Semua orang di dalam rumah besar itu sibuk menyiapkan barang bawaan mereka. Suara bising terdengar dengan jelas di atas, tepat pada lantai dua di rumah itu. Sesuatu mungkin terjadi, gadis dengan surai panjang berwarna cokelat itu berlari menaiki tangga. Berjalan dengan lamban menuju kamar paling ujung yang tak pernah ada orang menempati. Katanya sangat sunyi, tidak ada kehidupan dengan udara yang terasa pengap.
Gadis itu mencoba untuk memberanikan diri ketika sampai di depan pintu. Suara itu semakin jelas, seperti seseorang sedang memasukan semua barangnya di dalam kotak yang memiliki banyak barang.
Tangan kanannya mulai terulur, memutar gagang pintu secara perlahan, tapi sesuatu membuatnya terkejut. Pintunya terbuka, menampakan cowok tinggi dengan rambut yang cukup berantakan sedang menatapnya datar.
"Ngapain Ven?" tanyanya.
Venus tersenyum tipis, mendorong Naratama - kakak keduanya dengan kasar kemudian masuk ke dalam. Dia terkejut dengan penampakan ruangan ini yang begitu berantakan. Ada banyak mainan yang dia lihat, koleksi mainan yang katanya edisi terbatas itu terpajang di setiap etalase. Venus semakin tak mengerti, sepertinya dia di permainkan sekarang.
Menoleh ke belakang dengan kening yang bertaut dalam, "Lo bohong ya soal kamar ini yang katanya angker?"
"Ahahah! Lo percaya? Gila, kenapa harus percaya sama gue sih? Ya kali ada setan, setan itu gak ada Ven!" sahut Naratama dengan wajah yang menyebalkan.
Rasanya Venus ingin memukul wajah kakaknya yang satu ini, dia lebih suka Edgar ketimbang Naratama. Akan tetapi, yang lebih dekat dengannya hanya Naratama. Edgar - kakak tertuanya begitu sibuk dengan pekerjaan sementara Naratama yang masih duduk di bangku SMA selalu memiliki banyak waktu untuk pergi dengan Venus.
Mereka sering menghabiskan waktu untuk makan di luar, atau mungkin minum kopi di salah satu kafe langganan Naratama sambil bercerita tentang hari-hari yang menyebalkan di sekolahnya.
Venus menggelengkan kepalanya, sekesal apa pun dia pada Naratama akan tetap menyayangi cowok itu. Entah mengapa, mungkin karena mereka saudara. Atau mungkin karena tak ada lagi orang yang bisa dia ajak mengobrol kecuali Naratama.
"Tempat ini lo jadiin kamar?" tanya Venus.
"Engga, gue jadiin tempat simpen barang aja sih. Di kamar udah penuh." Cowok itu duduk di tepi kasur, memperhatikan pemandangan dari jendela yang cukup besar di belakangnya, "Tempat ini bagus kalau sore, senjanya cantik."
"Balkon kamar gue juga bisa liat senja."
"Iya, tapi beda aja sih vibe nya kalau liat di sini."
"Gue masih gak paham deh." Venus bersandar pada meja belajar yang tidak di gunakan, kedua tangannya dia lipat di depan dada sekarang sambil menatap Naratama kesal, "Lo kenapa sih bohong kaya gitu? Jujurly gue jadinya tuh gak berani ke sini."
"Ehehe! Ya gimana ya? Kalau lo tau tempat ini bagus pasti bakalan rebutan sama gue, lo kan tau gue butuh tempat yang gede."
"Makanya jual itu barang!"
"Idih! Ogah, barang mahal di jual. Lo tau gak kalau dari semua barang ini tuh limited edition? Ada yang cuman satu di dunia, ada yang cuman empat atau lima. Harganya mahal, gue harus nemuin pundi-pundi rupiah pake cara minta ke nyokap, nabung, jual barang, jual jasa, banyak tau sejarahnya buat dapetin mereka semua."
Venus kembali menggelengkan kepalanya semakin tak percaya dengan cerita itu. Naratama terlalu ambisius untuk sesuatu yang dia inginkan, Venus harap hanya ini hal gila yang dia lakukan, "Semua mainan lo ini bakalan lo bawa juga ke rumah baru?"
