Gubraak!
Erlangga terjatuh dari tempat tidurnya ke lantai yang terasa dingin. Badan dan kepalanya terbentur lantai. Barulah dia terpaksa membuka matanya.
Wajahnya menampakkan ekspresi sakit yang tiada kira.Kepalanya benjol. Dan punggung pun terasa sakit.
Ngapain sih gue harus pake jatuh segala, gerutunya dalam hati.
Erlangga melihat jam dinding. Sudah jam 6 lebih.
Whaaat?
No! No! Gue telat. Mampus dah!
Erlangga bangkit dan segera berlari ke kamar mandi. Dia putuskan hanya cuci muka dan sikat gigi saja.kalau dia mandi pasti akan jauh lebih lama lagi.
Dari kamar mandi dia gerak cepat. Dia ambil kemeja lengan pendek sekenanya dan celana katun.
Dia pikir. Kalau ngaji lebih baik pakai katun, pakai jeans nanti disemprot Rendra.
Rendra, gue dateng, gue tepatin janji gue. Tunggu gue!
Erlangga setengah berlari dari kamar menuju garasi.
"Sayang, kamu kayak dikejar-kejar setan. ayo sarapan dulu," kata Bu Rima dari meja makan. Dia duduk di samping suaminya, Pak Wijaya.
Erlangga tak pedulikan teriakan mamanya yang ngajak sarapan.
"Emang, lagi dikejar setan, Ma," jawab Erlangga. Si Rendra, gumam hatinya.
"Ayo sarapan dulu!" ajak Pak Wijaya.
"Ogah!"
"Kenapa sih, kalian kok nggak bangunin aku?" Suara erlangga meninggi.
"Lha, bukannya kamu kalau dibangunin pagi-pagi kamu nggak mau. Aneh sekarang kok marah-marah nggak dibangunin!" cerocos Bu Rima.
Erlangga tak bisa mengelak. Memang benar jika dibangunkan pagi-pagi dia suka marah.
"Kamu pagi ini benar-benar aneh!" Pak Wijaya geleng-geleng kepala.
"Sudah ah, jangan diteruskan. Males banget. Aku cabut!"
Erlangga meninggalkan kedua orang tuanya yang masih menggeleng-gelengkan kepala karena keheranan dengan tingkah anaknya.
Begitu tiba di garasi, dia menyalakan starter mogenya dan meluncur. Seperti biasa dengan kecepatan persis saat balapan.
Suara raungan mogenya terdengar keras hingga Pak Wijaya dan Istrinya menutup kedua telinganya.
"Ma, kenapa sih anakmu pagi-pagi begini sudah marah marah?!"
"Tahu ah Pa, makin hari makin susah aja tuh ngurus anak. Harusnya udah gede gitu bikin mama tenang, eh tetap aja Mama nggak tenang."
Sementara itu sepanjang perjalanan, hati Erlangga dipenuhi dengan kekalutan. Suara mesin mogenya meraung-raung membelah jalanan. Dia pun tidak terlalu kesulitan menemukan Masjid Ad-Dakwah berkat bantuan Google Maps.
Hanya perlu waktu kurang lebih setengah jam, akhirnya Erlangga sudah sampai. Setelah memarkir motornya dia setengah berlari menuju ruangan masjid utama. Dia celingak-celinguk mencari keberadaan Rendra.
Di masjid itu tampak beberapa orang. Ada yang sedang mengaji, dan ada pula yang sedang membaca Al-Qur'an.
Rendra, lu di mana?
Gue dateng, gue penuhi janji, Gue. Demi cinta gue. Demi Tania!
Erlangga mengedarkan pandangannya ke segala penjuru masjid yang sangat luas itu. Dia berharap Rendra ada di salah satu pojokan masjid. Nihil. Tidak ada sosok yang dia cari.
Oh mungkin di lantai dua. Lu mungkin di sana. Lu jangan ngumpet Rendra. Gue males banget kalau harus main petak umpet sama lu.
Erlangga pun mengikuti kata hatinya, Dia menggerakkan kedua kakinya untuk melangkah menuju ke lantai dua. Perlu beberapa saat dia habiskan waktu untuk meniti anak tangga menuju lantai dua.
Begitu dirinya tiba di lantai dua, harapannya kembali kandas. Jika di lantai satu masih ada beberapa orang yang beraktivitas, sebaliknya di lantai dua, sama sekali tidak ada seorang pun yang Erlangga temukan di sana. Dia hanya melihat pemandangan karpet hijau yang bersih dan deretan Al-Qur'an yang terpajang di rak yang agak panjang di dua sudut yang saling berseberangan.
Erlangga menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dahinya mengerut tegang.
Gue harus gimana lagi, Lu ke mana Rendra?
Rendra akhirnya kembali ke lantai satu dengan lunglai. Semangatnya sirna.
Eh, tunggu … tunggu. Gue kok kayak kenal tuh orang!
