1. ARIF
Jeritan binatang malam berlomba-lomba dengan deru napas Waluyo yang terengah-engah. Dia menatap gelapnya langit yang tanpa satu pun bintang menghiasi. Gemuruh angin seakan-akan hendak membawa segerombolan badai yang bersiap memporak-porandakan bukit di mana sekarang Waluyo berada.
"Inikah hukuman untukku, Tuhan? Kau ambil istriku setelah aku baru saja menghabisi nyawa Hamidah. Inikah balasan atas dosa-dosaku? Kenapa Engkau sekejam itu, Tuhan?" Waluyo menjambak rambut di kepalanya dengan perasaan campur aduk. Air mata tidak terbendung, membasahi pipi tirusnya.
Kepongahan dan kesombongan beberapa jam yang lalu ia perlihatkan, tumbang dalam sekejap ketika mendapat kabar dari ayah mertuanya kalau istri yang sangat ia cintai sedang berada di ujung maut.
Semua orang yang berada di alun-alun Balai Desa sontak berbisik-bisik mendengar kabar yang dibawa lelaki tua itu.
Kepala Kampung dan beberapa pengawalnya tidak buang tempo. Segera membawa Waluyo menuju rumah sakit yang jaraknya hampir satu jam perjalanan dengan mobil.
Tak henti-henti ia berdoa. Berharap istri dan anaknya baik-baik saja. Keresahan dan rasa khawatir memenuhi hatinya.
Namun, sesampainya di rumah sakit, Waluyo hanya bisa berdiri nanar. Tidak percaya ketika melihat istri tercinta sudah ditutupi kain putih.
"Maafkan, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Istri Bapak tidak bisa kami selamatkan." Ucapan Dokter bagai palu godam yang dipukulkan ke kepalanya. Telinganya terasa berdenging. Pikirannya berputar, lalu ambruk tidak sadarkan diri.
Kepala Kampung selaku kakak Waluyo tidak bisa berbuat banyak. Namun, ia masih menyempatkan diri menjenguk keponakannya yang terbaring di dalam box inkubator. Bayi laki-laki. Terlihat gemuk dan sehat.
"Ya Allah, inikah karma yang harus diterima oleh Waluyo?" Mata Kepala Kampung basah seketika.
Malam itu juga mereka segera membawa mayat istri Waluyo pulang. Sementara Waluyo seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Masih terbayang-bayang bagaimana istrinya sore itu masih ceria dan sehat. Sekarang sudah menjadi mayat, dingin dan tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan.
Waluyo bahkan berlari keluar dari rumah. Seperti orang gila, berteriak dan menangis sepanjang jalan menuju Bukit Rendah yang biasa ia gunakan untuk menyepi.
Di sinilah ia sekarang. Di antara kepungan badai yang menggila. Berkali-kali angin menumbangkannya ke tanah. Berkali-kali juga ia coba untuk bangkit. Namun, kekuatan alam memang tidak biasa ia lawan. Waluyo membiarkan dirinya tergeletak di tanah dengan hujan yang mulai tercurah.
Terbayang-bayang di matanya bagaimana ia membakar rumah Hamidah. Terdengar kencang jeritan bayi Hamidah ketika ia pikir ikut terbakar.
"Betapa jahatnya aku sebagai manusia. Betapa kejamnya aku sebagai pria. Sanggupkah aku menjalani hidup tanpa istri yang sangat kucintai? Sanggupkah aku membesarkan bayi itu sendirian?" Waluyo membiarkan pikirannya menerawang tak tentu arah. Membiarkan hujan terus mencucukkan hawa dingin ke tubuhnya. Gigil dalam sekejap mengambil alih. Namun, Waluyo tidak peduli. Baginya saat ini, kehidupan bahagianya lenyap sudah. Yang tinggal hanya sejuta kenangan dan terlalu sakit untuk dikenang.
"Bayi itu! Bayi laknat itu telah membunuh istriku. Bukankah sudah berkali-kali kubisikkan agar ia menjaga ibunya? Bukankah sudah ribuan kata kuteriakkan agar ia tidak menyakiti ibunya? Awas saja! Aku akan buat dia menderita karena telah membunuh wanita yang kusayang!" Berpikir sampai di sana, Waluyo mengepalkan tinju. Menguatkan hati agar mampu kakinya menginjak tanah. Di antara badai dan petir, ia melangkah kembali pulang.
***
Kejadian di rumah sakit, tanpa disadari oleh Waluyo dan Kepala Kampung, di ruangan yang bersebelahan dengan istrinya Waluyo, Hamidah sedang dalam penanganan dokter. Wanita itu kehilangan banyak darah. Namun, Dokter berusaha sekuat tenaga. Apalagi stok darah sesuai golongan darah Hamidah cukup banyak tersedia. Berbeda dengan istri Waluyo yang berdarah AB, begitu susah untuk didapatkan. Sehingga akhirnya wanita malang itu meninggal dunia.
Satu jam dalam penanganan dokter, Hamidah berhasil melalui masa kritisnya. Namun, kondisinya masih belum stabil. Butuh satu minggu untuk tinggal di rumah sakit.
