webnovel

Hello, Capt!

Kapten Satria Raghatajasa, Nahkoda tampan yang tidak mengetahui apapun selain berlayar, mendapatkan kabar buruk bahwa rumah miliknya secara paksa akan dijual oleh sang nenek lantaran kesal cucunya itu tak pernah memiliki waktu untuk sekadar berkunjung. Sharazea, bekerja sebagai Editor novel romansa —yang justru sulit menjalin hubungan dengan orang lain— ditipu hingga mau tak mau menjadi seorang gelandangan dalam semalam. Memulai kehidupan baru bersama orang asing atas alasan tak masuk akal, perjanjian kontrak demi sebuah tempat tinggal. "Seorang pakar sosiologi mengatakan, orang menikah atas alasan tertentu. Salah satunya, mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian. Jadi, aku menyetujuinya." "Menyetujui untuk menikah dengan saya?" Dua orang yang memutuskan menikah karena sebuah kebutuhan, bak simbosis mutualisme. Satria yang kebetulan mencari seseorang untuk merawat tempat tinggalnya selama ia bertugas, dan Sharazea yang sulit menolak tawaran setelah insiden kehilangan rumah, tak punya tujuan harus kemana. "Bagian pertama dari hubungan kami memang tak ubahnya hanya pernikahan di atas kertas perjanjian. Tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta." Keinginan untuk dapat terus tinggal bersama, rasa kasih yang mulai tumbuh secara diam-diam dihati keduanya, bisakah mimpi menjadi sepasang dapat diwujudkan oleh mereka? Ujian pernikahan, sampai kegagalan dari menjalin hubungan, dapatkah perasaan cinta diantara keduanya sanggup menggugurkan kontrak yang mengharuskan mereka berpisah setelah dua tahun melewati hari-hari bersama? "Karena aku mencintaimu, itu sebabnya aku memilih menikah denganmu. Karena itu kamu, tidak ada alasan lain."

Paussbiru02 · perkotaan
Peringkat tidak cukup
15 Chs

Hope Coffee Shop

Tidak jauh dari tempat mereka bertemu, ada sebuah warung kopi yang nampaknya menarik perhatian. Meskipun tidak memiliki begitu banyak pengunjung, letaknya berhadapan langsung dengan laut menghadirkan pemandangan yang istimewa, lebih dari sekadar tempat nongkrong biasa.

Mengobrol, memesan secangkir kopi, merupakan pilihan yang sangat pas. Selain bisa menikmati hangatnya setiap tegukan minuman spesial tersebut masuk ke dalam tubuh, mendamaikan pikiran dengan berbincang juga menjadi kegiatan yang menyenangkan.

"Saya berharap tidak mengganggu jadwalmu ketika memintamu datang kemari." tatapan menuduhkan menjadi ciri khas dari sosok yang sedang bicara, "Marena jika itu terjadi, saya pasti akan merasa sangat bersalah sekali." menunggu pesanan mereka datang, pria yang memiliki senyuman menawan tersebut mengawali lebih dulu percakapan di antara mereka.

Ide untuk mengunjungi dan menikmati secangkir kopi bersama memang pertama kali terpikirkan oleh pria yang telah menyelamatkan Zea untuk yang kesekian kalinya tersebut.

Merasa bahwa dirinya juga tidak tahu harus melakukan apa setelah kembali dari kantor —apalagi ditawari dengan minum kopi tepat ketika suasana hatinya sedang tidak baik— tentu saja akan sangat merugi jika Zea tolak begitu saja.

"Tentu saja tidak. Sebenarnya, aku juga baru kembali dari bekerja." memikirkan sesuatu agar tidak terlalu membuat pria ini sungkan padanga, Zea mencari alasan yang tepat, "Memang biasanya aku mampir untuk membeli secangkir kopi, aromanya membuat pikiranku menjadi sedikit lebih tenang." menegaskan bahwa kegiatan yang keduanya sedang melakukan sungguh tidak memberatkan satu sama lain, Zea mengungkapkan pikirannya.

"Saya lega mendengarnya." senyuman manis kembali diberikan, mata pria itu sampai menyipit karena ketulusan dari caranya bicara, "Kalau begitu anggap saja hari ini suasana minum kopimu sedikit berbeda karena ada saya yang menemani." tukas pria itu, sepertinya hendak melontarkan lelucon kepada Zea, nampak dari caranya tersenyum konyol.

Karena masih merasa sedikit tidak nyaman dan canggung untuk satu sama lain, beberapa kali Zea memutuskan untuk mengalihkan pandangannya kearah luar jendela dan menatap birunya awan beradu dengan birunya air pantai yang mendamaikan jiwa.

"Tempat ini benar-benar luar biasa, bukankah begitu?" pertanyaan itu lebih terdengar seperti sebuah pernyataan. Karena pria itu mengutarakannya dengan segenap hati, ingin berbagi betapa kagumnya Ia dengan tempat ini.

Melirik, Zea ingin mengatakan pendapat bahwa betapa ia setuju, dengan hati-hati memberikan respon sebagai jawaban, "Benar. Semua keindahan didapatkan dengan mudah, bahkan dari hal-hal sederhana, sekalipun."

Balik menimpali lagi, pria itu merasa mulai nyaman dan menerima kondisi di antara keduanya, "Tapi memang benar terkadang kita tidak perlu hal-hal yang luar biasa untuk menjadi bahagia. Pada sesuatu yang sederhana juga terkadang membuat kita bisa lebih mengerti arti hidup yang menyenangkan."

