perempuan yang diyakini Re bernama Elisa berbisik takut pada laki-laki bernama Al.

"𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯," kilah Al. "𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘥𝘦𝘴𝘢 𝘑𝘦𝘭𝘻𝘢𝘤𝘢."

"𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘥𝘪𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘦𝘴𝘢 𝘑𝘦𝘭𝘻𝘢𝘤𝘢?" seloroh Elisa, suaranya bergetar.

"𝘉–𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘢 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵? 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩𝘬𝘶, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩𝘮𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢. 𝘓𝘢𝘭𝘶, 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘦𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘵𝘶-𝘴𝘢𝘵𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘵𝘢𝘩𝘶𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪!" Elisa memekik histeris dengan intonasi suara yang masih rendah.

"𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘦𝘳𝘢𝘴, 𝘌𝘭𝘪𝘴𝘢!" bisik Al. "𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘬𝘪𝘬 𝘩𝘪𝘴𝘵𝘦𝘳𝘪𝘴?"

Re menggeram kasar. "Siapa kalian?" tanyanya dingin.

Al dan Elis membeku di tempat. "Ti–tidak ada orang di sini, hanya dua patung Assassin yang cukup berpengaruh di dunia."

Re berdecak malas. "Aku bukan orang jahat," ketusnya. "Keluarlah. Aku bisa menjadi partnermu untuk mengetahui penyebab hujan ini."

"𝘋𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘈𝘭!" lirih Elisa.

𝘎𝘳𝘶𝘴𝘶𝘬

"Hai." Suara yang tak bisa ditebak langsung melalui gender terdengar jelas di telinga Re.

"Kastel itu berbahaya."

Re berbalik, netranya bertemu dengan seorang gadis seusianya dengan rambut merah tergerai panjang.

"Diara!" Al menyusul keluar dari semak-semak. "Kita belum tau apakah dia orang baik atau bukan," bisiknya.

"Aku tidak peduli," tegas Re, ia menatap tajam dua orang di depannya. "Kalian hanya membuang waktuku saja."

"Kastel itu tidak untuk manusia terkutuk!" pekik Diara.

Re berhenti berlari, tangannya terkepal kuat. "Tidak ada manusia terkutuk," lirihnya yang sama sekali tidak bisa didengar akibat teredam suara hujan.

"Kurasa cara satu-satunya adalah mengajak seorang Assassin sepertiku untuk menjadi partnermu." Diara menyeringai lebar.

Re termenung. Tidak ada salahnya untuk mengajak seseorang yang sudah berkemampuan dan kekuatan cukup untuk mengetahui penyebab terjadinya hujan itu. Bukan karena sebuah eksperimen itu belaka.

Re bergeming. Ia memejamkan matanya. Ia terlalu egois. Meninggalkan adiknya sendirian di rumah dan dengan tololnya mengatakan akan mencari tau cara menghentikan hujan ini.

"Bodoh," umpat Re lirih.

"Jadi, bagaimana? Kau akan menyesal jika melewatkan tawaran berharga dariku. Banyak orang mengantri hanya untuk menjadi partnerku di Eerste Akademi."

𝘎𝘳𝘶𝘴𝘶𝘬

Seseorang keluar lagi dari balik semak-semak. "Diara," panggil Elisa. "Aku tau kamu lebih hebat daripadaku, tetapi, menunjukkan identitas kita sebagai murid di Eerste Akademi pada orang tidak dikenal adalah pilihan buruk," bisiknya tegas.

"Eerste Akademi, huh?" Re mengangkat sebelah alisnya. "Kurasa dia memang bukan orang jahat."

"Tenanglah, Elisa. Aku tidak merasakan energi apapun dari dirinya. Aku rasa dia tidak berbahaya."

"Kemarilah," ujar Re.

Diara menyeringai, ia menuruti kemauan Re. Tungkainya melangkah dengan anggun di tengah badai hujan yang tak kunjung berhenti.

"Diara," bisik Elisa. "Kalau dia tidak kuat, bagaimana dia bisa bertahan dari hujan ini?"

