webnovel

Bab 2. Bantar

Sudah biasa aku menikmati sepinya malam, namun malam ini aku hanya bisa merasakan kegelisahannya. Bagiku malam adalah seribu cerita yang jika biasanya orang lain menuang dalam mimpi-mimpi, aku memilih memelihara keterjagaan dan menuang cerita-cerita itu ke dalam kanvas atau di atas kalkir. Selama 9 tahun ini karena pekerjaanku sendiri menuntut selalu melatih keluwesan tangan menggambar sesuatu untuk mata uang, maka aku terbiasa menggunakan kalkir sebagai medianya. Menempa kesabaran melukis dengan garis-garis menjadi rutinitas mengisi setiap malam. Tapi tidak malam ini.

Rengganis istriku. Sudah 6 tahun menikah namun aku belum mengenalnya. Dia serupa Hutan lebat dan gelap yang menyimpan banyak misteri. Semakin menyelami, semakin tersesat dalam kegelapan tak berujung dan membuatku tidak bisa berhenti menyusuri setiap semak hingga rawa berlumpur yang berbahaya. Meskipun sudah banyak tertancap duri, atau terperosok dalam rawa yang lumpurnya mencekik tenggorokanku, aku tidak pernah ingin keluar darinya. Aku sudah tahu, pada akhirnya aku justru tidak akan selamat jika keluar dari kegelapannya.

Namun, hutan gelap itu bukan mimpi burukku. Aku menikmati setiap bahagia atau rasa sakit yang muncul dari dalamnya. Seperti rasa sakit yang menciptakan gelisah malam ini. Sudah hampir menjelang pagi, tidak sedetikpun aku ingin tidur. Sejak kuantar Rengganis siang tadi ke terminal bus menuju kota tua, aku sudah merasakan ada sebagian dari dirinya yang akan pergi malam ini. Bukan! Itu bukan hilang! Hanya akan pergi saja, entah berapa lama namun akan kembali lagi meski hanya sebagian hatinya.

Beberapa hari sebelumnya, kami duduk berdua di depan meja makan yang seringkali kami fungsikan sebagai tempat nongkrong untuk ngobrol sembari menikmati kopi hitam dan berbatang-batang rokok. Banyak sudah gagasan-gagasan kami yang muncul di depan meja kayu jati belanda itu, dari karya hingga pemikiran soal manusia dan alam semesta. Seperti hari itu yang menggebu-gebu dia berbicara tentang genetik manusia unggul.

"Tidak perlu menggenosida manusia dan cacat seperti yang dilakukan Hitler jika ingin memenuhi bumi dengan manusia yang istimewa. Mungkin hanya perlu memperbanyak generasi-generasi dari manusia dengan gen yang memiliki keunggulan di atas manusia rata-rata. Faktanya, genetik itu diturunkan." Katamu waktu itu. Seperti biasanya, jika kau sudah berbicara tentang topik yang seberat itu, aku akan lebih banyak mendengarkan. Bukan karena tidak mampu mengimbangi, namun aku lebih suka menikmati kekagumanku dengan cara bicaramu yang cerdas dan cadas.

"Semakin kesini, semakin banyak ras manusia yang terus berkembang kualitasnya, namun sayang sekali, semua menjadi sia-sia ketika dididik oleh ibu yang sejak awal terbelenggu oleh keadaan yang membodohkan. Generasi-generasi unggul tadi jadi membeku tanpa arti."

Kembali kau hirup asap nikotin perlahan dan dalam, dan kau keluarkan lagi dengan kenikmatan di setiap partikel asapnya. Jika sudah begitu, seperti ada yang membuncah dalam aliran nafasku sebuah gairah untuk mengimbangi cara menikmati sore. Akupun turut menyedot pelan sebatang kretek di antara jepitan tanganku.

"Itulah yang menjadi salah satu alasanku akan menemuinya esok lusa."

Mendadak semangatku luntur. Soreku menjadi impoten. Kretek yang tinggal setengah batang kucecakan ke asbak. Sialan! Umpatku dalam hati. Namun rengganis terlalu cerdas untuk bisa menangkap umpatanku tadi.

"Maafkan Bantar, Aku akan tetap menemuinya. Bukan aku tidak peduli perasanmu. Bukan aku tidak mencintaimu."

"Cinta itu tidak buta." Hanya itu saja kalimatku. Tidak banyak yang bisa kuungkapan meski ada ribuan kata ingin keluar dari mulutku untuk mewakili perasaan dan pikiran yang sedang sarat kekalutan. Aku juga hanya manusia biasa yang mencemburui lelaki lain yang menginginkan milikku. Tidak sadarkah bahwa kamu sudah jadi milikku, Rengganis. Milikku secara sah, baik secara dejure maupun defacto. Namun, aku taksanggup mengeluarkan kenyataan itu berupa kalimat-kalimat, karena jika kupaksakan hanya berakhir menjadi perdebatan semata. Aku tidak mau sore menjadi semakin rusak. Kenyataan tentang sebuah ikatan sudah tampak jelas dalam pandanganmu, bahwa tidak semua hal dari dirimu bisa kumiliki. Dulu, sudah kautegaskan bahwa ada hal-hal yang akan menjadi milikmu sendiri.

