webnovel

Siapa yang Tahu Akhirnya?

Aku meringis setelah hampir mati karena mati dipukuli, dengan langkah yang tertatih aku mendekati gadis itu. Gadis yang duduk di sampingku yang aku tak tau siapa namanya.

Yang jelas, keadaannya ini membuatku terpaksa melepaskan baju dan menaruhnya di tubuh bagian atasnya yang terbuka. "Lo baik-baik aja?" tanyaku bak orang bodoh.

Memang gadis mana yang akan baik-baik saja setelah hampir dilecehkan!?

Tanpa menunggu lebih lama lagi aku membawanya ke pelukan mengabaikan rintihan kecil yang keluar dari mulutnya. Untung saja suara bel masuk terdengar setelahnya, dengan begini tak akan ada siswa-siswi yang datang kemari.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana caraku membawa gadis ini keluar tanpa aku yang dituduh melakukan pelecehan. Itu jauh lebih berat ketimbang tadi yang harus melawan kakak kelas sialan itu.

Sepertinya mereka teman sekelas Kak Regia, itu artinya ada satu lagi alasan mengapa aku harus kembali berlatih taekwondo. Aku menunduk menatap gadis memegang erat ujung kaus lengan pendek yang tengah ku kenakan.

Dia, dia ini gadis pertama yang membuatku merasa kalau wanita benar-benar harus dilindungi. Sejauh ini aku emang bertekad melindungi Mama namun faktanya Mama sudah cukup tangguh, dan gadis ini dia benar-benar seperti tengah membutuhkan perlindungan.

Aku menjauhkannya dari pelukanku, "nama lo?" tanyaku pelan.

Perlahan-lahan dia melepaskan tangannya yang taidi memegang erat ujung kaos ku lantas isak tangisnya pun juga berhenti terdengar. Aku menggigit bibir bawah sambil menunggu dia mengucapkan sepatah kata.

"Fafa," ucapnya lirih.

Syukurlah karena aku masih bisa mendengarkan dengan jelas ucapannya itu. "Lo ada seragam cadangan?"

Dia menggeleng.

Ah sialan, wajah sudah babak belur dan setelah ini aku terpaksa harus membolos. Untung saja nanti aku akan pergi ke rumah Daddy, paling tidak aku tak akan membuat Mama khawatir dengan kondisi seperti ini.

Uh sudut bibirku ngilu rasanya, hantaman keras dari kakak kelas tadi bahkan hampir membuatku pingsan juga huh.

Mereka memang benar-benar berandalan tak tau diri.

Aku menjauhkan diri dari gadis itu lantas menuju ke sudut ruangan untuk mengabari Gibran. Bukan kah jika situasinya seperti ini dia bisa mengambil kendali?

Bukan tujuanku untuk memanfaatkan kesempatan hanya saja aku tak bisa terlalu dekat dengan gadis itu. Dia membuatku seperti ingin menjadi orang lain, seseorang yang sesuai dengan keinginannya.

Jadi sebelum aku terpeleset aku harus mencari pegangan, ya maki saja aku dan katakan kalau aku ada di deretan para pengecut itu. Sekali lagi biar ku ulangi kalau aku tak ingin terpeleset makanya aku segera mungkin harus mencari pegangan.

Nada sambung kedua dan Gibran baru mengangkat telponnya. "Heh monyet, Anda di mana ya? Tolong dong sekolah ya sekolah jangan banyak tingkah."

Seketika bola mataku berputar sembilan puluh derajat, dasar bocah satu ini memang tak pernah bisa memahami situasi. Aku menoleh ke belakang guna memastikan keadaan Fafa, um namanya Fafa bukan?

Kalau begini kesannya aku yang baru saja melakukan sesuatu yang tidak-tidak padanya melihat kalau bajuku pun di pakai olehnya, ya untung saja bukan begitu keadaan yang sebenarnya.

"Diem Bran. Bisa nggak lo beliin baju seragam baru? Duit di tas gue," titahku padanya.

Tak ada suara dari seberang mungkin dia tengah mengumpulkan puing-puing masalah dan mencoba memikirkan apa yang sedang terjadi saat ini. Lantas hembusan nafas terdengar setelahnya. "Buat cewek ya? Harus gue anterin kemana setelah gue beli bajunya?"

