webnovel

03 - Pergi Untuk Kembali?

7 Tahun kemudian~~

Pagi itu udara dingin dan lembab masih sangat terasa akibat hujan yang semalaman terus mengguyur Bandung dan sekitarnya. Winda sendiri saat ini tinggal di daerah pedalaman kota Bandung. Terlihat jelas pemandangan desa kecil ini yang hanya di kelilingi pegunungan dan padi-padi yang mulai berwarna kuning, menandakan sebentar lagi sudah akan memasuki musim panen.

Winda, gadis bertubuh mungil terlihat sedang mengendarai sepeda kesayangannya, gadis itu bersenandung kecil menikmati suasana pagi yang sangat menyejukkan. Ia pun sesekali menegur dengan sangat ramah beberapa petani yang sudah siap melakukan aktivitas mereka di pagi hari.

"Pagi, Paman."

"Pagi, Bik."

"Pagi, teh."

Sapaan-sapaan ramah seperti itulah yang sedari tadi Winda ucapkan. Gadis itu memang tidak pernah lelah untuk menegur semua orang yang ada di desa, senyum indahnya pun tidak pernah lepas dari wajah cantiknya. Winda sangat suka hidupnya saat ini, ia bisa pergi menanam sayuran dan buah-buahan yang ia suka, lalu memasaknya dengan bahan-bahan yang sudah dia tanam sendiri.

Mungkin bagi sebagian orang Winda sangatlah unik, ia bisa saja hidup mewah di kota besar bersama keluarga Ramdan dan pergi belajar ke luar negeri dengan biaya gratis. Tapi menurut Winda itu sama saja dengan ia menyiksa dirinya sendiri.

Menurutnya, hidup dengan keluarga Ramdan sangatlah menyiksa batinnya. Bahkan dulu Winda sangat jarang tersenyum sampai mendapatkan julukan si kaku. Tapi sekarang? ia terlihat sangat bahagia, walau hanya hidup di rumah sederhana dan memakai pakaian sederhana, tapi Winda senang, ia merasa bahwa inilah hidup yang ia inginkan selama ini.

"Pagi, Bik." Winda memarkirkan sepedanya di depan toko kecil yang menjual beberapa keperluan bulanannya.

"Pagi, Neng," Terlihat empat orang wanita paruh baya sedang duduk di depan toko itu sambil berbincang.

Winda hanya tersenyum melihat beberapa wanita tersebut. Lalu ia memutuskan untuk masuk ke dalam toko, tapi langkahnya terhenti saat salah satu dari wanita tadi memanggilnya.

"Win, kemari sebentar sini."

Winda menoleh dan memundurkan langkahnya, lalu berjalan mendekat ke tempat empat wanita tersebut.

"Duduk sini," Pinta salah satu wanita dengan menepuk kursi kosong yang ada di sampingnya, menyuruh Winda untuk segera duduk.

Winda mendudukkan dirinya di kursi tersebut, "Kayanya ada hal penting banget, ya, Teh," Winda berucap sambil tersenyum penuh tanya.

Mendengar ucapan Winda, wanita tadi pun tersenyum dan menatap gadis itu dengan senyuman penuh arti, "Umur kamu udah 25 tahun, kan?"

"Eh?" Winda sedikit terkejut saat mendengar pertanyaan wanita tadi, lalu ia tampak sedikit berpikir sampai akhirnya ia mengangguk pelan.

"Aduhhh..." Empat wanita tadi berucap dengan sangat kompak. Membuat Winda langsung menatap bingung wanita-wanita tersebut.

"Gak baik, Loh perempuan udah umur 25 tapi belum nikah. Kamu gak tau kalau kamu jadi bahan omongan disini?" Ucap salah satu wanita dengan sedikit berbisik di akhir kalimatnya.

Winda hanya menanggapinya dengan tersenyum canggung, ia memang belum memikirkan pernikahan, ataupun ia memang tidak pernah memikirkannya sama sekali selama ini. Padahal ia sudah sering sekali mendengar semua orang membicarakannya disini, mengingat disini adalah desa terpencil. Gadis seusianya mungkin sudah memiliki anak yang akan masuk sekolah taman kanak-kanak.