Erlangga mengamati lelaki itu lekat-lekat. Ketika kakinya kembali menjejak di lantai satu, dia melihat seorang lelaki yang melangkah ke luar masjid. Rendra masih ingat lelaki itu sebelumnya sedang shalat. Dan Erlangga sebelumnya hanya melihat punggungnya.
Lelaki itu mengenakan celana berwarna abu dengan atasan kemeja koko berwarna putih yang terlihat stylish.
"Hei, tunggu!" ucap Erlangga agak kencang sembari setengah berlari mengejar lelaki itu.
Lelaki itu sama sekali tak menghiraukan suara Erlangga. Mungkin dia tak mendengarnya.
Erlangga berlari cepat lagi, hingga akhirnya dia berhasil menepuk pundak lelaki itu.
"Tunggu!"
Lelaki itu berbalik. Wajahnya tampak kaget lantaran tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundaknya.
Erlangga kini berhadapan dengan lelaki yang mengenakan kaca mata itu.
"Ka … kamu …"
"Kamu …"
Kalimat itu terucap berbarengan dari mulut Erlangga dan lelaki berkacamata yang ternyata adalah Kevin, sang dosen muda bertalenta.
"Ada urusan apa kamu di sini? Kamu mau bikin gara-gara lagi, Angga?!" ucap Kevin dengan nada tak suka dan wajah yang ketus.
"Buat apa gue bikin gara-gara di sini? Sorry gue cuma mau tanya, kali aja lu tahu?"
"Sorry, gue masih banyak urusan. Lu mau apa? Nggak usah basa-basi. Langsung aja?" balas Kevin dengan cepat.
"Tadi lu lihat Rendra ke sini?"
Entah kenapa saat pertanyaan itu terdengar dada Kevin tiba-tiba jadi sesak. Apakah dia dan Erlangga memang ditakdirkan jadi rival sejak dulu untuk mendapatkan hati Tania?
Namun setelah Kevin memilih hijrah lebih dulu dari Tania, dia sudah mengikhlaskan semuanya? Dia lebih memilih kalah di hadapan Erlangga dan menang di hadapan Tuhannya.
"Iya. Tadi dia ke sini. Dia juga bilang mau ada janjian sama Lu? Tapi lu nggak dateng-dateng."
"Serius? Terus dia bilang apa lagi?"
"Gue dan Rendra memang rutin ngadain kajian membina beberapa kelompok remaja dan mahasiswa di sini. Rendra bilang, elu sebenarnya mesti gabung ke kelompok kajian yang gue pegang soalnya di kelompok yang Rendra pegang, nggak ada kelompok baru."
"Apa lu bilang, gue harus ikut ngaji sama kelompok lu? Nggak salah tuh? Lu jangan ngarang deh!"
Dada Erlangga sangat sesak. Dia merasa tidak rela dengan apa yang barusan dikatakan Kevin. Masa iya, dia harus ngaji sama Kevin. Semenjak bertemu pertama kali aja dengan Kevin, Erlangga sama sekali nggak suka.
"Ya udah, terserah lu. Lu kan tadi tanya, gue jawab. Lu mau percaya atau enggak terserah lu."
Kevin memandang tajam Erlangga. Rasa kesal sejak pertama kali bertemu dengan Erlangga belum juga hilang dari dadanya. Dia pun membetulkan kacamatanya dan segera berbalik arah melanjutkan langkahnya.
"Sorry, gue harus pergi. Assalamualaikum," Kevin berlalu.
Sementara Erlangga mematung, sangat persis maneken. Mulutnya tertutup rapat, sama sekali tak ada keinginan untuk membalas salam Kevin.
Dari kejauhan, Erlangga masih bisa melihat Kevin yang pergi dari pelataran Masjid Ad-Dakwah dengan mengendarai motor Nmax berwarna silver berpadu hitam.
Merasa kakinya pegal, Erlangga memilih duduk. Dia menjatuhkan pantatnya di karpet hijau beludru.
Duuuh, kok bisa gini jadinya? Gue harus gimana ini?
Merasa pikirannya kosong, Erlangga mencoba membuka hapenya. Dia membuka aplikasi WhatsApp. Sejak bangun, dia sama sekali belum membukanya. Ternyata ada pesan Rendra yang belum terbaca.
Di pesannya itu ternyata Rendra mengirimkan share loc sejak pukul 4 pagi. Dia juga sudah menghubungi kurang lebih 10 kali.
Kamu gagal memenuhi janjimu. Sudah cukup ya. Kamu tidak pantas untuk Adikku. Mulai saat ini, jangan ganggu lagi dia. Kalau masih mengganggunya, kamu akan berhadapan langsung denganku.
Itulah pesan terakhir Rendra. Membacanya membuat dada Erlangga bergemuruh.
Erlangga segera bangkit. Dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Dia berlari ke parkiran dan melajukan mogenya.