Diara tak menghiraukan bisikan khawatir dari Elisa di belakangnya. Netranya menatap lurus ke depan, di mana seorang pemuda berpostur tubuh tegap berdiri membelakanginya.

"Jadi?" tanyanya, "Kau terima tawaranku?"

"Apapun itu. Jika itu menguntungkan diriku sendiri, mengapa tidak?"

Re melirik ke belakang, "Lekas."

Diara menyeringai lagi. Ia melirik ke belakang seraya menggedikkan dagu ke arah Re. "Jika kalian berdua tidak ingin aku tinggal, maka cepat ikuti aku."

***

"Kau bilang kau mengetahui letak kastel itu?" Re menoleh ke samping seraya mengusap wajahnya.

"Di tengah-tengah hutan ini," jawab Diara.

"Kau pernah ke sana, ... Diara?"

"Tidak."

"Bagaimana kau bisa sangat yakin akan letak kastel itu?" Re tertawa sekilas.

Masih menatap lurus ke depan, Diara ikut terkekeh. "Aku ke sini dengan persiapan yang matang, Rey."

"Hahaha. Jangan panggil aku seperti itu," ketus Re.

"Kenapa? Terpesona?" tekan Diara.

"Kalian ini!" pekik Elisa. "Tidak ada partner yang selalu bertengkar setiap detik!"

"Siapa bilang? Ini buktinya. Ada, kan?" Diara tergelak.

"Al," panggil Re.

"Apa kekuatanmu?" tanyanya.

"Kita bertiga adalah seorang Assassin," tukas Al sembari tersenyum lebar. "Kenapa?"

"Jujur saja. Aku bukan Antagonis." Re berkata datar.

"Kau bisa menggunakan Talisman, bukan begitu, Rey?" tebak Diara.

"Aku hebat dalam segala hal." Re mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Aku merasakan bahaya cukup besar mengancam—"

"ARRGH!"

Tungkai mereka berempat berhenti melangkah tatkala Al mengaduh tak kuat sembari memegangi kepalanya.

"Serang–serangan! Hujan petir bercampur dengan badai angin topan dan hujan es di desa Jelzaca! B–bahaya yang sangat besar! Mataku tak kuat melihatnya! ARRGH!"

Re membeku di tempat. "APA YANG KAU KATAKAN?"

"KRRK—ARRGH!" Al masih terus memegangi kepalanya. "Seorang gadis menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Muncul sebuah cahaya berwarna hijau terang di dalam rumah gadis itu. A–ada pelindung yang melindungi rumah gadis itu. Tapi, pelindung itu tak akan bertahan lebih lama lagi! ARG–"

"Elly."

Re membeku di tempat. "Dasar payah!" umpatnya.

"Kau mengenal gadis itu, Re?" tanya Elisa sedikit khawatir.

"D–dia adikku," jawab Re bergetar.

"Buruk! Aku tidak mau melihat ini! Singkirkan dari kepalaku—ARRGH!"

"APA YANG TERJADI, AL?" Re menatap Al dengan wajah serius dengan peluh yang bercampur dengan hujan.

Diara merentangkan tangannya tatkala Re hendak mengguncang bahu Al. "Jangan," ingatnya.

"Itu kelebihan Al, Rey. Kecil kemungkinan jika kita kembali ke desamu dan menyelamatkan adikmu. Lebih baik kau terus berjalan ke depan agar pengorbanan adikmu tak menjadi sia-sia."

Elisa mendongak ke atas. Tangannya menunjuk salah satu bintang yang paling bersinar, lantas menunjuk ke arah barat daya.

"J–JANGAN!" pekik Al dengan mata tertutup rapat.

"Kita berada di posisi aman saat ini! Jangan kembali dan jangan melanjutkan perjalanan terlebih dahulu! Ada sesuatu yang tak bisa kulihat di depan sana!"

"Tetapi aku meninggalkan Pedangku di rumah."