Entahlah. Yang jelas saat ini Winda benar-benar sudah nyaman dengan kesendiriannya. Ia bahkan dengan tegas menolak siapapun laki-laki di desa ini yang ingin melamarnya. Menurut Winda saat ini perasaannya sudah mati rasa, ia tidak bisa merasakan apa itu cinta dan hal-hal sejenisnya. Lebih tepatnya ia belum menemukan sosok yang tepat untuknya.

****

Beberapa mobil dengan kecepatan tinggi sedang melaju dengan sangat brutal, sesekali terlihat beberapa mobil tersebut saling menyalip untuk berada di posisi terdepan. Malam yang seharusnya dingin, kini berubah menjadi malam yang sangat panas saat melihat mobil-mobil tersebut saling berbalapan dengan sangat liar.

Beberapa wanita seksi juga terlihat hadir disana. Memberikan semangat untuk kekasih mereka yang sedang ikut berkompetensi. Hingga pada satu titik terdengar suara decitan ban mobil terhenti tepat di depan garis final-mobil berwarna merah dengan angka nomor 94 itu pun berada di posisi paling depan. Menandakan bahwa si pemilik adalah pemenangnya malam ini.

Suara sorakan terdengar dengan jelas, ada yang bahagia dan ada juga yang kecewa. Suara sorakan semakin terdengar jelas saat si pemenang turun dari dalam mobilnya. Pria tersebut membuka helm-nya. Dan terlihatlah wajah tampan pria itu, dengan tubuh tinggi dan rambut yang sudah basah akibat peluh keringat.

"Senooo...." Seorang gadis bertubuh sedikit tinggi dengan memakai dres hitam ketat yang membungkus tubuh langsingnya langsung memeluk pria yang memenangkan kompetensi balap liar malam ini.

Dengan senang hati, Seno tersenyum dan menyambut pelukan gadis itu, lalu mengangkatnya sedikit dan memutar tubuh gadis itu yang masih berada di dalam pelukannya. Seno kemudian menurunkan tubuh gadis tersebut dan gadis itu langsung mengecup bibir Seno dengan singkat.

"Selamat sayang," Ucap gadis tersebut.

"Cuma itu doang?" Tanya Seno, membuat gadis tersebut tersenyum kecil melihat pacarnya sekarang sedang mencoba untuk menggodanya.

"Emang kamu mau apa?"

"Mirna, kamu masih nanya aku mau apa?"

Gadis bernama Mirna pun kembali mencium bibir Seno, kini lebih dalam, membuat pria itu harus mengimbangi ciuman Mirna yang sedikit lebih panas. Mereka pun terlarut dalam ciuman itu, tidak peduli dengan semua orang yang saat ini sedang menatap mereka dengan tatapan iri.

Hubungan mereka memang berawal dari perjodohan orang tua mereka. Seno yang langsung tertarik pada kecantikan Mirna, begitupun dengan Mirna, yang langsung tertarik dengan ketampanan Seno. Banyak yang berubah pada diri Seno saat ini. Saat ia pulang dari Amerika dua tahun lalu, Seno justru semakin nakal, pria itu benar-benar telah mengikuti gaya hidup kebarat-baratan. Bisa dilihat dari hobinya yang sekarang, yaitu balap liar, klub malam, bermain taruhan, dan hobi-hobi nakal lainnya.

Kekasihnya, Mirn pun sama saja, gadis itu memang sudah nakal sejak remaja. Bahkan sekarang pun semakin menjadi-jadi. Pakaian yang selalu minim dan ketat, klub malam, belanja berlebihan, pesta, hanya hal-hal seperti itu yang selama ini ia kerjakan.

Mirna pun tidak segan-segan waktu itu untuk menyusul Seno kuliah di Amerika. Bahkan mereka sudah tinggal bersama saat disana. Bisa dibayangkan betapa intimnya mereka. Seolah-olah memang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi antara satu sama lain.

****

Mirna menatap kecewa pada tomat-tomat yang sudah mulai membusuk yang ia tanam di belakang rumah bibinya.

"Pasti karena malem selalu ujan," Ucapnya sambil memetik tomat busuk tersebut dan memperhatikannya dengan seksama. Uhh seperti ada belatung!

"Aihh kenapa jadi gini?"