"Tadi sudah kukatakan padamu bahwa bukan sekedar cinta alasanku, bantar! Aku tidak perlu mengulang lagi apa yang sudah kubahas tadi, bukan?!"

Rusak sudah. Sore yang kujaga indahnya telah meremah. Tanpa ada penutup apapun, aku mengakhiri dengan bangkit cepat-cepat berjalan menuju ke loteng sebagai studio kecilku dan tempatku menyepikan diri sembari menghabiskan kopi dan berbatang-batang rokok. Kulepas pandangku jauh ke jalan setapak desa yang disekat hamparan ladang tebu. Dari loteng di lantai tiga ini, aku bisa lepas memandang ke arah desa dengan gereja dan lonceng besarnya. Tidak ada yang mampu terpikirkan lagi selain menggugu bisu.

Kesenyapan terus berlangsung hingga esok lusa kemudian di terik siang hari. Tidak bisa kutolak permintaanya untuk mengantar ke terminal bus. Kubonceng dia di sadel belakang motor tua dengan si Bhre anak lelaki kami duduk di depan. Hanya ada suara mesin motor menderu silih berganti dengan angin yang menampar wajah kami. Kebisuan yang tidak mampu kupecahkan sampai kakinya menginjak tangga bus. Di situ baru aku mengucapkan dua kata "hati-hati, ya!" dan suara kecil si Bhre " daaaaa... Biyung, I love you.. muacchhh" ucapnya sembari melambaikan telapak tangan mungilnya. "Daaaa... muacchhh" balasmu kepada anak kita. Hanya itu, dan Bus yang kau tumpangi melaju dengan sombong tanpa punya perasaan terhadap ketidak iklasanku melepasmu. Bus besar itu sama angkuhnya denganmu, namun mengagumkan.

Pukul 23.00 wib, kuberanikan diri menghadapi apa yang terjadi di kota tua itu dengan mengirimmi pesan melalui WA (Whatsapp)

Sudah sampai hotel?

Sudah

Jam berapa nyampai?

05.00

Sekarang lagi apa?

Lagi sama Ken.

Deg!

Seketika tanganku berhenti memencet tuts HP. Gemetar hebat nyaris membuat HPku terlepas. Meskipun dia sudah mengatakan berkali-kali niatnya pergi ke kota itu, namun tetap saja 3 kata dalam pesannya itu mengejutkanku. Kuletakan HP di atas meja kerja, tidak mampu lagi jari mengetikan huruf-huruf. Aku tergugu antara marah, pedih dan tidak berdaya. Pikiranku melayang di masa awal pertemuan kami dulu. Melihatnya dalam pameran buku Nasional di Galeri Buku Oasis. Duduk di belakang meja dengan tumpukan buku di atasnya. Tangan kanannya sibuk membubuhkan tanda tangan pada novel karya terbarunya kemudian memberikan buku tersebut kepada para pembeli sekaligus penggemarnya. Sebenarnya aku tidak begitu hobby membaca novel, apalagi jika itu novel roman. Aku menyukai buku-buku puisi atau sejarah juga biografi. Namun kali ini, aku tergerak mendekat membuka lembaran demi lembaran sampel novelnya. Sudah lembar ke-4 dan aku tidak bisa berhenti. Sadar sedang diawasi perempuan dengan pena yang disentuhkan ke dagunya, aku berhenti. Kemudian mengambil satu novel yang masih terbungkus yang lalu aku buka dan ku buka bagian covernya. Kusodorkan buku tersebut kepadanya.

"Jika boleh, dengan no WA-nya sekalian." Ucapku dengan ekspresi berharap penuh.

"Sendirian?" tanyanya sambil membubuhkan tanda tangan, menuliskan no WA di bawahnya serta beberapa kalimat yang aku tidak bisa membaca apa isi kalimat itu, karena usai menulis dengan cepat dia menutupnya dan menyodorkan lagi padaku.

"Anda belum menjawab pertanyaan saya?"

"oh iya, saya terlalu terpana sehingga tidak fokus. Ha ha ha...." kataku dengan tertawa.

"Saya sendirian, suka mutar-mutar lihat pameran buku seperti ini."lanjutku dengan mencoba memberikan senyum terbaik.

"Sebenarnya saya lebih suka membaca buku kumpulan puisi, tapi, tadi sewaktu sedikit membaca novel ini, saya seperti tidak bisa berhenti. Ini menarik. Sungguh."

"Terima kasih. Anda pelukis atau pemusik?" Saya yakin, pertanyaannya itu demi melihat penampilanku dengan jaket dan celana jeans belel, juga rambutku yang gondrong agak acak-acakan, sepertinya begitu.

"Pelukis." Jawabku singkat. Sebenarnya ingin ngobrol lebih agak lama lagi, namun saat kepalaku menengok ke belakang sudah ada beberapa orang mengantri tanda tangannya.

