webnovel

Bab 20. Tak Disangka

Langkah kaki Berry memelan dan tatapannya hanya bisa fokus pada satu titik di depannya. Seolah dia tak bisa melangkah kembali ketika bayangan yang tadinya hanya sebuah bayangan akhirnya kini menjadi kenyataan. Di sana, Cherry sendang mengobrol entah tentang apa dengan dua lelaki itu, karena senyumnya kini terlihat dan tawanya terkadang terdengar. Ada sesuatu yang ada di dalam dirinya yang tidak bisa menerima itu. Tapi apa haknya melakukannya.

Karena yang menjadi pertanyaan terbesar sekarang adalah, siapa dia? Ada hubungan apa dia dengan gadis itu? ketika sebuah jawaban hanya bisa sanggup mengatakan, 'Berry bukan siapa-siapa Cherry' dan itu terdengar sangat menyebalkan.

"Kenapa berhenti? Ada apa?" ibu Berry bertanya dan Berry hanya bisa menggeleng. Belum juga mereka melangkah, ayah Berry juga menginterupsi,

"Ayo jalan!" katanya dengan tegas. Sayangnya, seperti sebuah magnet, Cherry tanpa sengaja menatap ke arah Berry dan gerombolannya. Wajahnya terlihat kaget, namun selanjutnya dia melangkah mendekat.

Ada senyum yang diberikan kepada lelaki itu meskipun tak bersambut. "Pagi, Tante!" sapaan itu diberikan lebih dulu kepada ibu Berry. Mengulurkan tangannya dan sedikit menunduk untuk menciumnya, Ibu Berry membalas senyuman gadis itu dan merasa senang dengan keramahan Cherry.

"Pagi." Jawabnya. Namun ada kebingungan yang ditunjukkan oleh mereka semua termasuk ibu Berry. Mereka seolah bertanya siapa gadis itu. Mengerti kebingungan mereka semua, Cherry memperkenalkan diri.

"Saya Cherry, Tante. Saya teman Berry." Dan pertanyaan itu terjawab sudah. Tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang tersemat di dalam otak mereka. "Tante sudah boleh pulang. Semoga Tante bisa segera pulih."

"Terima kasih, Nak," jawabnya, "Lalu, siapa yang sakit?" tanya balik perempuan paruh baya tersebut.

"Tidak ada, Tante. Kebetulan abang saya Koas di sini, dan semalam dia nggak pulang. Jadi saya punya tugas buat antar makanan karena dia nggak mau beli." Cherry terlihat ramah sekali memang. Namun Berry justru tak merubah ekspresinya. Entah apa yang sedang kurang baik di dalam pikirannya.

Arka dan teman lelaki itu ikut mendekati Cherry. Arka juga memberikan senyuman tulus khas seorang dokter. "Ibu sudah boleh pulang?"

"Iya, Dokter." Jawab perempuan paruh baya tersebut.

"Saya berharap Ibu cepat pulih. Jaga pola makan, dan harus disiplin minum obat dan vitaminnya." Saran Arka.

"Tentu, Dokter." Mereka tak lagi basa-basi dan membiarkan gerombolan Berry untuk pergi meninggalkan rumah sakit. Tapi Berry sama sekali tak menunjukkan keramahan yang ditunjukkan oleh lelaki itu kepada Cherry. Cherry tentu bisa merasakan perubahan Berry, tapi dia tak memiliki hak untuk bertanya. Mungkin saja moodnya sedang kurang baik sekarang. Ada ketidaksengajaan yang dilakukan oleh gadis itu. Cherry tak sengaja saling pandang dengan gadis yang bersama dengan Berry. Atau mungkin saja itulah yang membuat Berry berubah.

***

Berry duduk diam di dalam mobil. Dia duduk bersebelahan dengan ibunya di kursi belakang, sedangkan ayahnya duduk di depan bersama dengan supir. Pertemuan Berry dengan Cherry sama sekali tak perna diduga sebelumnya. Meskipun alasan yang diberikan oleh gadis itu tadi entah benar-benar kebenaran atau tidak, tapi jawaban itu sepertinya meyakinkan.

Mengingat semua hal yang terjadi di dalam hidupnya sejak pertemuan dengan Cherry, memang tak ada perubahan signifikan yang terjadi. Tapi ada beberapa hal yang Berry yakini memang ada yang berubah dari dirinya. Dia yang selama hidupnya belum pernah pergi dengan seorang perempuan, dia melakukannya bersama dengan Cherry. Meskipun mereka tidak hanya berdua. Dia yang tidak pernah memikirkan wanita manapun, dia memiliki waktu sedikit waktu untuk mengingat gadis itu.

