webnovel

20. Kanvas Putih

"Oooommm!!! Angka delapan gimana nulisnya?"

Reygan hampir menjatuhkan barang-barang di tangannya. Dia terkejut mendapati gadis kecil duduk lesehan di lantai dekat lemari pendingin, tanpa alas. Di depannya ada sebuah buku tulis dan beberapa pensil warna.

Ryan sibuk dengan pelanggan. Tidak sempat menjawab, apalagi kalau harus memberi contoh bentuk angka delapan.

"Ooomm!!!" Gadis itu berteriak lagi. Hanya teriakan biasa, bukan teriakan marah atau siap menangis seperti gadis kecil kebanyakan. Gadis itu hanya sebal pertanyaannya tidak dijawab.

"Bang, anak lo, nih." Reygan berkata spontan. Ya, siapa tahu kan selama ini di balik wajah polos nan baik-baik, Ryan sudah punya anak? Bisa jadi, kan. Siapa yang tahu?

Ryan terusik dengan kalimat itu. "Buset. Gila apa, ya? Gue brojolin sendiri gitu?"

Reygan tidak memperhatikan. Dia sibuk menerima tatapan ingin tahu gadis kecil di hadapannya.

Tidak tega, Reygan mengalah. Dia meletakkan barang-barang di tangannya ke rak makanan terdekat. Lalu dia berjongkok di depan gadis kecil itu.

"Namanya siapa?"

"Andara. Panggil aja gembul!" Ryan usil menyahut. Reygan mengabaikan.

Namun sepertinya gadis kecil ini tidak keberatan dipanggl seperti itu. Mungkin dia menganggap itu panggil sayang Ryan kepadanya.

Tubuhnya tidak gempal. Sama seperti anak seusianya. Hanya saja kedua pipinya tembam. Reygan menahan diri sejak tadi untuk tidak mencubit pipinya. Rambut yang dikucir dua membuatnya semakin menggemaskan.

"Mas ajarin nulis angka, mau? Tapi nggak di sini. Kita duduk di sana."

Andara mengangguk senang. Sama sekali tidak ragu. Padahal Reygan belum memperkenalkan diri. Apalagi mereka baru bertemu pertama kali.

Reygan membantu membawakan pensil warna yang berceceran. Gadis itu melangkah riang ke bangku dekat dinding. Tempat biasa Reygan menghabiskan waktu untuk melamun.

"Lo kasih apa dia nurut sama lo?" Reygan sedang membantu Andara duduk di kursi tinggi, ketika Ryan berseru.

"Lo kok nggak bilang-bilang kalau udah punya anak, Bang?"

Entah sejak kapan Reygan menjadi bebal. "Astaga! Harus berapa kali gue bilang Dara bukan anak gue? Dia aja panggil gue Om, kok."

Andara tidak terganggu. Dia membuka bukunya. Reygan memberi contoh angka, kemudian Andara akan menuliskan ulang di bawahnya.

Ryan tidak mengganggu lagi. Dia sibuk di meja kasir, sepertinya menghitung barang masuk tadi pagi. Entah sampai kapan Ryan menghandle minimarket sendiri, dan tidak mencari pegawai.

Selesai menulis angka hingga sepuluh. Reygan iseng membuka lembar kosong selanjutnya dan membentuk pola di sana. Tangannya menggores dengan cekatan. Andara diam memperhatikan. Dari mata bulanta, dia memandang takjub.

Reygan sengaja menutupi dengan satu tangannya ketika gambar itu nyaris rampung. Dan ... "Tadaaa!!"

Buku itu terancung di depan Andara. Butuh waktu satu menit bagi gadis itu untuk mencerna bentuk gambar itu.

"Om Ryaannn!"

Nahloh.

"Om Ryaaann!!"

Reygan mulai panik. Dia jadi curiga. Sejak awal anak ini tidak takut padanya--yang notabene orang asing bagi anak seumuran dia. Jangan-jangan baru sekarang dia menyadari jika sudah duduk dan diajari menulis angka oleh orang asing?

Ryan mendekat. Mencubit kedua pipi Andara dengan gemas.

"Nggak gue apa-apain, Bang. Sumpah. Dara teriak sendiri."

"Kenapa, Mbul?" tanyanya serius.

"Gambarnya bagus. Dara suka," adunya.

"Lo gambar apaan buat dia?" Reygan menyerahkan buku di tangannya. Dengan polos dia menjawab. "Gambar muka Dara."