Dalam kata lain, untuk mendapati berkah dari kesenangan di dalam hidup tidak perlu mempertaruhkan hal yang luar biasa. Sekecil apapun takdir yang kita terima jika kita mensyukurinya pasti ada pelajaran berharga yang tersemat di baliknya.

Zea —jujur saja tidak pernah mendapatkan teman berbincang dengan pemikiran yang luar biasa, sejalan dengannya, seperti saat ini. Terkadang, dari mereka tidak terlalu suka dengan filosofi kehidupan atau menganggap hal-hal yang seperti itu merupakan omong kosong belaka. Padahal, untuk gadis itu, membicarakan kehidupan dari dua sudut pandang berbeda sangatlah berarti dan istimewa.

"Aku tidak pernah mendengar hal tersebut sebelumnya dikatakan oleh seseorang."

"Keren, ya?"

Mengangguk, kemudian keduanya larut dalam tawa ringan.

"Ah, benar. Saya menyadari sesuatu. Sejak tadi kita belum berkenalan dan belum tahu nama satu sama lain."

"Um, kamu benar. Belum ada yang memperkenalkan diri sebelumnya." mengulurkan tangan, Zea memulai lebih dulu. Sejak tadi, ia hanya memberikan senyuman tipis. Tetapi Seiring berjalannya waktu gadis itu sepertinya mulai merasa dapat terbuka dan menunjukkan sikap layaknya mereka adalah seorang teman, "Namaku Sharazea. Aku biasa dipanggil Zea atau Ara. Terserah saja, karena aku selalu nyaman dipanggil apapun."

Tak menunggu waktu yang lama uluran tangan tersebut mendapatkan balasan balik, "Nama yang sangat indah. Senang berkenalan denganmu, Zee." tukas pria itu, tetapi nama panggilan yang ia selipkan di antara kalimatnya jujur saja membuat Zea sedikit merasa terkejut.

"Saya Satria. Ya, karena saya tidak memiliki nama lain jadi kamu hanya memiliki satu panggilan saja."

Setelah beberapa saat mengenal pria ini lebih jauh membuat Zea menyadari sesuatu. Bahwa terkadang pria ini bisa terlihat tertutup dan dingin di satu sisi, tetapi juga memiliki sisi lain yang menyenangkan dan bersahabat.

Terbukti dari caranya memberikan satu dua kalimat lelucon singkat kepada Zea, itu merupakan sesuatu yang menjadi kesan tersendiri bagi gadis tersebut.

"Aku menjadi banyak tertawa ketika bicara denganmu. Terimakasih banyak, Mas Satria."

"Mas?"

"Um? Haruskah ku panggil Kakak?"

Dua orang yang dipertemukan secara tidak sengaja dengan alasan yang bila dipikir-pikir terlihat sangat konyol dan tidak masuk akal, kembali dipertemukan dengan kejadian menggemaskan lainnya, tidak pernah membuat baik Zea maupun pria itu berpikir bahwa sebuah kebetulan ini terasa sangat mendebarkan.

Satria yang selalu memiliki sikap cuek dan tidak terlalu penasaran dengan apa yang dunia berikan kepadanya tiba-tiba merasakan hal yang berbeda ketika bertemu kembali dengan gadis itu di setiap kesempatan yang terasa seperti kejutan.

Begitu pula dengan Sharazea. Hari-hari yang membuatnya merasa sedikit letih dengan hidup yang selalu saja tidak berjalan sesuai dengan rencananya, bertemu pria asing ini tiba-tiba memberikan sedikit warna kepada hidupnya dan membuat perasaannya menjadi jauh lebih baik.

"Boleh aku katakan sesuatu?"

Berpikir, bahwa mungkin pertemuan di antara mereka bisa saja tidak akan terjadi lagi, mengungkapkan pikirannya adalah sesuatu yang tidak ingin Zea lewatkan begitu saja. Ia ingin mengatakan apa yang dirasakan, moment bagus ini akan membuatnya merasa menyesal jika ia lewati tanpa memberikan kesan mengenai rasa syukurnya.

"Tentu, akan saya dengarkan." ini menjadi kali pertama gadis itu memutuskan untuk lebih dulu memberikan sebuah topik diantara perbincangan mereka, Satria dengan baik membalas, wajahnya terlihat sangat bersemangat.

"Bertemu denganmu, " sesaat setelah diijinkan, Zea kembali melanjutkan, "Setelah melewati hari-hari yang melelahkan, bisa tertawa lepas seperti ini. Sungguh merupakan pengalaman yang sangat berharga. Terimakasih banyak."

Untuk beberapa saat waktu seakan berhenti. Keduanya terpaku pada pandangan masing-masing, hanyut dalam tatapan meneduhkan satu sama lain. Udara disekitar, membuat perasaan hangat diam-diam menghinggapi hati keduanya.

Selalu ada jenis pertemuan tidak sengaja yang terjadi di dunia, diantara banyaknya manusia, hal yang biasa bila seseorang bertemu dengan yang lainnya tanpa kebetulan yang kentara. Tetapi untuk pertemuan di antara mereka, rasanya seperti setelah ini akan ada cerita yang terjalin, kisah indah yang luar biasa.

"Zee ...." panggil Satria, suara terdengar rendah mengalun merdu.

"Saya berharap kita bisa bertemu kembali."