"Lakukan yang terbaik, Dok. Saya suaminya, tolong, selamatkan istri saya."
Dokter menganggukkan kepala, sembari menepuk bahu lelaki itu lembut. "Anda suami yang luar biasa. Istri anda juga kuat. Dalam situasi seperti ini, dia masih bertahan. Untunglah, bayinya juga bisa kita selamatkan. Sekarang, perbanyaklah berdoa, agar istri anda segera sadar dan cepat pulih kembali."
Lelaki itu, yang memang Arif adanya mengucapkan terima kasih ketika dokter tersebut berlalu dari hadapannya. Arif menatap Hamidah melalui kaca jendela. Berdoa agar wanita itu bisa selamat dan bertemu dengan bayinya.
Sedari sore, Arif belum mengisi perut. Kejadian menegangkan itu benar-benar membuat tubuhnya lemas, kehilangan banyak cairan. Setelah dia rasa aman, ia segera meninggalkan ruangan Hamidah, menyusuri koridor yang lengang.
Sesaat dia mendengar ribut-ribut di halaman parkir. Arif dengan cepat menyembunyikan diri, mengintai dari rimbunnya dedauanan, melihat Waluyo dan Kepala Kampung bersitegang.
"Lepaskan aku, Bang! Aku harus bunuh dokter itu. Dia telah membunuh istriku! Aku akan bunuh semua orang di rumah sakit ini!"
Waluyo tidak terkendali. Sebuah tamparan keras membuat lelaki itu terpelanting dan terjatuh ke tanah.
"Jangan keras kepala, Waluyo! Istrimu mati itu karena takdir! Jangan menyalahkan orang atas apa yang terjadi. Seharusnya, kamu koreksi dirimu sendiri. Bisa saja ini adalah buah dari apa yang kamu tanam!"
Waluyo menangis mendengar kata-kata abangnya. Ia peluk kaki Kepala Kampung.
"Aku tidak siap kehilangan istriku, Bang! Aku tidak rela. Aku sangat mencintai dia, Bang! Aku ... aku tidak sanggup ...."
Kepala Kampung mengangkat tangan Waluyo, menyuruhnya berdiri.
"Abang tahu, Waluyo. Cuma kendalikan dirimu! Ada anakmu yang harus kamu perhatikan!"
Waluyo masih terisak-isak, "Aku tidak sanggup, Bang. Aku tidak sanggup menemuinya." Ia berbalik, kemudian mengambil langkah seribu meninggalkan Kepala Kampung yang hanya bisa mengurut dada.
Arif yang melihat drama itu menyunggingkan senyum sinis. Kena batunya juga kau, Waluyo! Bukankah sudah pernah kukatakan dulu, kalau Sanira tidak akan bisa kau miliki selamanya. Mungkin tubuhnya bisa kau miliki, tapi tidak hati dan cintanya. Hahaha.
Arif keluar dari persembunyian. Berjalan mendekati Kepala Kampung yang terlihat sangat pucat dan bingung.
"Bang Andro! Apa kabar?"
Kepala Kampung yang sedang melamun sontak terkejut ketika seseorang menyebut nama aslinya. Ia lebih terperanjat lagi ketika melihat siapa yang menyapanya.
"A--rif? Arif? Ini ... benaran ... kamu?" Kepala Kampung atau Andro mengucek matanya beberapa kali. Memastikan kalau yang ia lihat ini adalah orang, bukan setan.
Arif tertawa jumawa. Dia mengulurkan tangan. "Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kabarmu, Bang?"
Andro gelagapan, tapi ia terima juga uluran tangan Arif. Dia sangat kikuk dan sekaligus malu.
"Aku baik-baik saja. Kamu ada urusan apa di rumah sakit?" Andro benar-benar tidak nyaman.
Arif tidak langsung menjawab. Andai ia tidak menahan diri, ingin sekali ia menghantam wajah Andro dengan tinjunya.
"Akh, hanya menjenguk teman. Kebetulan ia habis melahirkan. Bang Andro sendiri, siapa yang sakit?"
Andro menghela napas berat. "Sanira. Istrinya Waluyo, melahirkan. Tapi ... ia tidak selamat. Meninggal."
Arif terkejut. Tepatnya pura-pura terkejut.
"Ya Allah, Bang. Aku turut berduka cita, ya, Bang. Tidak menyangka Sanira akan pergi secepat ini." Raut wajah Arif terlihat bersedih. Walau dalam hati ia mensyukuri apa yang terjadi. 'Mampus dan membusuklah kau di neraka, Jalang! Luka yang pernah kau torehkan, tidak akan bisa musnah begitu saja.'
"Okelah, Bang! Aku tinggal dulu, ya, Bang. Maaf tidak bisa melayat ke kampung."
Arif hendak berlalu, tapi terdengar teriakan Andro.
"Sekali-kali, jenguklah kuburan ibu, Rif!"
Arif berbalik dan menatap Andro tajam.
"Sudahlah, Bang! Bagiku, ibu hanyalah kenangan pahit dan hitam. Percayalah, Bang. Aku sudah memaafkan kalian."
'Walau sebenarnya aku sangat ingin membunuh kalian semuanya!' Lanjutnya di dalam hati.