"Dasar! Gue kira apaan." Barulah ketika Ryan melihatnya dengan seksama, dia menganga lebar. Menatap buku di tangannya dan Reygan bergantian. "Sejak kapan lo pinter gambar?"

Andara mendongak, tangannya ingin merebut buku itu dari Ryan. Tapi Ryan tidak memberikan.

"Bukan pinter. Cuma bisa," sangkalnya.

Buku di tangan Ryan sudah berhasil direbut Dara.

"Eh, sana pulang. Gue udah selesai ngerekap barang masuk. Makasih udah jagain Dara."

"Mas Reygan mau ke mana?" rajuknya.

Tapi Reygan sudah menyandang tas punggungnya.

"Pulang, Mbul. Besok ketemu lagi. Mas Reygan sering mampir ke sini."

Meski kecewa, Dara melambaikan tangannya melepas kepulangan Reygan.

"Anaknya kakak gue, Rey. Tadi nggak mau ke sekolah. Bawel dia. Sedangkan emaknya ada acara siang ini. Yaudah dititipin di sini. Gue pas lagi sibuk-sibuknya, dia dari tadi ngejogrok di depan lemari pendingin, gue cuekin." Jelasnya sambil memindai belanjaan Reygan.

"Jahat lo, Bang."

"Anaknya free spirit. Sejak pagi udah teriak-teriak begitu. Pas lo deketin mendadak kalem. Ngerti dia sama orang ganteng." Ryan tertawa. "Besok mampir lagi," pesannya seraya menyerahkan kembalian.

Reygan curiga, tapi tetap mengangguk. Lalu ada dua permen Chupa-Chups yang melayang ke plastik putih di tangannya.

"Bonus jagain Dara tadi."

"Satu aja." Reygan merogoh plastik, berniat mengembalikan satu.

"Yang satu buat Anes."

Reygan menghela napas lelah. "Besok gue minta eskrim ember."

Ryan mengacungkan kedua jempolnya.

****

Hujan turun deras malam itu. Ada dua cangkir teh hangat yang mengepul di atas meja. Kebiasaan favoritnya ketika hujan turun adalah duduk di serambi belakang rumah sambil menatap riak air. Mamanya sudah berteriak berkali-kali agar masuk saja. Di dalam lebih hangat. Memangnya mengobrol sambil melukis di dalam tidak bisa?

Sama saja. Di sini juga hangat. Dia sengaja membawa selimut tebal dan bergelung di atas kursi rotan.

"Sekolah kamu gimana?"

"Baik, Pa."

"Nggak ada yang gangguin kamu?"

Dia bingung harus menjawab apa.

"Ada. Tapi aku nggak apa-apa, Pa. Ada yang belain kok."

Papa menoleh, melepas fokus dari kanvas putih di depannya. Sejak tadi, papanya itu gagal menemukan inspirasi. Makanya kanvas itu tetap bersih meski satu jam sudah berlalu. Aneh. Papa suka melukis ketika hujan turun. Katanya, suasana dan bau tanah ketika hujan membuatnya merasa nyaman.

"Siapa?" selidiknya.

"Yang gangguin?"

"Yang bela."

"Oh. Kakak kelas, Pa." Riana berdeham dan menyesap tehnya.

"Suka sama kamu dia?"

Riana mengalihkan. "Papa harusnya tanya siapa yang udah gangguin aku."

Papa menurutinya. "Siapa memangnya?" Riana sudah membuka mulutnya, tapi dipotong Papa. "Paling juga orang iri sama kamu, kan?"

Memutuskan meninggalkan kanvas, Papa memilih duduk di kursi rotan. Malam ini dia tidak mendapat inspirasi apa-apa. Percuma jika terus memandang kanvas kosong itu yang berujung sia-sia karena memakan banyak waktu.

"Kalau ada yang jahat sama kamu, jangan dibalas. Papa nggak mau lihat kamu tumbuh dengan kebencian. Kalau menurut kamu apa yang mereka lakukan sudah di luar batas, kamu bisa bilang ke Mama atau Papa. Bukan karena kamu pengecut, Riana. Tapi kamu masih menjadi tanggung jawab kami. Selama itu, kami masih berhak atas kamu. Kami yang akan melindungi kamu." Itu adalah cara papanya mendidik putri sematawayangnya agar tidak menutupi apa-apa darinya. Diam-diam dia selalu mencemaskan banyak hal.

Dunia di luar sana tidak sebaik itu.