webnovel

HARTA KARUN KEHIDUPAN

Kehidupan tenang, nyaman, dan damai yang selama ini berlangsung dapat berubah menjadi sangat kacau dalam seketika. Hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan bisa saja memasuki kehidupan dan mengubah segalanya. Begitulah kenyataan yang terjadi pada kehidupan Garini Anastasya dengan Dinara Aditama, yang ternyata adalah dua anak yang tertukar dengan kehidupan yang berbanding terbalik. Garini atau yang biasa disebut Tasya, kehidupannya begitu sederhana. Ia adalah seorang penulis biasa yang hidup bersama seorang kakak laki-laki yang bekerja di bengkel dengan gaji yang bahkan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Berbeda dengan Dinara yang hidup bergelimang harta. Pesta pora dan foya-foya adalah hal yang biasa baginya. Sebuah fakta mengejutkan mengenai warisan dari keluarga Aditama membuat kehidupan Dinara terusik. Ada yang harus dipertahankan, serta ada pula yang harus direbut. Kejadian mengerikan mulai terjadi saat Tasya dan Dinara berusaha untuk mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Kelompok orang lainnya, rupanya menjadi dalang dan monster yang sesungguhnya yang membuat semua masalah ini bermula dengan pengorbanan nyawa. Bagaimanakah kisah Tasya untuk kembali mendapatkan apa yang menjadi hak milik ayahnya dan dirinya? Apakah kedua putri yang tertukar itu akan menerima nasib mereka kembali? *Ikuti kisahnya dalam novel ini ^,^ *Jangan lupa berikan ulasan, komentar dan dukungan batu kuasanya yaaa ^,^

snaisy_ · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
15 Chs

Bagian Awal

Klik

Klik

Klik

Jemari lelaki muda yang sedang duduk dengan bersandar nyaman di kursi gamingnya itu beberapa kali menekan tetikusnya seraya menggumamkan sebuah nama.

"Garini Sya ...," ucapnya lagi.

Sorot matanya tajam dan fokus pada layar komputer miliknya.

Earphone masih tergantung menjadi aksesoris pada lehernya. Rambut yang cukup gondrong sesekali jelainya menyapa wajah muda itu saat tertiup oleh kipas angin mini.

Disibakkan olehnya rambut bagian dahi, lalu dia kembali membenarkan posisi duduknya seraya menyeruput kopi yang sudah tak lagi panas.

"Eh kenapa tidak ketemu ... kurasa ini platform yang benar. Bukankah dia bilang warna ungu? Kurasa ini benar."

Masih terus digulirkannya kursor hingga mentok, dia lalu mendengkus kasar.

Segera dia membuka ponsel berencana untuk menelepon, namun dia teringat akan sesuatu.

"Syarini ... ah benar kurasa dia menggunakan nama itu sebagai nama penanya," ucapnya seketika merasa yakin.

Tik tik tik

Mahir sekali jemarinya mengetik dengan cepat. Hingga akhirnya dia sangat lega karena telah menemukan apa yang dia cari.

"Sial! Rupanya dia tidak bercanda mengenai nama penanya. Ah entah kenapa aku sedikit asing dengan nama itu. Bukankah Tasya terdengar lebih manis? Garinipun indah," celoteh lelaki muda itu tak berhenti saat ia membuka dan menjelajahi halaman profil penulis yang memasang foto bunga kuning yang tidak begitu jelas jenisnya.

lelaki muda itu mengurangi kecepatan angin pada kipas angin mininya, hal itu agar suaranya tidak begitu mengganggu fokusnya saat membaca.

Sedikit mengerutkan dahi, ia lalu membuka tautan karya tulisan dengan jumlah pembaca ratusan ribu dengan ratusan ulasan serta berlian dukungan dari pembaca.

"Past Life."

Begitulah judul novel daring yang menarik perhatian dengan gambar sampul mata yang sembab dan berair.

Masih membaca ulasan dan komentar pembaca, lelaki muda itu berkomat kamit dengan kembali menyeruput kopinya.

Tok tok tok!

"Mas Jen, sarapannya sudah siap. Mbok bawakan ke kamar atau Mas Jen yang turun?"

Terdengar lirih suara Mbok Ti dari luar kamar.

Tok tok tok!

"Mas Jen?"

Mbok Ti kembali memanggil namun masih belum ada respon dari tuan mudanya.

Wanita tua itu lalu memutar gagang pintu perlahan untuk melihat keadaan tuan mudanya yang sama sekali tidak menunjukkan tanda tanda kehidupan.

Posisi yang tidak membuat Mbok Ti terkejut atau heran, duduk di depan komputer dengan fokus dan bergeming. Hanya saja kali ini earphonenya tidak mengunci kedua telinganya.

"Mas Jen?" Mbok Ti menepuk pelan bahu lelaki muda gondrong itu.

"Eh Mbok? Ada apa?" Jine yang terkejut itu segera berbalik dan mengerjapkan kedua matanya beberapa kali.

Mbok Ti tersenyum ramah, melihat hal itu Jine segera mematikan kipas angin mini yang cukup berisik.

"Maaf, Mbok. Kipasnya berisik banget," ujarnya. "Sarapannya sudah siap, ya? Aku turun sepuluh menit lagi." Jine tersenyum simpul.

"Mau dibikinkan wedang jahe?"

Jine menatap jendelanya, jelas sekali hujan deras sedang turun di luar.

"Boleh. Gula aren ya, Mbok."

Mbok Ti mengangguk, "Jangan terlalu sepaneng, Mas. Mbok takut kalau Mas Jen kesambet."

