webnovel

Prolog

"Tarik napas, Bu! Pantatnya jangan diangkat nanti robek!" Perintah dukun bayi. Wajahnya terlihat panik dan tubuhnya diselimuti rasa takut. Tangan dukun bayi tersebut sedikit bergetar ketika membuka sarung yang menutupi setengah tubuh Siti.

"S-sakit," rintih Siti. Air matanya hampir saja keluar. Namun, dia berusaha untuk kuat karena tidak ingin terlihat lemah dan cengeng.

Hujan deras mengguyur bumi pada malam hari. Kilatan petir beriringan dengan suara guntur menggelegar di langit hitam. Cahaya lilin terombang-ambing tertiup angin, cipratan air hujan menembus gubuk karena beberapa anyaman pagar yang sudah rusak dan adanya beberapa atap bocor, keringat dingin menyelimuti mereka berdua. Entah sulit dijelaskan apa yang sedang Siti rasakan. Pada saat ini, dia berjuang melahirkan buah hati tanpa didampingi suami. Bukan karena suaminya sedang sibuk kerja, melainkan sibuk bermain dengan wanita lain dan menghamburkan uang untuk berjudi. Semua uang yang akan digunakan untuk biaya persalinan dirampas oleh suaminya. Oleh karena itu, Siti terpaksa membuka tabungan hidup untuk melunasi biaya persalinan.

Sesakit apapun, Siti masih teringat bagaimana segala proses yang telah dirinya lewati, baik kenangan manis maupun kenangan menyakitkan. Dia juga sadar bahwa kodrat seorang perempuan salah satunya adalah melahirkan. Dulu dirinya juga terlahir dari rahim seorang wanita dan sekarang dirinya juga sedang menjalani proses persalinan untuk bertemu dengan sang buah hati yang sudah dinantinya selama sembilan bulan.

Di lain sisi, hati kecil tidak dapat dibohongi bahwa Siti merasa hidupnya benar-benar hancur. Pada kenyataannya selama ini, dia merasa kesedihan lebih dominan daripada kebahagiaan, sehingga rasa bahagia tersebut telah tertutup rasa sakit dan benci yang tidak bisa dirinya utarakan. Siti akui bahwa dirinya telah buta akan cinta. Bahkan Siti saja seperti sudah tidak peduli terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap anak. Pikirannya hanya terus ingin memuliakan dan berbakti kepada suami, meskipun sakit hati sudah menjadi makanannya tiap hari.

Siti hanya bisa merasakan sakit bertubi-tubi, terutama batin. Pada umumnya, seorang istri akan mendapatkan nafkah dari suami karena pada dasarnya suami adalah tulang punggung keluarga, sedangkan istri adalah tulang rusuk suami. Namun, hal itu tidak pada diri Siti, dia sebagai istri dan dia pula yang menafkahi keluarga. Pekerjaan suaminya hanya tidur, makan, dan hura-hura.

Segala pengorbanan Siti selama ini, tidak pernah dihargai oleh suaminya. Semakin Siti bersikap baik kepada suaminya maka semakin diinjak-injak pula harga dirinya. Bukan karena dia tak laku, tapi karena dia terlalu bodoh mencintai seseorang yang pada kenyataannya hanya menjadikan dirinya sebagai budak. Apapun yang dilakukan suaminya maka akan dia terima saja tanpa berani membantah, bahkan sampai dirinya dihajar pun akan tetap tunduk patuh tanpa melawan sedikitpun.

"Tarik napas, Bu! Tenang dan jangan panik, dorong pelan-pelan sedikit lagi bayinya keluar." Kedua tangan dukun bayi menekan kedua lutut kaki Siti agar tidak ada pergerakan ke atas yang bisa menyebabkan robekan.

"S-sakit, Mbah!" Kedua tangan Siti meremas kain sarung yang digunakan untuk menutupi sebagian tubuhnya. Hanya kain sarung itulah yang Siti anggap bahwa dirinya saat ini sedang ditemani oleh suaminya. Hanya pikiran halu untuk menenangkan hati. Keringatnya semakin bercucuran berjuang antara hidup dan mati, dia berusaha mengingat kebaikan yang pernah dilakukan suaminya. Hanya ingatan itulah yang mampu membuat Siti bersemangat dalam menjalani proses persalinan ini. Tidak hanya itu, Siti yakin bahwa anak-anaknya pasti sudah menunggu kelahiran adik baru dan dia juga masih memiliki kewajiban untuk mengasuh mereka.