Aku tersenyum tipis. Setelah ini pasti akan ada banyak kesalahpahaman yang terjadi, sebelum itu maka aku harus bijak dalam memilah kata. "Anter ke gudang sekolah yang lo bilang waktu itu."

Dia diam lagi. "Oke," jawabnya kemudian.

Dibandingkan mendekati Fafa yang tampak meringkuk di sana aku lebih memilih untuk menekan pipiku. Shit! Tenyata lebih sakit dari yang kubayangkan.

Kalau saja aku tak sok-sokan keluar dari klub taekwondo pasti menghadapi lima kakak kelasnya tadi adalah urusan yang gampang. Sayangnya waktu itu aku bodoh dan bertindak sesuka hati.

Baiklah mari sekarang menunggu Gibran dan bersiap untuk apapun yang akan terjadi setelah ini.

***

Aku diam membiarkan Gibran mengambil alih semuanya.

"Lo nanti pulang ke rumah Mama gue kan?" tanyanya begitu selesai bertanya pada Fafa.

Entah apa yang mereka bahas tadi aku sama sekali tak peduli, yang jelas sekarang aku tak tau tempat mana yang akan ku tuju. Tak mungkin aku menuju ke kelas jika keadaannya seperti ini.

Apa lagi kalau Jeno melihat keadaanku ini, tanpa tunggu lebih lama dia pasti akan segera menghubungi Papa. Dan hal itu tak akan pernah ku biarkan terjadi, kekhawatiran Mama adalah satu dari banyak hal yang harus ku hindari.

"Iya nanti gue pulang ke rumah lo, by the way gue nggak mungkin bisa balik ke kelas kalau kayak gini."

"Lo pulang ke rumah lo sendiri aja," ucap Gibran yang terdengar seolah-olah dia tengah menahan amarah.

"Kenapa? Berniat balik sendiri tanpa perlu dijemput?"

"Gue sama Kak Regia bakal pulang jadi lo harus pulang juga. Bukan kah kalau begini keadaannya mommy harus tahu penyebab anaknya babak belur?"

Aku terdiam sejenak lantas terkekeh geli saat menyadari ucapan Gibran barusan. "Fine, gue tinggal kalian dan jangan sampai ada yang curiga. Nasib lo ada di tangan lo sendiri Bran, gue bakal ceritain semuanya saat kepala lo udah dingin."

Sesaat aku mendapati Gibran yang seolah-olah mengibarkan bendera perang padaku, padahal sejak awal aku sudah mencoba mengindari hal seperti ini namun sepertinya aku tak bisa. Pilihan terbaik saat ini ialah segera pergi.

Menuju ke UKS itu tak mungkin, tempat yang dipenuhi obat-obatan itu juga tempat dimana Kak Regia menghabiskan hari-harinya yang membosankan.

Maka atap sekolah adalah pilihan yang terbaik setelah keluar dari tempat ini. Ku langkahkan kakiku ringan, menaiki satu per satu tangga yang tak seolah tak berujung ini.

Entah berapa menit waktu yang ku habiskan hanya untuk tiba di sini. Serbuan angin yang menerjang wajahku sontak saja membuat mata ini terpejam.

Aku diam merasakan hembusan angin kencang ini, karena mereka seolah-olah tengah menyembuhkan lebam-lebam yang ada di wajahku. Perlahan-lahan aku membuka mata lantas berjalan menuju ke pembatas atap sekolah.

Uwah, warna-warni atap kota penduduk Malang merupakan ciri khas mengapa Kota Batu ini memiliki banyak wisatawan. Senyuman hangat warga penduduknya jelas membuat siapa saja terlena hingga tak ada niatan pergi dari sana.

Begitu pun dia, kalau saja tadi akal sehatnya tak bekerja maka bukan kakak kelas itu melainkan benar-benar dia yang akan melakukannya.

Meski menyerahkan Fafa pada Gibran juga belum tentu aman, namun ia percaya segalanya akan baik-baik saja. Ya, semoga memang begitu karena dia sangat yakin bahwa pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu salah.

-BERSAMBUNG-