"Ah Mbok Ti malah nakutin. Haha Aku cuma sedang membaca novel keren ini," ujar lelaki muda tampan itu.

"Yasudah, Mbok turun dulu. Mas Jen jangan terlalu menunda makannya ya, hari ini Ibu pulang pasti banyak tanya sama Mbok tentang Mas Jen."

"Emm, Mbok jawab aja apa adanya nanti sama mamah." Angguk Jine seraya kembali memasang earphone pada telinganya.

Saat hendak menyalakan kipas angin mini, tiba-tiba pandangannya tertarik untuk memandang pendingin ruangannya yang telah menganggur lebih dari seminggu.

Benda itu rusak, namun dia terlalu malas untuk menghubungi teknisi untuk memperbaikinya.

Mengingat kedua orangtuanya akan pulang ke tanah air, dia bergegas untuk menelepon orang kepercayaan keluarganya untuk menghubungi teknisi dan membereskan semua barang di kamarnya.

Jine menoleh kebelakang, memastikan kalau Mbok Ti sudah sudah lagi di dalam ruangannya. Ia lalu menyalakan kipas mini dan kembali melanjutkan membaca.

Jika harus jujur untuk mengakui, ini adalah pertama kali untuknya tertarik untuk membaca sebuah novel bertema romansa. Biasanya dia hanya akan tertarik dengan sains aksi ataupun horror.

=====

*Past Life oleh Syarini*

BRUK!

Tubuh anak seorang laki-laki terjatuh ke lantai toilet dengan bersimbah darah pada bagian kepalanya. Jelas tidak sadarkan diri.

Seorang mahasiswa yang baru membuka pintu toilet segera histeris saat melihat hal mengerikan itu, terlebih dia mendapati seorang perempuan masih berdiri dengan napas tersengal memegang pecahan guci yang berlumuran darah.

"Sialan!" umpat perempuan itu. Dia mengusap darah di sudut bibirnya dengan tangannya yang juga terluka.

Hanya dalam hitungan detik. Berita mengenai kasus penganiayaan serta percobaan pembunuhan tersebar ke seluruh kampus hingga ke bagian manajemen dan yayasan.

"Ah aku enggak nyangka banget lo kalau Leidy itu begitu. Udah godain anak ketua yayasan sampe ngajak ke toilet buat anu, eh selesainya malah dia menghajar dan nyaris membunuh gitu. Emang enggak punya otak dia!"

"Iya deh, kukira dia anaknya beneran polos. Ternyata pendiam tapi sisi lainnya liar banget."

"Eh aku yakin sih, pasti Andhika enggak mau banget sampai nolak. Makanya Leidy maksa dan sampai menghajar Andhika."

"Padahal dia tau dong ya kalau Andhika itu sudah bertunangan sama Clara."

"Ah sudahlah namanya juga orang gila, mana bisa berpikir jernih. Di otaknya cuma ada napsu dan emosi."

Semua gunjingan itu terus berlarut, terlebih saat mereka melihat seorang mahasiswi dengan bentuk tubuh proporsional nampak mengerikan keluar dari ruangan sidang dosen.

Rambut ikalnya sangat berantakan, begitupun dengan pakaiannya yang kehilangan dua kancing paling atas serta robek dibagian lengan. Wajahnya lebam, sudut kiri matanya terluka.

Dia berjalan dengan tatapan mata tajam tanpa menoleh kepada siapapun yang memperhatikan langkahnya.

Di belakang, kakak laki-lakinya, seorang mahasiswa jurusan otomotif berjalan tidak jauh dari perempuan itu. Napasnya tersengal, kedua tangannya masih mengepal, dia baru saja memukul seseorang di ruang dosen dan kembali siap untuk menghantam siapapun yang mengatakan hal tidak pantas pada adiknya.

Guntur mendampingi sekaligus mengantar Leidy pulang karena mahasiswi itu harus diberhentikan kuliah karena masalah ini.

===

Jine bertopang dagu, dia terhanyut dalam bacaannya. Bahkan dia tidak sadar kalau telah membaca banyak BAB dari novel karya kekasihnya itu.

Dihelakannya napas panjang, menarik, namun ada sesuatu yang seperti termendap di kepalanya.

"Kenapa aku merasa ini seperti kisah nyata? Dia keren sekali bisa membawa emosi pembaca ke dalam kisah karangannya begini," pujinya tak segan.

"Ah aku suka dengan tokoh Leidy ini. Dia perempuan yang sangat kuat, hanya dari membaca kisah ini aku sudah dapat membayangkan betapa mengerikan perangai dari perempuan itu. Hemm kurasa aku harus memberikan penghargaan kepada Tasya untuk karya ini."

Jine memilih untuk menyimpan novel itu pada pustaka di akun platform miliknya. Telah diniatkan olehnya untuk kembali lanjut membaca setelah sarapan dan menyelesaikan perkuliahan daring.

Kling kling.

Sebuah pemberitahuan di ponselnya.

'Kelas mulai lima menit lagi'

"Sialan! Apa aku selama itu membaca novel? Aku bahkan belum mandi juga sarapan!" umpatnya saat menyadari kalau group obrolan kelasnya telah ramai sejak beberapa saat yang lalu.

Sebagai mahasiswa Hukum, Jine seringkali mengutuk dirinya sendiri yang sering merasa mengantuk saat perkuliahan dimulai. Beberapa kali dia tidak sengaja mengeluh dihadapan kedua orangtuanya, dia justru mendapat kalimat yang tidak mengenakan.

"Makanya jadi anak itu nurut, Papa dan Mama bilang kamu harus belajar bisnis bukan hukum."

Jine hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mehelakan napas panjang karenanya.

Bersambung. Happy reading.