"Jelaskan ini!" bentaknya melemparkan iPadnya ke arahku. Aku bingung melihat layar monitor iPad yang terlempar ke atas sofa di depanku itu. Footage yang sama yang kulihat dalam 40 menit terakhir di perjalanan tadi. Apa yang telah membuatnya semarah ini padaku. Bingung dengan gambar aku memutuskan membaca artikelnya dari awal. Binar malah sesenggukan, menyiksa batinku. Aku berhenti membaca dan berusaha memeluknya lagi. Dia menepiskanku lebih keras sambil berteriak, "baca!" matanya merah, wajah malaikatnya juga. Aku kalah.
Kutelusuri semua kalimatnya, kata demi kata. Sampai di bagian akhir, si wartawan menyebutkan bahwa sebelum beritanya ditulis dia telah mengonfirmasi Hanun tentang ciuman itu, dan Hanun mengatakan aku sempat berbisik padanya usai ciuman kening itu, bahwa aku gugup di depan kamera dan sesungguhnya aku ingin lebih lama menciumnya. Ya Tuhan, perempuan licik itu!
Ia tentu merasa penting sekali untuk merekayasa dan berbohong seperti itu untuk membalasku. Tentu saja Hanun melakukannya karena aku hanya menempelkan ujung hidung, tidak benar-benar mencium dengan bibirku seperti yang ia inginkan. Tentu saja Binar marah. Aku menjatuhkan tubuhku di depan Binar yang masih terisak. Aku berusaha menjelaskan, membujuk, memintanya untuk lebih memercayai aku daripada Hanun. Aku mendedahkan padanya semua kronologi kejadiannya, bagaimana Simon mengaturnya sedemikian rupa dengan berlembar-lembar skrip dan kontrak bisnis yang menyertainya.
Aku menyembah-nyembah, mengemis pengampunannya karena tidak mengantisipasi kemungkinan Hanun bisa berdusta seperti itu. Setelah air mataku mengalir, Binar akhirnya memandangiku dengan sorot mata lebih lembut. Akhirnya dia tersadar bagaimana semua rekayasa bisnis komoditi hiburan ini menyakiti kami, dengan segala cara, dan dari segala arah. Kekasihku menghambur ke pelukanku. Aku lega dan bahagia.
Binar meminta kompensasi atas sakit hatinya. Dia memaksaku mematikan semua telepon genggamku selama 2 jam. Dan tentu saja aku mematuhinya. Aku berada di bawah kendalinya. Dia segalanya bagiku; keinginannya adalah perintah bagiku. Kami lalu menulis surat panjang di atas kertas, untuk Simon dan Kharisma. Bahwa kami sangat membutuhkan 2 jam ke depan hanya untuk kami berdua, tanpa gangguan apa pun. Binar lalu menyelipkannya dari celah bawah pintu tepat ketika siapa pun yang berada di luar sana menggedor-gedor pintu kamar ganti itu. Kami bahkan tidak peduli siapa di luar sana yang akan menerima dan membaca surat itu.
Kami berpelukan erat di atas sofa. Ruangan itu penuh barang, kosmetik, dan baju-baju properti pemotretan Binar. Tapi dia merasa nyaman menyandar di dadaku. Meskipun aku yakin tidak senyaman aku yang memeluknya erat dari belakang. Kuciumi rambut wanginya. Tuhan, aku sangat menyayanginya. Akan kuberikan hidupku untuknya. Binar membuka iPadnya dan menggunakan kamera depan untuk memotretku yang sedang mencium ubun-ubunnya. Dia bahagia melakukannya, aku tak mungkin melarangnya menyimpan foto itu. Lalu dia membuka-buka foto kami lainnya. Dia berhenti di fotoku yang menggendong seorang anak perempuan kecil menangis di bandara. Dia berhenti lama di situ, seakan baru saja melihatnya. Padahal foto itu sudah beredar di berbagai media dua tahun yang lalu, dan Binar sudah sering membicarakan foto itu dengan banyak orang, termasuk aku. Apakah dia ingin membahasnya lagi?
"Kamu ingat anak ini?" aku mengiyakan sambil menggigit cuping telinganya. Binar kegelian, dia beranjak dan mencubit pahaku dengan keras.
