webnovel

Prologue

Happy Reading :) ;)

"Dia tidak stabil. Kau harus melakukan sesuatu!"

"Apa? Melakukan apa?"

"Dia harus mati! Keluarga itu dikutuk! Tidak akan ada yang namanya tenang jika Satterfield hidup!"

.

.

Tidak ada batas yang jelas antara terjaga atau terlelap. Sekelebat bayangan-bayangan mengganggu tidurnya. Potongan-potongan mimpi buruk menikam bagai pecahan kaca menyilet dahi; darah bergelimpangan di mana-mana, jeritan orang-orang tersika memekakkan pendengaran, bau anyir menusuk penciuman.

Dalam mimpinya dia didatangi oleh siluet berjubah hitam. Berparas tampan, namun garis wajahnya pucat bak mayat. Rambut keperakannya bersinar, rona bibir penuh dan sorotan mata tajam; menyala bagai tembaga. Selalu menyeru nama Heaven dengan sebutan "My Bride" bagai kutukan, entah bagaimana menjelaskannya tapi Heaven merasa dia memiliki kekuatan magis menakutkan.

Suara dan tatapan matanya yang tajam itu seolah menghipnotis serta kendalikan pikirannya. Memperdaya Heaven agar turuti segala perintahnya, menggapai uluran tangan pemuda itu meski jiwa Heaven yang sesungguhnya memberontak.

Mimpi itu terasa sangat nyata; Heaven dapat meresapi dinginnya jemari pemuda berjubah tersebut, dan segalanya makin menyeramkan ketika pria itu alami perubahan aneh; keempat taring tajam mencuat dari mulutnya, parut-parut di wajahnya menghitam sempurna. Uratnya menonjol. Mendesis bergelagak ngeri.

Dia menggigit leher Heaven dengan rakus....

Blaaaaaaaaaaarrrrrr

"Tidak!!!!"

Heaven melejit dari tidurnya seiring gelegar petir dari jendela luar meledakkan telinganya. Napasnya memburu, sekujur tubuhnya menggigil bagai dijangkiti demam tahunan. Kerjapan kilatan petir merentet bagai puluhan lampu flash kamera yang ditekan bersamaan.

Keringat dingin basahi wajah cantiknya. Jemarinya bergeletar hebat, gadis itu ketakutan setengah mati. Heaven merayapi leher jenjangnya sembari melesat hampiri cermin di wastafel kamar mandi.

Ia mengempas napas lega saat tahu lehernya masih mulus. Tidak ada bekas gigitan seperti di mimpi menakutkan itu.

Heaven tertunduk, nikmati tiap jengkal nyeri di kepalanya. Cermin beruap itu merefleksikan wajahnya yang sempurna tapi pucat seputih kapas. Mendesah pelan mata jernihnya berkaca, sesak di dada menyiksa akibat impulse jantung yang berpacu cepat. Heaven segera membasuh wajah berkali-kali. Segarnya air kendurkan ketegangan di tiap urat syaraf leher dan bahunya.

"Astaga." Gumamnya memijit pelipis pelan. Jemarinya membuka lemari kecil di dekat wastafel. Sebuah tube kecil berwarna cokelat transparan berisi obat penenang yang diresepkan khusus untuknya.

Sekali lagi gelegar petir bersahutan, gemanya terasa mengguncang seluruh dinding rumah. Heaven menarik napas dalam, sekali lagi pandangi wajah jelitanya lekat-lekat. Sadar diri, betapa lelahnya dia. Sebuah lingkaran hitam hinggap tanpa ampun di bawah kelopak mata beningnya yang indah. Ia letih karena jam tidurnya kacau, seluruh aktivitas sehari-harinya berantakan, mimpi buruk itu berdampak besar, pengaruhi hidup juga mentalnya.

"Obat ini tidak perbaiki apa pun." keluhnya selain menciptakan sugesti ketergantungan parah. Heaven menggeleng pelan urungkan niat konsumsi obat penenang itu selain kembali ke ranjangnya.

Keluar dari toilet sambil pegangi kepalanya yang berdenyut. Helaan napas kasar lolos dari hidung runcingnya. Dia letih, kantuk berat mengungkung namun dia terlampau takut jika mimpi buruk itu akan kembali datang.