Padahal Winda sudah menantikan tomat-tomat tersebut untuk matang dengan sempurna-mengingat gadis itu sangat suka sekali dengan jus tomat. Membeli tomat di pasar memang banyak, tapi menikmati tanaman yang ditanam sendiri, menurut Winda itu lebih menyegarkan.

"Win, ada tamu."

Winda mendengar bibinya—Sutirah sedikit berteriak dari dalam rumah. Gadis itu pun melengkungkan alisnya, ia tampak berpikir sangat keras, "Tamu? Selama tujuh tahun gue disini baru kali ini ada tamu yang nyariin."

Kemudian Winda langsung bergegas untuk membasuh tangannya dengan air yang mengalir di salah satu kran yang ada disana, lalu segera masuk ke dalam rumah untuk melihat siapa tamu yang datang menemuinya.

"Lho, Om Ramdan?"

Winda sangat terkejut saat melihat Ramdan sudah duduk di ruangan tamu rumah bibinya yang kecil itu. Dan apa yang terjadi pada pria tua itu? Kenapa sekarang Ramdan terlihat sangat kurus, rambutnya yang dulu hitam pun sekarang sudah berubah menjadi putih. Bahkan kerutan di wajah pria itu terlihat sangat jelas. Mungin memang Ramdan sudah semakin tua. Tapi jelas terlihat bahwa pria itu sedang sakit dan tidak sehat.

Ramdan tersenyum saat melihat Winda semakin tumbuh dengan sangat cantik, walau sederhana. Aura kecantikan yang ada dalam diri Winda tidak pernah pudar. Baginya, Winda seperti seorang permata yang selama ini bersembunyi. Winda tersadar dari lamunannya dan berjalan ke depan pintu untuk melihat ke arah luar. Gadis itu melihat pak Yanto yang sedang menunggu di teras depan.

Kemudian Winda kembali berbalik dan ikut duduk di ruangan tamu.

"Om, cuma pergi sama pak Yanto?"

"Iya Nak. Sekarang gimana kabar kamu, Win?" Tanya Ramdan tanpa basa-basi.

"Aku baik, Om. Kalau Om gimana kabarnya?" Winda bertanya sambil menatap figur pria tua itu yang terlihat sedang tidak sehat.

Ramdan menggelengkan kepalanya. Winda bisa melihat, jika banyak terpancar aura kesedihan dari mata pria tua itu, "Kanker saya sekarang sudah stadium akhir."

"Om..."Bagaimana pun Winda juga merasakan sedih saat melihat Ramdan benar-benar sangat kacau seperti ini.

"Maaf Nak, saya gak pernah menghubungi kamu selama 7 tahun, jujur saya memang sangat kecewa sama kamu saat itu. Tapi sekarang? Kekhawatiran saya dulu benar-benar terjadi."

Mendengar ucapan Ramdan, membuat Winda sedikit penasaran dengan apa yang terjadi selama 7 tahun terakhir.

Winda menghela napasnya dalam "Sebenarnya selama 7 tahun apa yang terjadi, Om?"

"Tante mu, dia berselingkuh dan kami telah resmi bercerai sejak setahun lalu."

Ramdan tidak bisa menahan air matanya, baginya saat ini hanya Winda seseorang yang mempunyai hati yang tulus, yang mungkin bisa membantunya. Winda pun tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, gadis itu menunduk merasa bersalah karena membuat Ramdan menceritakan masalahnya.

Ah dia lupa. Winda lupa menanyakan kabar Seno, bukankah seharusnya Ramdan tidak seperti ini. Mengingat ia masih mempunyai Seno yang dulu sangat menyayanginya? Dan apakah Seno sudah menikah dengan gadis bernama Mirna itu?

Belum sempat Seungwan ingin menanyakan Seno. Ramdan kembali membuka suaranya, "Win, saya minta tolong. Tolong kamu nikah sama Seno."

Sontak mata Winda langsung terbuka lebar begitu mendengar ucapan Ramdan. Apa? Menikah? Dengan Seno?

Setelah membuat mereka dulu seperti anak kembar, sekarang Ramdan justru ingin Winda menikah dengan Senk?

Tidak! Winda tidak akan pernah mau untuk menikah dengan pria kekanakan seperti Seno.