"Yoi, ya kali gak di bawa."
"Astaga! Udah siang anjir, buruan masukin ke kotak terus ke bawah!"
"Bantuin dong!"
"Ogah! Kerjaan gue masih banyak, bye!"
****
Jalan yang cukup besar dan sangat tidak halus itu membuat mobil tak bisa bergerak dengan cepat. Banyaknya lobang, dan batu menjadi faktor utamanya. Jalan ini belum di perbaiki, tapi jika di lihat kondisinya pun masih belum pernah mendapatkan sentuhan dari yang namanya aspal.
Gadis cantik itu melihat-lihat jalanan di sampingnya. Berbagai macam pohon dia lewati, ada pula rumah penduduk dengan jarak yang cukup jauh, Kira-kira dua sampai tiga meter untuk rumah yang terlihat. Dia merasa aneh dengan penduduk di sini yang tidak mau bertetangga dengan jarak yang dekat, Masing-masing rumah dekat dengan kebun yang memiliki banyak pohon tinggi.
Gadis itu terus memperhatikan, tak mau melihat ke arah lain. Namun, sesuatu membuatnya mengernyit, tatapannya penuh dengan keterkejutan karena melihat kuburan yang begitu luas tak terawat. Begitu banyak batu nisan yang hampir tak terlihat, sepertinya akan sulit untuk mengenali setiap orang yang di kubur di sana.
"Sampai!" ucap pria paruh baya itu dengan senyum yang begitu lebar.
Mobilnya berhenti, dan Venus keluar dengan kening bertaut dalam. Memperhatikan rumah besar, tapi tidak memiliki dua lantai. Begitu besar, terbuat dari batu bata dengan genteng merah. Rumah orang tua jaman dulu, suasananya pun bisa Venus rasakan sangat berbeda.
Halamannya cukup luas, mobilnya mampu terparkir dengan aman, dan dia bisa bermain juga di sekitar sini. Ada bunga mawar merah yang nampak tak terawat, tapi hidup dengan subuh. Durinya ada di mana-mana dengan semak belukar penuh duri di samping kanan, dan kiri pagar bambu setinggi pinggang Venus.
Satu per satu anggota keluarganya masuk, tapi Venus masih di tempatnya. Terpaku dengan rumah yang memiliki keanehan ini, tapi rasa penasarannya membuat keanehan itu menghilang. Gadis itu mengambil langkah maju, memperhatikan pemandangan sepanjang jalan dengan wajah yang begitu terkejut.
Kaki jenjangnya itu membawanya menuju sebuah ruangan tua, terlihat begitu kotor dengan debu yang ada di mana-mana. Foto anggota keluarganya terpajang di dinding, foto kakek, dan neneknya, bahkan ada foto yang tak dia kenal juga. Venus menelan salivah sebelum akhirnya melenggang pergi, kali ini dapur menjadi tujuannya.
"Hah! Kok? Ini namanya dapur?" ucap Venus dengan kening bertaut dalam, langkahnya terhenti diambang pintu dapur.
"Namanya juga rumah lawas, peninggalan kakek sama nenek," sahut Indira - mama Venus setelah keluar dari bilik toilet yang hanya memiliki kain sebagai pengganti pintu, "Oh iya, mama sama papa masih belum beli sanyo, jadi sementara ini kita nimba dulu ya sebelum sama sesudah mandi!"
Venus menatap ibunya tak percaya, dia masuk dengan tergesa-gesa. Memperhatikan semua yang ada di dalam dapur dengan wajah tak percaya. Dindingnya dari triplek, dan anyaman bambu, sumur yang cukup besar ada di sebelah kanan, dekat dengan toilet. Memasak pun masih menggunakan tungku, sayangnya tidak ada kayu bakar di dalam dapur.
"Terus kita masaknya gimana?" tanya Venus yang semakin tak percaya.
"Hari ini beli, mama kan bawa kompor sayang. Jadi kita pakai kompor gas, semua yang ada di rumah lama kan di bawa ke sini. Kenapa harus nanya?"
Venus bernapas lega, dia pikir akan hidup seperti di jaman dulu yang harus mencari kayu bakar sebelum memasak.