"Jangan bilang kau ingin punya anak!" kataku sambil menarik tubuhnya kembali ke pelukanku. Dia tidak membantah, tidak juga mengiyakan. Aku ingat Au, gadis kecil itu menangis meraung-raung karena kehilangan ibunya di tengah keramaian. Sementara orang-orang di sekitarnya tidak mendengar tangisannya karena dikalahkan suara teriakan ratusan fotografer dan reporter yang mengejarku keluar dari pesawat. Semua orang terlalu sibuk mengamankan jalanku, atau berusaha menerobos pengamanannya. Gadis itu menangis tak berdaya, nyaris tenggelam di antara lutut-lutut orang dewasa yang tidak memedulikannya. Aku melepaskan gandengan tangan pengawal pribadiku, dan menghambur mendekatinya. Kuangkat ia dari kerumunan dan kugendong keluar dari sana. Semua mata tertuju padaku yang menggendong gadis kecil menangis itu, kata berita.
Kilatan lampu kamera segera saja seperti hujan kembang api di sekitarku, tapi aku tak peduli. Aku mencari meja yang cukup tinggi untuk mendudukkan dan berusaha menghiburnya. Simon sigap dengan botol air mineral yang langsung kuberikan pada gadis itu. Simon sempat berbisik, 'sudah serahkan pada Utari, kita sudah dikejar waktu. Lagi pula pers nanti punya gosip kalau itu anakmu!'—sekali lagi, aku tak peduli.
Seorang anak yang tidak dipedulikan dan diabaikan adalah masalah kritis bagiku. Dan tak lama kemudian, mendengar teriakan orang-orang yang berkerumun dan melihat dari kejauhan buah hatinya duduk di atas meja tinggi, ibu si gadis datang berlari sambil menangis juga. Aku lega dan bahagia waktu itu, karena sempat tebersit di benakku bahwa ibu sang gadis sengaja meninggalkannya di keramaian karena sudah tidak menginginkannya. Aku dan syak wasangkaku. Ketika kugendong, gadis itu memeluk leherku erat dan terisak memanggil ibunya. Dan saat itu di dalam hatiku, aku berkata padanya; kalau kita tidak bisa menemukan orang tuamu, kau akan kubawa dan kuadopsi, Gadis Kecil. Aku selalu ingin punya anak yang akan mencintai dan mengagumiku lahir dan batin, meski tahu semua sisi terburukku. Aku selalu ingin punya pewaris.
Binar sudah pernah mendengar cerita itu puluhan kali, tidak hanya dariku. Dia sering memintaku menceritakan ulang kejadian itu. Seperti kecanduan kepada cerita itu. Aku sendiri sudah tidak pernah lagi mencari tahu bagaimana kabar Au, gadis itu atau mencoba menghubungi mereka. Tidak pernah datang kesempatannya; kurasa karena aku tidak perlu mengadopsinya, gadis itu tidak membutuhkanku. Aku tidak tahu mengapa Binar memandangi foto itu lagi lama-lama.
"Kau tahu, Meinchi… foto ini membuatku posesif padamu. Kalau aku kesal dan marah padamu, aku memandangi foto ini, mengulang semua ceritanya di kepalaku. Tak banyak manusia sebaik dirimu dengan hati sebesar punyamu…" ujarnya perlahan. Aku tergoda mendengarnya mengatakan semua itu, meski aku sering berpikir Binar terlalu membesar-besarkan cerita itu. Aku menginginkannya sepenuhnya 2 jam ini, sedikit lebih banyak dari Binar menginginkanku. Karena itu, apa pun yang ingin ia bahas, aku akan iyakan.
*
Simon melakukan dua pekerjaan sekaligus dengan sangat terampil dan profesional. Dia membicarakan banyak hal serius dan penting dengan Kharisma di telepon—menyebut-nyebut namaku dan Binar, sambil mengomeliku juga di dalam mobil menuju apartemenku. Aku tidak tahu apakah dia sadar bahwa aku pasti tidak mendengarkan apa pun yang dikatakannya karena aku amat lelah sekaligus lega. Aku ingin tidur nyenyak selama dua hari ke depan. Lagi-lagi, aku menginginkan sesuatu yang mustahil.
"Kau dengar, Arm; besok katakan pada wartawan bahwa malam ini kau ingin membicarakan kolaborasimu dengan Binar, dan bertemu Binar sebentar di gedung GX itu sebelum sesi fotonya. Kau ingat apa yang kukatakan ini, Arm?...Arm!....Arm!" Kata-kata Simon berujung bentakan begitu dia tahu bahwa aku memasukkan earphone ke dalam telingaku dan berusaha tidur. Ia tahu aku tidak mendengarkannya.
