webnovel

Game Offline World ( Indonesia )

(Cerita sudah dihentikan, Author pindah) Ayu Octaviani Ningsih Putri Nartono Ningratmojo Hayunda Astari, adalah pemain game offline. Dia hanya menghabiskan waktu bermain game Virtual Reality (VR) offline yang rilis di tahun 2050. Dia tidak bisa bangun dari tempat tidur rumah sakit, tubuhnya sangat kurus bahkan makan dan minum harus menggunakan alat bantu berupa selang Nasogastrik melalui hidungnya, dan infus tak pernah berhenti menopang kehidupannya, dia sudah seperti itu sejak berumur 10 tahun. Dia hanya bisa terbaring lemah saat bermain game offline, dunianya hanya dalam game sampai waktu mengikisnya hingga akhir hayatnya. Di dalam game, dia adalah seorang Apoteker sekaligus penyihir dengan Class Necromancer level 100 (level limit) dia begitu kuat dalam game offline yang dia mainkan bahkan Red Dragon, bisa tumbang melawannya. Tapi, game offline tetap game offline, semua penghuni di game hanya mengucapkan dialog yang sama berulang-ulang tapi kali ini berbeda ketika dia bereinkarnasi di game offline yang di kenal sebagai (G.O.W).

Yayang_ · Fantasi
Peringkat tidak cukup
147 Chs

9. Tempat Khusus Untuk Orang Buangan

[Jalan area pasar Uwon.]

Sejujurnya, niat Hiro adalah untuk mengajak Ayu berkencan, tetapi untuk membuatnya lebih mudah dipahami, dia mengatakan bahwa dia sedang jalan-jalan.

Di setiap sisi jalan ada banyak orang yang menjual makanan dan berbagai rempah-rempah serta peralatan untuk para Hunter.

Area yang mereka tuju adalah area pasar jika untuk orang yang ingin membeli sesuatu yang mereka butuhkan. Ayu menuju ke salah satu penjaja, makanan yang menyerupai sate ini benar-benar menarik perhatian gadis muda itu.

"Sate daging kadal hijau, daging kadal merah, kadal coklat, setiap jenis memiliki rasa yang berbeda! Gadis muda, kamu bisa mencicipi salah satunya."

"Aishh, kadal?" Ayu langsung kehilangan nafsu makan saat sate yang dilihatnya adalah daging kadal.

Hiro menjelaskan bahwa sate kadal merupakan makanan ringan bagi para pendaki, rasanya sangat enak, ada rasa pedas pada daging kadal merah, rasa segar pada daging kadal hijau dan rasa gurih pada daging kadal coklat. Hiro menawarkan sate untuk diberikan kepada Ayu. Ayu menggigit sate daging kadal merah dengan ragu-ragu sambil mengunyahnya, ada rasa pedas dan asin dengan takaran yang pas. "Aamh, enak!" Ayu mengunyahnya dengan mantap dan berusaha melupakan bahwa yang dimakannya adalah daging kadal.

Daging kadal dipotong kecil-kecil seukuran dadu, meski tidak seluruhnya ditusuk dengan stik yang terbuat dari ranting atau kayu, dan hanya garam untuk penyedap rasa, namun rasa pedas dagingnya membuat rasanya gurih. (Jangan makan terlalu banyak karena bisa membuat mual jika berlebihan. Imajinasi saya sendiri sebagai penulis melihatnya seperti itu, maaf jika penjelasannya kurang tepat, saat masuk Isekai semua orang harus mengingatnya dengan seksama.)

Ayu Octaviani Ningsih Putri Nartono Ningratmojo Hayunda Astari, gadis imut ini terlihat sangat bahagia memegang dua tusuk sate di tangannya. Hiro mengunyah salah satu sate yang dipegangnya sambil sesekali membalas senyuman Ayu.

"Aku sangat suka pedas," kata Ayu.

"Aku juga," jawab Hiro.

"Permisi kakak cantik, mau beli bunga yang saya petik? Harganya murah, hanya satu perunggu untuk satu bunga.

"Berapa kalau saya beli semuanya?"

"Kakak tampan mau beli? Kalau semua harganya 10 perunggu!"