Siti memejamkan mata bersamaan dengan air mata berlinang membasahi kedua pipi. "Jangan tutup mata, kamu harus tetap sadar!"

Siti pun membuka kedua mata menuruti perintah dukun bayi. Tak lama kemudian bayi Siti lahir, Siti pun tersenyum bahagia bisa melewati proses persalinan. Jari-jari yang tadi menggenggam erat kain sarung, kini perlahan mulai dilepas.

Namun, ada hal janggal setelah lahirnya bayi tersebut karena tidak ada pergerakan maupun suara tangisan dari bayi. Si dukun bayi tersebut menggosok punggung bayi untuk memberikan rangsangan pergerakan maupun tangisan. Namun, caranya tersebut tetap tidak membuahkan hasil. Dia baru menyadari bahwa bentuk kepala bayi tidak sempurna dan tidak ada detak jantung.

"Selamat, Bu. Bayi ibu laki-laki, tapi--"

"Tapi kenapa, Mbah?" Tukas Siti merasa was-was dan takut ada hal buruk terjadi. Sebagai seorang ibu, tentunya juga memiliki perasaan tajam. Dia hanya bisa berdoa di dalam hati meminta takdir terbaik.

Si dukun bayi masih terdiam sambil menatap bayi yang berada di gendongannya. Lidahnya terasa kelu ketika ingin mengatakan suatu hal. Namun, dukun bayi tersebut juga bingung mau dimulai dari mana. Tinggal berkata memang mudah, tapi lain cerita kalau sudah menyangkut perasaan.

"Kenapa cuma diam, Mbah? Apa yang sebenarnya terjadi?" Siti sengaja mendesak agar rasa ingin tahunya cepat terjawab.

"Bayi kamu lahir dalam keadaan meninggal, pada bagian kepalanya sangat peyang, kemungkinan besar bayi Ibu memang sudah meninggal di dalam kandungan. Mungkin karena dulu kamu terlalu sering membawa barang berat," jelas dukun bayi.

Siti menggelengkan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca, kedua tangannya mengepal mendengar kenyataan tersebut. Dia tidak kuat menerima kenyataan bahwa ini sudah keempat kali anaknya meninggal, dia sudah tak kuasa membendung air mata hingga air matanya berhasil lolos dari sudut mata membasahi kedua pipi. Rasanya sangat sakit seperti jarum yang menusuk tubuhnya bertubi-tubi.

"Nggak, ini nggak mungkin!" Jerit Siti. Dia menangis sesenggukan dengan air matanya yang terus mengalir membasahi kedua pipinya. Kedua tangannya memukul-mukul tanah untuk menyalurkan rasa kesal. Di saat dirinya butuh dukungan dari orang lain, kini hanya dirinya saja yang menahan segalanya. Tidak ada yang peduli, kecuali dirinya sendiri.

Setelah itu, Siti mengacak rambutnya sambil berkata, "Anakku nggak mungkin mati lagi!"

Dukun bayi tersebut meletakkan bayi Siti di sebelah kanan Siti. Sebagai sesama perempuan tentunya tahu bagaimana rasanya ditinggal anak. Siti meraih bayi tersebut lalu dipeluk dan diciumnya bertubi-tubi, meskipun Siti tahu bahwa bayinya telah tiada. Melihat bayinya tanpa napas dan memejamkan kedua mata membuat Siti merasa semakin hancur.

"Sabar ya, Bu. Maaf, sebelumnya saya mau menyampaikan pesan bahwa anak kamu yang bernama Surya terlahir dalam gandeng mayit karena berada di tengah-tengah kematian saudara kandungnya, kakaknya meninggal dan bayi ini sebagai adiknya juga meninggal sejak dalam kandungan. Saya cuma mau mengingatkan bahwa memiliki anak gandeng mayit memang tidaklah mudah karena akan mendapat banyak cobaan, baik dari--"

"Nggak, ini semua nggak mungkin terjadi pada anak saya, Surya nggak mungkin terlahir dalam gandeng mayit!" Tukas Siti diiringi suara kilatan petir dan guntur yang menggelegar secara bersamaan.