webnovel

GERBANG AWAL

Dunia kini sudah hancur. degradasi berpikir manusia sangat terasa faktanya. Agresi militer sudah berhenti satu dekade lalu, semua negara dalam tahap perbaikan. di luar itu kontribusi negara terhadap tatanan masyarakat tidak diperhatikan dan imbas dari Peperangan mempengaruhi semua aspek kehidupan. klasifikasi masyarakat menjait peristiwa yang di luar nalar. krisis sandang-pangan membuat manusia akhirnya memakan sesama agar bisa bertahan hidup di alam bumi. penjarahan, subversif, kudeta masyarakat ke pemerintah menjadi momok menakutkan bagi anak-anak yang sedang bertumbuh, mereka menyaksikan kekerasan setiap harinya. ada sebuah ramalan yang menyatakan bahwa di masa depan yang tengah kacau balau akan ada ratu adil datang. menyelamatkan kesesatan dan kesengsaraan manusia dengan cara yang abstrak. dharma seorang anak yang diwarisi kekuatan oleh para leluhur untuk memperbaiki dan mempertahankan umat manusia dari kepunahan. seorang anak dengan tidak sengaja membuka portal dimensi lain menggunakan gelombang otak. ditengah kekacauan ia menambahkan beban pikiran manusia untuk terus bertahan dari berbagai ancaman dan ditambah makhluk luar dimensi yang akan memporak porandakan alam bumi. malam mencekam melantunkan ritme KARINDING menghiasi pendengaran jiwa seolah alat musik ini membawa spirit yang membara terhadap keberadaan dimensi luar. "tidakkah mungkin seorang manusia bisa menelaah metafisika dalam kacamata Buhun(dulu)" Tanya seorang guru. ramuan jahat telah dibuat untuk merusak para petarung agar tidak bisa berubah ke dalam mode Jirah, tidak semua manusia ingin menumpas musuh ada juga manusia yang memanfaatkan kejadian ini untuk kepentingan pribadi dan bekerjasama dengan mahluk lintas dimensi agar dirinya dapat disembah dan diagungkan. persoalan semakin menambah beban pikiran manusia semakin kacau, pola pikir mereka sedikit demi sedikit rusak dan mudah terhasut oleh musuh sehingga alam bumi diperiksakan kacau balau nantinya. namun petualangan akan tetap dihadapi para petarung dengan backing Karuhun(leluhur) yang turun kembali ke masa sekarang.

AGNI_UBED · Fantasi
Peringkat tidak cukup
5 Chs

DIMAKAN ATAU BERTAHAN

Aku di mana?" derasnya hujan membasahi bumi Pertiwi dengan diikatnya panca dan dharma di tiang bambu licin yang terbalut rasa penyesalan korban terdahulu. Di bawahnya dipenuhi puluhan suluh untuk membakar secara hidup-hidup mereka.

Gelagar suara bersorak serai gembira, hasil tangkapan mereka utuh terbelit di tiang bambu yang terlumuri kekecewaan dan juga darah kering penuh rasa kelaparan. Gulungan asap membara menutupi semarak angkasa di kala hujan mulai berhenti menurunkan sedikit Rahmat dan merangkul jiwa-jiwa suci yang tengah terikat. Percikan api dikobarkan, hawa panas mengintari raga dharma dan panca. Setetes demi setetes air mata keduanya jatuh tak terhentikan. Mengguyur semua harapan yang seolah sirna terbawa angin dingin membekukan aliran listrik di otak dan juga senantiasa masuk ke dalam Sukma.

Sengatan matahari memberikan suatu proses penghangatan tapi tak' akan pernah mendahului malam. Sande kala memposisikan acuan waktu ritual yang akan mereka rayakan. Seruan tari menyokong perayaan meriah. Yel-yel dikumandangkan atas ucap syukur mereka telah mendapatkan sasaran yang telah dinantikan.

"Tangis panca memuncak kala itu," seorang bocah jauh diseusianya mendapatkan pengalaman buruk tentang hidup meratapi takdir yang di luar nalar umurnya. Dharma bergumam pasrah dan hanya tertunduk murung ketika hidupnya akan berakhir malam ini. Walau tidak dipungkiri ia juga berderai air mata sejak awal bangkit dari pingsannya.

Kegemparan tiada akhir ketika kakak beradik mulai merasakan sakit di area pergelangan pasalnya ikatan keras dari rotan memutar dan menghentikan peredaran darah mereka. Seperti seekor ular sanca yang berupaya melilit mangsa.

Salah seorang pemimpin kelompok mulai berteriak kencang meminta semua anggotanya melingkar mengintari daging segar yang akan mereka makan nantinya.

"Rakumam takhu. Rakihing raksu." Ucapan mantra pembukaan upacara di mulai yang dilantunkan ketua kanibal. Dibarengi sikap sepasang tangan yang sejajar vertikal dengan cakrawala.

"Kita tamat dek," kata terakhir dharma untuk adiknya yang meringkus senyuman ikhlas penuh penyerahan. Belum Pernah panca melihat senyuman kakaknya seaneh ini, lantas ia yang umurnya di bawah panca seharusnya lebih panik dan pasrah malah berbalik memarahi kakaknya dengan nada keras. "AYA HIJI MANGSA SIA KUDU AJEG. CICING CILAKA MUNDUR NARAKA."

Lantas dharma mengkerut jidatnya, terdayuh menyangka bahwa adiknya bisa bersemangat seperti ini sekaligus merasa aneh dan terjengkal dengan pernyataan panca. Serentak mata panca berubah putih seutuhnya, tak ada bola mata yang hitam di antar kelopak matanya. Timbul urat-urat dan saraf yang memaksa keluar menggeliat seperti cacing yang baru naik ke permukaan tanah dari keningnya, terus-menerus memandangi wajah dharma sendari tadi tatkala ia terus saja tertunduk pasrah. Seperti ada sesuatu hal yang terselip dalam pernyataan tadi. Namun sepertinya dharma masih bergeming bingung dengan kejadian aneh barusan.