Simon duduk tepat di samping Erron yang kupaksa menyetir di tengah lalu lintas malam yang tetap sibuk di ibukota—meski aku tahu ia kelelahan malam itu. Aku duduk tepat di belakang Erron. Sepertinya sopir terbaikku ini juga lelah dan agak mengantuk karena bentakan Simon yang kesekian kalinya padaku mengagetkannya.
Erron refleks memutar setir sekaligus menginjak rem. Semuanya jadi kacau kemudian karena aku lupa mengenakan sabuk pengamanku. Yang kulihat, Erron menjerit-jerit berusaha mengendalikan setir yang sudah tak bisa dikendalikannya. Simon menjerit-jerit juga, dan semuanya berbalik menghantam sesuatu dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi kemudian. Hanya jeritan-jeritan Erron dan Simon bercampur derit ban mobil dan entah suara apa lagi.
Aku terbangun karena cahaya menyilaukan memancar tepat di wajahku. Aku membayangkan orang-orang bertopi putih dan bermasker mengelilingiku. Apa yang sedang mereka tangani atas tubuhku? Usus-ususku terburai keluarkah? Atau mereka sedang mengamputasi salah satu kakiku? Atau dua-duanya? Aku hanya merasakan dadaku terangkat seiring embusan napasku. Aku masih bernapas. Bagus.
Salah satu bodyguard-ku pernah mengalami kecelakaan motor jet di laut ketika menungguiku bermain jetovator. Dia hampir diamputasi, tetapi kemudian mereka memperbaiki otot pahanya yang putus. Osim, bodyguard-ku itu, kini hanya bisa bekerja di balik meja karena tak bisa berjalan normal. Osim pernah bercerita padaku, ketika dia tersadar di atas meja operasi dikelilingi dokter-dokter itu, dia tak bisa merasakan tubuhnya. Seolah semua bagian tubuhnya terasa kebas. Aku mengingat cerita Osim dan mencoba merasakan tungkai-tungkaiku. Namun, aku tak merasa kebas.
"Mengapa kau tidak membuka matamu saja?" tanya seorang perempuan. Aku yakin dokter perempuan ini berada tepat di atas kepalaku. Aku bisa mencium aroma napas dan tubuhnya, bahkan sepertinya ia menempelkan jidatnya di jidatku. Mungkin parfum dan obat kumurnya terbuat dari bunga-bungaan. Aku berusaha membuka kelopak mataku, tetapi aku takut melihat lampu ruang operasi di atasku. Benda ini mengingatkanku pada banyak hal yang perih dan pahit. Rumah sakit, kamar operasi, Dada dan Nana. Kalau memejamkan mata bisa menyelamatkanku dari perasaan perih pahit ini, lebih baik aku menunda membuka mataku.
Namun, kemudian aku merasa cahaya menyilaukan itu hilang. Tentu saja. Logikaku berkata, bagaimana mungkin aku merasakan cahaya terang lampu ruang operasi jika wajah dokter perempuan itu tepat di atas wajahku. Apakah ia menciumku? Aku membayangkan penggemar-penggemar fanatik yang pernah menulis betapa mereka rela masuk penjara sekalipun asal bisa menciumku. Semua ini membuatku gusar; apakah aku bukan di meja operasi di sebuah rumah sakit, tetapi di pinggir jalan dikelilingi penggemar-penggemarku? Namun, entah mengapa aku merasa teduh memayungiku. Apakah yang sebenarnya terjadi. "Saya kenapa, dok?" tanyaku pasrah. Karena apa pun jawabannya, aku tak akan mempertanyakannya lagi. Hanya terbayang wajah Binar yang mungkin berada di luar ruang operasi ini menangisi dan memanggil-manggil namaku.
"Mengapa tak kau buka saja matamu, lalu kau lihat sendiri apa yang terjadi pada dirimu…" jawaban dokter perempuan itu. Karena sudah tak terasa cahaya menyilaukan di balik kelopak mataku, aku mematuhi perintahnya. Kubuka kelopak mataku perlahan.
Samar kulihat wajah seorang perempuan, dengan titik berwarna hijau terang di tengah dahinya. Matanya cokelat besar, bibirnya menyunggingkan senyum. Cantik. Wajahnya dibingkai kedua lengannya yang berbalut kain berwarna biru muda bercampur hijau yang berkilauan. Ada perhiasan berbentuk tali yang menyatukan bebatuan kecil warna-warni di salah satu lengannya. Wajah dan posisi tangannya itulah yang telah memberiku keteduhan dari cahaya terang matahari di belakang kepala perempuan ini. Ya, cahaya matahari, bukan lampu kamar operasi. Aku berada di alam terbuka!
