Satu minggu sudah berlalu setelah kejadian yang berhasil mengusik hati Berry. Pikirannya seolah tak bisa menghilangkan bayang-bayang Cherry. Baru bertemu dua kali, tapi efeknya sudah luar biasa. Dia bahkan tidak mengerti apa yang terjadi pada hati dan pikirannya. Hatinya mengatakan jika ada ketertarikan yang memang tak kasat mata, tetapi pikirannya menolak mengakui. Dia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan 'kenapa' yang dilayangkan kepada hatinya.
Dia sudah berusaha agar tidak lagi memikirkan tentang hal yang tidak dia 'kenali' bernama cinta. Dia tidak ingin terlena hanya gara-gara sesuatu yang sering diagungkan oleh para remaja sekarang. Cinta, cinta, dan cinta.
Dia bukannya antipati dengan yang namanya cinta, tidak. Dia hanya belum mampu dan belum siap. Masa depannya masih panjang, masih ada banyak hal yang ingin dicapai. Hidup mengajarinya segalanya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan masa depan yang dirancangnya karena seorang perempuan.
Sekarang dia berjuang untuk dua hal, mengenyahkan pikirannya dari gadis pemilik tatapan tegas itu, dan juga berjuang agar dia bisa tetap berjuang untuk tidak mengalihkan rancangan masa depan yang telah disusunnya.
Memang tidak mudah untuk itu. Karena percaya atau tidak, bayangan gadis itu seolah menempel seperti lintah. Jangan berpikir hal seperti ini hanya lah omong kosong belaka, tapi ini benar-benar terjadi pada Berry. Dia memang pandai sekali menutupi apapun yang dirasakan di dalam hatinya dengan wajahnya yang terkenal tak memiliki ekspresi kecuali datar.
Setelah merasa suntuk karena pemikiran-pemikiran yang dianggap konyol, Berry keluar dari kamarnya dan mendapati kedua temannya sedang memegang stick game. Mereka berdua mengalihkan tatapannya dari benda segi empat itu dan menatap kearah Berry.
"Kenapa lo? Kucel banget muka lo?" Miko mengernyitkan dahi ke arah Berry heran. Pasalnya Berry seperti orang yang kehilangan jiwanya.
"Bakso, ayam penyet, mie ayam, nasi padang." tidak menjawab pertanyaan Miko, dia malah mengabsen beberapa makanan yang dihafalnya di luar kepala.
"Maksud...., wah! Lo mau traktir kita?" Aga berseru antusias dan melemparkan stick gamenya begitu saja yang mendapatkan pelototan tajam dari Miko. Bukan karena apa, tapi stick game itu milik Miko yang baru dibelinya. Tapi yang namanya Aga, peduli setan dengan Miko, tawaran Berry lebih menarik.
"Iya, lo mau apa?"
"Mie ayam boleh, Bakso juga seger, wah apalagi ayam penyet, hmmmm..., aduh!" Miko lebih dulu menggeplak kepala Aga dengan buku disampingnya, bahkan sama sekali tak mempedulikan pelototan dari sahabatnya itu.
"Maruk banget lo," Miko melotot ke arah Aga, "Apa aja lah Ber, soalnya yang dibilang Aga bener juga sih." kini giliran Miko yang meringis karena bulu kakinya dicabut oleh tangan jahil Aga.
"Ngomong aja lo juga maruk, gitu aja repot banget." Balas Aga.
"Ya udah, jalan kaki aja ya." Masa bodoh dengan pertengkaran dari kedua sahabatnya itu, dia santai saja menanggapi.
"WOKEH." Semangat empat lima yang ditunjukkan oleh Miko dan Aga itu hanya mendapatkan tatapan datar saja dari Berry.
Mereka menyusuri jalan yang selalu dihiasi kendaraan yang berlalu lalang. Dan Berry memang benar-benar akan menuruti apa yang diminta kedua sahabatnya itu. Berry memang loyal kepada Aga dan Miko, karena memang Berry sudah memiliki penghasilan sendiri.
"Sampai kita." Aga sepertinya semangat sekali melihat ayam yang digoreng dan mengeluarkan bau yang begitu lezat.
"Pesen apa, Mas?" seorang gadis yang kira-kira berumur delapan belas tahun itu mendekati mereka dengan malu-malu. Dasar anak muda jaman sekarang, baru tak bisa melihat laki-laki bening sedikit saja, mereka sudah malu-malu layaknya pengantin baru.
