webnovel

Bab 18. Tentang Masalah Berry

"Apa yang kamu dapat dari kekeraskepalaan kamu ini?" tiba-tiba saja ayahnya bertanya, "Kamu hanya perlu pulang dan kembali menjadi anak yang penurut itu akan lebih mudah bukan?" jika ayahnya mengatakan hal yang demikian, kenapa beliau tidak juga mengubah pemikirannya juga? Ada banyak hal yang perlu mereka bicarakan ulang. Tetapi tidak sekarang. Menunggu ibunya benar-benar sembuh itu akan lebih baik.

Membicarakan masalah keluarga ketika salah satu anggota keluarganya sedang terkapar di rumah sakit, bukanlah ide yang baik. Itu akan menjadikan beban lebih bagi ibu Berry dan Berry tidak akan melakukan itu.

"Berry sudah berjuang hidup sendiri di luar sana, Yah. Jadi ada banyak hal yang didapatkan dengan itu. Laki-laki yang gampang menyerah itu menyedihkan, dan aku nggak akan melakukan itu." Berry sudah berjuang sejauh ini. Tidak akan yang bisa membuatnya tunduk kembali.

Ayahnya sepertinya akan berbicara banyak hal. Tapi beliau tak melanjutkannya. Menjaga perasaan istrinya lebih diutamakan. Bagaimanapun, istrinya harus segera sembuh. Masalah putranya, dia akan mengurusnya nanti. Mereka harus benar-benar berbicara berdua untuk menyelesaikannya. Memiliki sifat yang sama-sama keras, memang akan sulit disatukan. Hanya saja, tidak ada yang tidak bisa diselesaikan. Semua masalah pasti akan ada jalan keluarnya. Itu pasti.

Malam ini Berry menginap di rumah sakit untuk menemani ibunya. Seorang asisten rumah tangga dari rumahnya juga sudah ada di sana dan terlihat kaget ketika melihat Berry yang duduk di sofa ketika beliau datang. Perempuan paruh baya tersebut menatap lelaki itu dengan binar cerah di matanya. Ada rasa sayang ditunjukkan oleh beliau dan itu terlihat sangat nyata.

Karena perempuan itu juga tahu bagaimana Berry sejak dia masih sangat muda. Dan kemudian karena sebuah keputusan kecil yang diambilnya dia harus bertengkar dengan sang ayah dan berakhir pergi meniggalkan rumah.

Semua itu masih terngiang di kepala siapapun yang melihat kejadian saat itu. Bahkan Berry sekarang pun juga kembali mengingat kisah itu. Lelaki itu sekarang berada di rooftop rumah sakit dan duduk di tengah-tengah tempat itu sambil menengadah ke langit. Pikirannya melayang pada kejadian dua tahun yang lalu. Di mana awal pertengkaran dengan ayahnya terjadi.

Waktu itu, ketika selesai makan malam. Seperti biasa, mereka berkumpul bersama dan menceritakan tentang apapun kegiatan mereka selama seharian ini. Terkadang suara kekehan ataupun gelak tawa juga terdengar. Mereka terlihat sangat harmonis dan juga saling menyayangi satu sama lain.

"Ayah juga akan mempersiapkan semuanya untuk kamu kuliah di luar negeri. Kamu akan menjadi pengganti ayah yang hebat dan mengalahkan orang-orang itu. Mereka selalu menyombongkan anak-anak mereka dan ayah benci melihatnya." Ada kilatan tak suka yang terlihat di mata lelaki itu. Berry menatap ibunya dan mencoba untuk mencari kekuatan di sana. Menjelaskan keputusannya sekarang adalah hal yang berat. Tapi dia memang harus mengatakan kepada ayahnya.

Dengan sebuah kenekatan yang dimilikinya, dia akhirnya memberikan diri untuk berbicara, "Berry ingin kuliah arsitek, Yah." Senyum lelaki paruh baya itu memudar dan menatap putranya dengan kening mengkerut. Sebuah senyuman dipaksakan untuk membantah apa yang dikatakan oleh Berry. Beliau menganggap putranya itu sedang mengerjainya. Atau sebenarnya dia tahu bahwa Berry sebenarnya sungguh-sungguh mengatakannya?

"Berry serius, Yah." Belum ada sanggahan yang diberikan oleh ayahnya, Berry sudah berbicara lagi, "Berry tahu kalau ayah kecewa dengan keputusan yang Berry ambil, tapi ini adalah keinginan hati Berry. Berry menyukainya, dan Berry akan melakukannya."