Jika sedang beruntung dia bisa tidur nyenyak selama empat jam, apabila sial karena mimpi buruk itu, paling lama hanya mampu terlelap selama dua jam dalam satu hari. Terkadang dalam beberapa hari dia tetap terjaga tanpa tidur barang sesaat. Insomnia meninggalkan rasa lelah akut dan nyeri yang terus hunjam tulang rusuknya.

Entah dengan cara apa lagi supaya dirinya tenang. Mengapa pula tiap malam mimpi menyeramkan itu kerap hadir menghantui tidurnya? Perut Heaven mual membayangkan potongan-potongan gambar dalam mimpi buruk itu. Ia stres berat.

Di luar hujan turun lebat, laksanya merutuki kaca jendela kamar. Beberapa kilat masih mengerjap berulang-ulang disusul suara gemuruh yang mendebur jantung.

Heaven berbaring usai rengangkan otot-ototnya yang pegal, menyetel acara televisi. Sudut matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 02.00 AM. Heaven bertekad untuk tidak tidur daripada dihantui mimpi mengerikan lagi, dia lebih memilih terjaga.

Posisi tidurnya berubah miring, tatapan mata sayunya memancang keluar jendela. "Kenapa semuanya terus memburuk? Mengapa disaat usiaku bertambah segalanya tidak pernah membaik? Apa salahku sampai harus terus-terusan alami kejadian buruk? Kenapa aku tidak seberuntung teman-temanku yang miliki keluarga utuh?" tanyanya kepada diri sendiri. Bulir-bulir bening lintasi pipi dinginnya. "Betapa sulitnya aku tanpa sesosok ayah. Oh, ayah... andaikan sekarang kau ada di sini. Aku ingin memeluk dan tertidur dipangkuanmu. Aku ingin berbagi kesulitanku ini. Aku sangat merindukanmu, ayah. Harus kemana aku mencarimu sementara ibu tidak pernah suka ketika aku menyinggungmu. Sebenarnya aku terlahir dalam keluarga macam apa?"

Setiap malam hanya mampu ratapi nasib dan kerinduan sepihaknya. Andai saja hidup ini mudah dijalani. Rasa-rasanya tanpa sosok ayah benar-benar membuatnya merasakan kerapuhan tingkat tinggi. Dua puluh satu tahun, sepanjang hidupnya membentang belum ada satu waktu kesempatannya bertatap muka dengan sang ayah meski hanya dalam bentuk gambar.

Avalyn begitu protektif terhadapnya apalagi untuk urusan Michael yang baginya amat diharamkan-dibahas kendati sesaat. Entah karena alasan aneh apa, ibunya lebih senang hilangkan jejak Michael dibandingkan menceriterakan bagaimana rupa ayahnya.

"Aku lelah dengan hidup anehku ini, ayah."

Lelah menangisi kesetimpangan hidupnya. Selang 15 menit ke depan, kedua matanya terasa sangat berat. Demi apa pun Heaven tak kuat lagi menahan kantuk ini.

Matanya terlalu sakit sekaligus pedih, ia pun menyerah dengan sendirinya. Tubuhnya melemah sampai dia jatuh terlelap dalam tidurnya yang jauh dari kata nyenyak.

Di saat matanya benar-benar telah terpejam sepenuhnya. Mendadak jendela kamarnya tanpa sebab terdorong oleh tiupan angin kencang, tirainya tersibak lebar. Seekor burung Raven terbang masuk ke dalam kamarnya, berputar sesaat sebelum akhirnya hinggap di samping wajah jelita Heaven.

Burung itu tatapi Heaven sebentar kemudian kedua sayapnya terbuka lebar. Unggas langka itu membungkuk hampiri telinga Heaven. Seolah tengah berbisik. Entah apa yang di rapalkan, ajaibnya. Tubuh Heaven sempat bersinar terang, tak lama-dalam sekejap cahaya benderang itu lenyap tanpa jejak.

Gadis itu tidur dengan tenangnya. Mimpi buruk itu pun tak lagi datang. Yang Heaven ingat adalah mimpi indah mendamaikan tidurnya malam ini.

.

.

Tbc