"Wih, si Mbaknya pengertian banget deh, kaya pacar baru." Aga ini senang sekali menggoda anak gadis orang, membuat Miko ingin sekali menyuapi sambal yang ada di depannya. Kalau Berry sih, biasa saja melihat kelakuan temannya itu.
"Mas bisa aja. Jadi malu aku."
"Aduh, suaranya kok renyah banget sih, Mbak, kayak ayam krenyes." dan demi ayam-ayam yang berenang di penggorengan, si Mbak mukanya semakin merah dan menutup bibirnya dengan tangannya dramatis. Sok cantik.
"Dada, paha, telur, tempe, daleman." Aga kembali membuka suara yang membuat botol air mineral melayang ke kepalanya. Berry lah pelakunya. Bagaimana tidak, setelah Aga mengatakan itu, muka si Mbak langsung shock dan salah tingkah tak tahu situasi.
"Apaan sih, Ber?"
"Ngomong yang jelas, nggak usah sok cakep."
"Emang gue sok cakep gimana sih?" tidak menjawab, Berry langsung 'mengoreksi' pesanan Aga yang ngelantur.
"Dada ayam, paha ayam, tempe goreng, telur goreng, dan jeroan. Bukan daleman. Minumnya es jeruk. Tolong cepet ya, Mbak." Si Mbak mengangguk mengerti agar bisa segera mengambil pesanan mereka.
Miko dan Aga cekikikan setelah pelayan itu menjauh dari sana, "Sumpah, gue nggak nyangka lho, dia bisa salah tingkah kayak gitu." Aga tertawa tertahan dan geli sendiri mengingat si Mbak tadi.
"Lo emang kampret, Ga."
"Biarin." Aga hanya menyeringai kecil mendengar ejekan Miko." Kedua teman Berry itu memang terkadang kelakuannya tak bisa diprediksi. Terkadang bisa bersikap wajar saja, tapi jika obatnya habis dan kumat, maka keminusan itu terlihat nyata dan jelas sekali.
"Silahkan, Mas." Dan ketika pengantar makanan itu bukan gadis yang digoda tadi, kedua orang itu justru langsung tertawa karena tahu jika aksinya kali ini berhasil membuat orang lain keki.
Mereka makan dengan lahap. Dengan khidmat menggigiti tulang ayam yang masih ada daging terselip di sana. Seperti nikmat sekali mereka makan kali ini.
"Nikmatnya sungguh terlalu," komentar Aga dengan memakan telur dadar sambil di colek kan ke sambal pedas di depannya, "Gue mau tambah lagi. Boleh, Ber?" Miko melotot ke arah lelaki itu.
"Perut lo itu karet apa, apa sih, Ga?" begitu katanya dengan ekspresi mengejek. Namun Aga sama sekali tak mempedulikan celotehan Miko.
"Gue mau mie ayam, Ber." Penuh dengan keyakinan, Aga mengatakan hal itu.
"Terserah lo aja. Yang penting kalau lo kekenyangan dan nggak bisa pulang, nggak ngrepotin kami." Aga tersenyum.
"Gue setuju," katanya dengan semangat menggebu. Berry berdiri dan membayar makanan yang dipesannya bersama teman-temannya, kemudian pergi dari sana.
Kembali berjalan dan memenuhi keinginan Aga yang ingin makan mie ayam. Mereka berjalan dengan santai sambil mengobrol ringan. Terkadang saling mengolok, saling dorong, dan terkadang tertawa-tawa sampai menarik perhatian orang lain.
"Kita sebentar lagi mau sampai, Ga. Serius lo dengan keputusan yang lo buat? Lo nggak akan kekenyangan kalau nambah mie ayam?" seolah Aga ini sedang mengambil keputusan yang begitu sulit, dan akan merubah hidupnya, Miko kembali menanyakan hal itu.
"Gue lebih dari serius, Lo nggak perlu khawatir." Aga berucap dengan keyakinan tinggi, "lalapan tadi itu Cuma nyempil di perut kiri gue, dan perut bagian kanan gue itu perlu asupan juga. Iri nanti dia kalau nggak dikasih." Ngaco sekali jawabannya, membuat Miko ingin sekali menggeplak kepala lelaki itu.
*.*