"Enggak!" jawaban itu seperti palu hakim yang sudah menetapkan keputusannya. Tatapan lelaki itu bahkan sudah benar-benar tak bersahabat.

"Tapi ini adalah jiwa Berry, Yah. Membuat sebuah karya, itu bagi Berry sangat mengagumkan."

"Ayah tidak setuju." Ucapannya bahkan terdengar dingin. Dan itu membuat suasana seolah membeku.

"Tapi ini adalah bakat yang disukai oleh Berry, Yah. Kenapa Ayah nggak kasih saja dia izin?" ibu Berry mencoba menengahi.

"Lalu kalau dia menjadi arsitek, bagaimana dengan perusahaan kita? Siapa yang akan meneruskan?"

"Berry, Yah. Siapa lagi?"

"Tapi kamu tidak akan mampu memimpin perusahaan dengan latar belakang Pendidikan yang tidak memadai. Harusnya kamu paham."

"Aku mampu, Yah." Keyakinan itu ditunjukkan oleh Berry tapi sang ayah tidak mempercayainya. Berry mencoba untuk meyakinkan ayahnya pun lelaki itu tetap kukuh dengan pendiriannya. Berry harus belajar di luar negeri, dan menjadi hebat dalam hal berbisnis. Sayangnya Berry juga menunjukkan kekeraskepalaannya.

Meskipun malam itu pembahasan masalah tersebut berakhir, tapi di hari-hari yang lain hubungan ayah dan anak itu semakin menunjukkan kerenggangan. Sekeras apapun Berry menjelaskan dan mencoba bernegosiasi dengan sang ayah, lelaki itu tetap kukuh untuk menolak memberikan putranya izin. Dan ada pada titik dimana mereka sama-sama emosi.

Berry yang sudah melakukan banyak tes untuk kuliah beasiswanya, ditambah dengan sang ayah lelah karena proyek yang akan dikerjakannya lepas dari tangannya, bom itu akhirnya meledak. Emosi mereka tak tertahan. Berry diusir dari rumah dengan hanya membawa bekal yang sangat minim. Beberapa potong pakaian, dompet yang kala itu hanya terisi beberapa ratus ribu saja, dan semua yang ayahnya belikan untuknya harus ditinggalkan.

Dan dari sanalah Berry berjuang seorang diri di luar rumah tanpa topangan dari keluarganya. Ada banyak hal yang terjadi, sampai beberapa bulan yang lalu dia sanggup untuk membeli kendaraannya sendiri hasil dari beberapa gambar yang diikutkan proyek kecil-kecilan yang dia temukan di internet.

Berry menggelengkan kepalanya ketika ingatan itu masuk begitu saja di dalam pikirannya. Dia tak bisa melupakan itu. Bahkan orang tuanya tidak pernah tahu jika dia pernah kelaparan karena uang dari hasil kerjanya kecopetan. Tapi tak pernah sekalipun dia menyerah akan hidupnya. Dia sudah memutuskan untuk meninggalkan kemewahan dari orang tuanya, karena itu dia tak akan menyerah hanya karena hal yang seperti itu.

Inilah alasan kenapa hubungan ayah dan anak ini menjadi renggang. Ego mereka masih sama-sama tinggi, dan hal ini yang membuat masalah masih mengendap dan belum terselesaikan.

Jika sudah mengingat masalah pribadinya, Berry pasti akan melupakan semuanya. Hal yang paling menyedihkan adalah ketika kamu memiliki keluarga. Orang tuamu masih lengkap, tapi hubungan kalian tidak sebagus keluarga yang lain.

Semakin lama Berry mengizinkan otaknya untuk mengingat kejadian masa lalunya, membuat Berry akan mengingat kejadian kelam yang dialaminya. Karena itu, dia memutuskan untuk pergi dari sana. Lagipula dia sudah merasa dingin karena angin malam. Membalikkan badannya, dia terkejut karena Arka berdiri di depannya.

"Saya sudah di sini hampir setengah jam yang lalu, tapi kamu tidak menyadarinya." Lelaki itu mendekati Berry dan berdiri tepat di hadapan lelaki itu, "Sepertinya dunia kamu asyik sekali sampai kamu tidak menyadari keberadaan orang lain di sini." Arka masih mengenakan jas putihnya dan terlihat sangat gagah.

*.*