Aku merasakan kedua tanganku, dan kusentuh wajahku. Tak ada darah dan rasa sakit. "Kau bisa bangun?" tanya perempuan itu. Ternyata aku tidak berada di rumah sakit sebagaimana yang aku bayangkan sebelumnya. Aku berada di atas sebuah kursi kayu atau sejenisnya, di alam terbuka; seperti bukit dengan pemandangan cakrawala dan langit yang luas, yang kini terasa dingin udaranya menyentuh kulitku. Semilir angin mengelus wajah dan tubuhku.
"Di mana aku?" tanyaku padanya. Ia tidak menjawabku, malah bertanya, "Kau bisa sebutkan rumahmu di mana? Nanti kuantarkan pulang…"
Semua pertanyaan dibalas pertanyaan seakan tidak pernah ada jawaban ini membingungkanku. Aku memaksakan tubuhku duduk perlahan. Sebetulnya aku tidak merasakan ada bagian tubuhku yang sakit sedikit pun. Hanya saja kebingunganku ini begitu berat menghuni kepala, sehingga semua gerakan tubuhku terasa berat dan menyakitkan. Sejurus di depanku terhampar lapangan rumput, dan di kejauhan sebuah rumah kayu kecil dengan ayunan kain di terasnya. Ada pancuran air kecil tepat di sampingnya. "Aku berada di mana? Anda siapa?"
"Kalau kamu melupakan rumahmu, kita bisa masuk ke kabin itu untuk beristirahat. Tetapi, lebih baik kalau kau mengingat di mana rumahmu, biar aku membawamu ke sana. Namamu siapa?" Perempuan ini berbicara padaku seperti kepada seorang anak kecil yang ketahuan tersesat. Aku sekarang bisa memandangi seluruh tubuhnya. Dari kepala hingga kaki. Ia mungkin seorang penari dengan kostum menarinya. Entah kostum apa yang dikenakannya ini. Aku merasa terintimidasi melihatnya. Padahal aku biasanya menyenangi kostum-kostum tari atau pertunjukan.
Kakinya telanjang tak beralas kaki. Bagian bawah tubuhnya dibalut kain garis-garis hitam hijau, bagian atas tubuhnya ditutup dengan apa yang menyerupai dedaunan ditumpuk-tumpuk. Yang kukira perhiasan batu-batuan itu ternyata adalah sesuatu yang seperti tumbuhan menjalar dari kaki kirinya, melilit naik ke pinggul, melingkar-lingkar hingga ke pinggangnya, lalu menjalari punggung dan bahunya, berujung di batu biru kecil yang menggantung dari leher, tepat di belahan dadanya. Dari punggungnya terjulur selendang-selendang panjang, paduan warna biru muda dan hijau berkilauan. Sebagian dari selendang itu memayungi wajahku tadi, mencegah cahaya matahari menyakiti mataku. Tapi ketika dilepaskan, selendang-selendang itu berkibaran di belakang tubuhnya, seperti ekor burung merak atau sayap serangga yang berlapis-lapis dan indah warna-warni, atau seperti kaki laba-laba pelangi—kalau ada laba-laba seindah itu.
Entahlah, aku tak mampu mengartikan apa yang kurasakan demi melihat sosok perempuan ini. Makhluk apakah ia? Rambutnya diuntai bebatuan serupa yang menjalari kaki dan pinggangnya; dijatuhkan di sisi kanan tengkuknya. Wajahnya, aku tak memahami raut wajahnya. Apa yang sedang berkecamuk di kepalanya, tak bisa kubayangkan. Perempuan ini, makhluk apakah ia? Hantu? Peri hutan? Atau penari kesasar? Yang terakhir tampaknya semakin tidak mungkin ketika kulihat ia bisa berpindah tempat dengan cepat seperti melayang di udara dan menjadi bagian dari angin. Apakah perempuan ini terbang atau mataku sedang menipu otakku? Apakah ia sudah terbang membawaku dari lokasi kecelakaanku di ibukota ke atas bukit antah-berantah ini? Mengapa ia tak menjawab semua pertanyaanku dan memaksaku menyebutkan alamat?