"oke. Saya permisi dulu, kalau tidak, saya bisa kena lemparan sepatu"

Kau menjawab dengan mengangkat kedua tangan dan tawa renyah. Aku telah jatuh dalam pesonanya. Semua berlanjut dalam pesan-pesan WA dan secangkir kopi serta berbatang-batang rokok, selalu begitu hingga kami menikah.

Hari-hari pertama pernikahan kami, setelah hubungan perkenalan yang singkat hanya 4 bulan saja, kami mulai saling mengenal dunia masing-masing. Ada percecokan, pelukan, canda tawa dan air mata. Ada banyak perbedaan, dia menyukai alam, aku menyukai rumah. Dia menyukai berjam-jam nongkrong di suatu tempat, aku menyukai menongkrong di ruangan sempit di suatu rumah. Dia menyukai kopi pahit, aku menyukai kopi manis. Namun, banyak juga kesamaan kami. Sama-sama menyukai seni lukis, musik rock, buku-buku berat, puisi, makanan pedas dan berbatang-batang rokok. Kami terus bertahan, utamanya aku. Semakin ingin mengenalnya, dia terasa semakin asing. Maka kubiarkan segalanya mengalir, tanpa aku memaksa lagi untuk tahu siapa dia. Hingga suatu hari, ada lelaki itu dalam hubungan kami. Dia menjelma sebagai temanku sekaligus rival. Dan gilanya, Rengganis tidak berbohong soal hubungan masa lalu serta cinta yang masih ada hingga saat ini.

"Dulu, aku meninggalkannya karena dia tidak bisa memastikan hubungan kami. Dia berat kepada gadis yang katanya dia banyak berhutang budi padanya." Begitu penggalan kisah yang kau berikan padaku.

Hari-hari itu mengalir begitu deras. 2 tahun, muncul anak lelaki kita, 3 tahun berlalu hingga 5 tahun kemudian kita bertiga berada pada hubungan cinta yang rumit. Dan di sinilah aku, sendiri dalam kekacauan hingga fajar menjelang. Sesaat aku tidak mampu lagi menahan kantuk, namun hanya terlena 10 menit dan terbangun lagi. Pagi tiba bersamaan dengan teriak si Bhre bangun dari tidurnya. Pikiranku sedikit teralihkan dengan beraktivitas dengan anak lelakiku. Sesekali kulirik ceritamu hari ini setelah tadi malam bersamanya di story WA. Ada fotomu bersama teman kuliahmu sedang nongkrong di resto fastfood. Kututup lagi dengan sedikit kelegaan mesti sekepal batu masih mengganjal dadaku.

Sore harinya, kau kabari sudah hampir sampai ke kota kita. Akupun mengeluarkan motor dan menjemputmu. Setelah beberapa menit berdiri menunggu dengan Bhre kecil, kulihat kakimu turun dari tangga bus. Tidak ada apapun yang bisa kukatakan. Kekacauan membuatku diam. Tubuhmu semakin mendekat dan memeluk anak kita yang pertama kau lakukan. Lalu memeluk tanganku mengajak berjalan.

"Ke Istana Mie dulu ya, aku lapar." Aku mengikuti tanpa daya.

00o00

Setiba di rumah, aku berharap bisa berbicara dengan Rengganis tentang pertemuannya dengan Ken. Banyak yang ingin kutanyakan. Namun Rengganis langsung masuk ke kamar setelah mandi sebentar, dan tertidur seperti orang mati hingga pagi menjelang dan saat hendak berangkat kerja, kulihat Rengganis belum terbangun. Baru sore, sepulang dari kerja kulihat rengganis sudah duduk menikmati teh di meja makan sambil menghisap rokoknya dengan santai. Aku turut duduk di depannya setelah membuat kopiku sendiri. Dalam rencanaku banyak sekali yang ingin obrolkan dengannya, namun entah mengapa bibirku kelu saat kesempatan itu tiba. Malahan aku hanya menjadi pendengar saja saat dia asyik bercerita tentang sahabat kuliahnya dulu yang dia temui saat di kota tua kemarin. Rengganis banyak bercerita masa lalunya dengan teman tersebut, bahwasanya dulu temannya bisa kuliah karena dibiayai oleh bapak angkatnya yang sekaligus menjadi pacar gelapnya yang kemudian menikah setelah bapak angkatnya tersebut bercerai dengan istrinya. Setelah usai dia bercerita bersama usainya sore itu yang beranjak menuju malam, kamipun kembali kepada aktivitas masing-masing. Aku menuju ruang sempitku dan Rengganis melanjutkan istirahatnya di kamar. Lelahnya tidak sembuh-sembuh katanya. Sialan! Umpatku dalam hati, karena kata lelah itu membuat pikiranku banyak prasangka buruk.

Tengah malam, saat tubuh sudah merasa lelah aku beranjak menuju kamar untuk istirahat. Kupikir Rengganis telah tertidur, namun kulihat dia membuka matanya saat aku masuk dan mendadak menubruk tubuhku yang baru saja terbaring di sampingnya. Yang terjadi kemudian, selalu saja aku tidak bisa menolak gairahnya. Tidak pernah bisa.