Dan itu adalah sebuah perubahan yang dirasakan oleh Berry di dalam hidupnya. Bisa saja, memang ini adalah waktu untuk perubahan ini terjadi. Dia tak selamanya hidup sendiri dan terus saja mengabaikan orang-orang disekitarnya. Bisa saja ini adalah cara Tuhan memberikan kehidupan 'baru' agar dia bukan hanya terpatok dengan apa yang dilakukan selama ini.

"Mama kira, ada sesuatu yang terlihat di dalam hubungan kamu dengan gadis tadi, Ber." Ibunya tiba-tiba bersuara dan mengatakan pemikirannya. Membuat lamunan Berry terlepas dan kembali pada kehidupan nyata.

"Maksud Mama?" tanyanya dengan kepala menoleh kepada ibunya.

"Barangkali dia pacar kamu?" sebenarnya itu hanyalah godaan saja. Tapi Berry bukan orang yang mudah mencerna signal candaan. Jadi dia menanggapinya dengan serius.

"Bukan. Dia teman Berry."

"Bagus!" ucap sang ayah masuk di dalam percakapan ibu dan anak itu, "Sepertinya Clara lebih baik buat kamu." Berry tak mengatakan tanggapannya tentang ucapan yang dikatakan oleh ayah Berry kepadanya. Dia sudah menduga ini pasti akan terjadi ketika gadis itu tiba-tiba datang ke rumah sakit. Entah ini nantinya akan menjadikan hubungan mereka akan lebih baik atau justru menjadikan 'pertikaian' ini akan berlanjut.

Sampai rumah, ibu Berry langsung beristirahat. Dia mengatakan agar Berry tetap berada di rumah dan tidak pergi lagi. Berry menyanggupi dan memutuskan untuk menemani wanita itu di dalam kamar. Memastikan ibunya tertidur, Berry keluar kamar. Melarikan pandangannya pada sekeliling rumah, ada rasa rindu yang dirasakan di dalam tempat ini. Bagaimanapun dia sudah lama sekali sejak dia pergi dari rumah. Dia memang tidak merasa jika rumah ini menjadi tempat asing baginya, tapi tentu saja berbeda.

"Mas Berry, ditunggu Bapak di ruang makan." Seorang asisten rumah tangga menghampirinya. Berry hanya mengangguk. Melangkah kesana, dari jauh dia Sudah melihat ayahnya duduk berdua dengan Clara. Melihat dirinya sudah mendekat, dua orang yang tadinya sedang mengobrol, menoleh. Keduanya memberikan sambutan dengan senyum dan Berry hanya mengangguk saja.

"Kita makan dulu. Kamu belum sarapan kan tadi?" pertanyaan ayahnya muncul.

"Iya." Berry menjawab cuek. Ini adalah kecanggungan yang dirasakan oleh Berry dan sang ayah. Salah satu diantara mereka berusaha untuk memperbaiki.

"Hai, Berry!" sapaan dari Clara. Menunggu Berry menyapanya lebih dulu, pasti tidak akan pernah terjadi. Karena terlihat sekali lelaki itu terlihat sangat tak peduli dan juga cuek.

"Hai!" bahkan ketika mengatakan itu saja tidak ada senyum yang diberikan untuk gadis itu. Clara tak menunjukkan rasa kecewanya terhadap apa yang dilakukan oleh Berry kepadanya. Bahkan dia hanya memasang wajah ramahnya dan sama sekali tak terganggu dengan sikap yang Berry berikan kepadanya.

Selama mereka makan, percakapan itu didominasi oleh ayah Berry dan juga Clara. Berry hanya menjadi pihak yang mendengarkan tanpa ikut masuk dalam percakapan tersebut. "Om suka dengan anak-anak muda yang aktif seperti kamu ini, Clara. Meskipun orang tua sudah mencukupi kebutuhan kamu, kamu masih mau untuk berbisnis sendiri."

"Terima kasih, Om. Clara awalnya juga iseng aja sebetulnya. Tapi waktu dapat pendapatan dari jerih payah sendiri, rasanya sangat menyenangkan." Clara tak bisa mendiamkan matanya untuk bisa fokus pada lawan bicaranya, karena sesekali, dia bahkan melirik Berry yang ada di depannya.

*.*