"Sutyana agimana katuro ritni," pemimpin melanjutkan membaca mantra sambil berjalan maju membawa obor ke arah dharma. Di setiap langkah itu membekas sebuah tapak kaki yang akan menjadi bukti sejarah terbakarnya dharma dan panca.

Dharma dengan sigap berpikir keras bagaimana caranya agar dia bisa selamat dari ritual jahanam ini. Secercah harapan datang, jejak pengetahuan masuk merangkap dalam ingatannya, dia teringat tentang sesuatu teknik perang bala tempur Sunda. Yang sempat ia baca kala itu.

Dua belas tahun yang lalu ayahnya pernah menyuruh dharma membaca kitab "ratuning bala sarewu". Gemericik hujan yang disertai petir berkumandang di bulan Juni pertengahan tahun, hari itu dharma sedang libur sekolah dan memutuskan untuk diam di rumah seharian ditambah cuacanya yang tidak memungkinkan untuk dirinya pergi main keluar, dengan terpaksa ia harus terbengkalai dalam kebosanan di atas ranjang memandangi jendela kamar yang tirainya terbuka lebar.

"TOKTOKTOK," Suara ketukan pintu terdengar nyaring. Di baliknya ada ayah yang sedang membawa kitab. Kitab tersebut digariskan secara turun temurun dalam keluarganya, kelak setiap anggota keluarga dan itu adalah seorang pria wajib membaca buku itu.

Setelah mengetuk sebanyak tiga kali, ayah langsung membuka pintu, dalam sedut pandangan dharma terlihat sekotak benda yang dibawanya. "Maap ayah langsung buka pintu, takutnya kamu lagi tidur, nanti kebangun kalo lagi tidur," ucap ayah menyapa hangat dalam senyuman manisnya, ia berjalan menghampiri dharma.

"Gapapa ko yah, santai aja. Ini juga lagi diem gatau mau ngapain," jawab dharma membalas senyuman ayahnya.

"Ayah bawa buku nih, bagus buat kamu baca. Judulnya ratuning bala sarewu."

Menyodorkan buku itu ke hadapan dharma.

Darma memegang pelan buku tersebut, sambil kebingungan lalu bertanya. "Ratuning bala sarewu tuh buku apaan yah?"

"Buku ini ngejelasin bagaimana taktik perang Sunda dahulu, jadi kamu baca yah," jawab ayah.

"Ngapain baca buku taktik perang. Kita kan lagi ga berperang," ucap dharma dengan tetap mengambil buku itu.

"Walaupun ga berperang, kamu harus tetep baca buku ini. Kakek kamu juga dulu nyuruh ayah baca buku ini, jadi baca buku ini kaya tradisi di keluarga kita. Jadi kamu harus baca yah," ayah meyakinkan dharma bahwa buku itu diturunkan terus dari leluhurnya. Seusai bicara dan menyakinkan dharma, ayah langsung keluar tanpa berbicara lagi.

Akhirnya dharma membaca secuil pengetahuan yang ada di dalam buku ratuning bala sarewu. Dia membaca tentang strategi perang yang berjudul "makara bihwa" yaitu suatu strategi berperang yang tidak diharuskan berperang, cara mengelahkan musuh adalah dengan cara menghancurkannya dari dalam.

Terlihat ambigu ketika membacanya sekilas, namun dharma yang pada saat itu masih beranjak remaja tidak terlalu memikirkan apa maksudnya. Dan baru ketika kondisi terdesak disertai umur yang sudah memadai, dharma mulai memahami apa maksud dari kalimat yang tertera dalam buku ratuning bala sarewu.

Obor setengah meter yang bergagang hitam mulai di dekatkan ke bahan bakar perapian. Sudah tidak ada jalan untuk selamat bagi dharma dan panca, kematian sudah menunggu mereka dalam bayang-bayang gigi yang rakus. Namun dharma menyela dengan cepat ketika obor itu sedikit lagi akan menyalakan api.

Panca usai berbicara malah melanjutkan pingsannya. Darah sudah bercucuran, menetes dari tangan yang diikat. Dharma berteriak lantang. "DEWA APA YANG KAU SEMBAH!! HANYA DEWA MURAHAN YANG MAU DIBERKATI DAGING CELENG SEPERTI KITA!" Sontak semua mata tertuju tajam menatap dharma, karena secara tidak langsung ia telah menghina apa yang telah mereka sembah.

Sang pemimpin lantas maju dan menyunutkan bara api ke bagian paha dharma. "AAAA....." Gerantak dharma merasa sangat kesakitan. Celana panjang berbahan kain berwarna hijau tua kini bolong dibuatnya. Hijau kemerahan menutupi sebagian celana dharma. Dharma tetap saja kokoh dalam pendirian mengintimidasi ketua kelompok dengan cemoohan gila dan terkesan merendahkan.

"Lihat ini, dagingmu telah gosong sebagian. Kau membuat ritual aneh yang bahkan belum pernah terjadi di manapun. Kalian mau mengikuti sembah kebodohan yang dibuat dia?" Dharma berbicara dengan air mata yang keluar tanpa henti.

Sedikitnya para pengikut yang tengah mengintari dharma dan panca agak terlihat bingung. Mereka mulai berbisik-bisik dan menengok teman sebayanya.

"Jika kalian lapar, kenapa harus ada ritual. Makan saja langsung!" Lagi dan lagi dharma melontarkan pernyataan kebenaran.