"Apa maksud, Om? Nikah sama Seno?" Winda tersenyum canggung. Membuat Ramdan langsung mengangguk, lalu pria itu menatap Winda dengan sendu.

"Saya tau ini keterlaluan, tiba-tiba datang menemui kamu untuk minta kamu nikah sama Seno. Tapi saya tidak punya banyak waktu, saya harus membuat Seno berubah karena dia pewaris saya satu-satunya."

Tunggu? Membuat Seno berubah. Tiba-tiba saja saat ini kepala Winda merasa sangat pusing. Apa lagi ini? Kenapa Seno harus berubah?

"Berubah? Maksudnya? Jujur, Winda makin gak ngerti, Om." Ucap Winda dengan raut wajah bingung.

*****

"Maksud, Lo? Gue harus nikah sama Winda?" Tanya Seno pada pengacara ayahnya, Mario Sitompul.

Seno masih berada di atas tempat tidurnya dengan rambut yang masih acak-acakan dan matanya yang menunjukkan kalau ia masih sangat mengantuk. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Seno memang baru pulang dari klub malam pukul 4 pagi tadi.

"Iya, benar." Jawab Mario datar.

Mario kemudian memberikan sebuah amplop besar berwarna coklat pada Seno. Dan dengan sangat cepat Seno langsung mengambilnya.

"Ini apa?" Tanya Seno sambil membuka amplop tersebut.

"Buka aja." Jawab Mario dengan dingin. Sebenarnya Mario sudah sangat malas berurusan dengan putra tunggal Ramdan yang satu ini. Karena menurutnya, Seno sangatlah tidak dewasa dan sangatlah kekanakan. Lihat saja, ia bahkan harus masuk ke dalam kamar Seno dengan menggunakan kunci cadangan.

Begitu membaca isi dalam amplop tersebut. Seno langsung menghempaskan dirinya kembali ke atas tempat tidur.

"Gue bahkan udah lupa sama muka Winda," ucap Seno dengan datar sambil menatap langit-langit.

Mario hanya berdehem melihat Seno saat ini. Dalam hati pria itu, ia sangat senang saat melihat Seno si anak manja merasakan sedikit saja ketakutan.

"Kenapa sih ayah harus mutusin sepihak perjodohan gue sama Mirna? Apa salahnya coba? Dan sekarang malah ngancem kaya gini. Mana mau jodohin gue sama Winda lagi." Ucap Seno kemudian menghela napasnya dengan sangat panjang.

Seno terus berpikir bagaimana bisa ayahnya mengancamnya seperti ini? Dan kenapa ia harus dihilangkan menjadi pewaris tunggal jika tidak menikah dengan Winda. Bahkan saat ini pengacara langsung yang datang untuk menemuinya di dalam kamarnya. Bukan ayahnya sendiri yang mengatakannya.

Lalu bagaimana hubungannya dengan Mirna? Hanya karena mereka ketahuan tinggal bersama selama di Amerika, Ramdan langsung membatalkan kerja sama antara perusahaan ayahnya Mirna dan perjodohan ini.

"Mario, gimana kalau gue gak mau nikah sama si Winda? Bisa aja gue nolak 'kan?" Seno langsung bangkit untuk duduk dan bertanya pada Mario dengan sangat antusias.

"Ehmmm." Mario tampak sedikit berpikir dengan ekspresi dibuat-buat. Padahal Seno sudah sangat serius untuk mendengar kan penuturan pengacara itu.

Mario kemudian melihat Seno yang sudah seperti orang bodoh, "Yaa, Lo bakal langsung jatuh miskin. Pak Ramdan bahkan langsung hapus nama Lo dari kartu keluarganya. Jadi otomatis Lo bakal jatuh miskin, sih. Lebih tepatnya Lo bakal jadi gelandangan."

Gelandangan? Tidak! Seno masih waras, ia tidak mau menjadi gelandangan. Apa kata teman-temannya nanti?

Lalu bagaimana dengan Winda? Pasti gadis itu langsung memutuskan hubungan mereka.

Seorang Seni Susilo Admaja. Pewaris tunggal Travel Food? Menjadi gelandangan? Oh tidak, itu tidak boleh terjadi!!

"Gak. Gue gak mau jadi miskin," Seno berucap sambil menggelengkan kepalanya.

...

TBC