"Aku membeli semuanya, ini 10 perunggu untukmu."

"Terima kasih kakak yang tampan!"

"Terima kasih juga, gadis kecil yang manis," kata Hiro.

Seorang gadis kecil berusia 7 tahun mengenakan syal cokelat dan mengenakan pakaian putih yang sudah pudar warnanya hampir kuning. Ayu kesal karena Hiro menerima begitu saja padahal Ayu yang ditawari untuk membeli bunga milik gadis kecil tadi. Ayu cemberut karena Hiro tanpa izin langsung mengambil apa yang seharusnya Ayu lakukan untuk membantu gadis kecil itu, tapi Hiro mengatakan akan sama saja dengan siapa pun yang membelinya, tidak masalah.

Ayu masih kesal meminta Hiro menggendong Ayu, Hiro langsung menyetujui rencana Ayu tanpa protes. "Ayo cepat, kudaku!"

"Hei, aku bukan kuda, Ayu!"

"Hari ini kamu adalah kudaku karena aku menginginkannya!"

Meski terlihat memalukan dan banyak orang akan menatap mereka berdua, Hiro tidak mau melepaskan kesempatan yang begitu menggiurkan. Hiro perlahan melangkah maju dan melonggarkan posisinya sambil menggendong Ayu. Gadis berambut abu-abu itu hanya melihat ke depan sambil melingkarkan tangannya di leher Hiro.

Sesuatu yang lembut menempel di punggungnya, Hiro merasakan kenikmatan yang tak terlukiskan, hatinya dipenuhi kepuasan karena mendapatkan keadilan paling luar biasa di dunia. Diam-diam Ayu melihat Hiro tersenyum lebar, ada ekspresi lucu di wajah pemuda itu.

"Seperti yang kupikirkan, aku jadi tahu apa yang kamu suka, Hiro."

"Ah, apa maksudmu?"

"Kamu selalu terlihat bahagia saat dadaku menyentuh punggungmu," bisik Ayu. Wajah Hiro merah seperti tomat, dia malu karena dia ketahuan begitu mudah tapi dia yakin Ayu hanya tahu itu dan tidak ada yang lain.

Mereka tiba di tempat yang lebih kumuh, bangunannya tidak sebagus bangunan area utama. Ayu melihat sekeliling, sayang sekali selain banyak budak di kota ini, banyak juga orang yang kelaparan. Kondisi masyarakat di sekitar sana bisa diibaratkan pengemis, terlihat dari pakaian mereka yang kusam dan sobek, ada juga yang ditambal dengan kain warna-warni.

"Kondisi mereka lebih buruk dari penduduk desa, sulit dipercaya," gumam Hiro.

"Benar, sulit dipercaya tapi kenyataannya seperti yang kita lihat."

Kakek-nenek, anak laki-laki, perempuan dan anak-anak kecil. Melihat keduanya dengan berbagai ekspresi, ada yang kaget, penasaran, takut dan kesal. Mereka terus bergerak maju tanpa rasa ingin tahu karena mereka berusaha untuk tetap tenang dan tidak menimbulkan kesan kesulitan dan ancaman. "Apa gunanya kalian datang ke sini, ini hanya tempat untuk orang buangan." Salah satu kakek mendekati dan bertanya kepada mereka berdua. "Kalian berdua harus segera pergi dari sini."

"Permisi sebelumnya, kami baru di kota ini, kami hanya terkejut karena tempat ini berbeda dari yang lain," kata Ayu sopan.

"Oh, gadis kecil yang sopan, kamu tidak perlu berbicara dengan sopan."

"Saya harus sopan kepada orang yang lebih tua."

"Mmm, begitu, cara berpikirmu sangat unik."

Sang kakek memberi isyarat untuk mengikutinya, Ayu dengan santai menurut. Hiro yang awalnya gugup sudah terlihat tenang. Sang kakek, memberi tahu mereka berdua bahwa daerah ini adalah tempat bagi orang miskin dan dianggap sebagai orang terlantar. Ayu mendecakkan lidah, gadis ini tidak setuju dengan cara berpikir itu, ketika Ayu bertanya, 'tidak ada bantuan berupa uang atau sejenisnya' sang kakek hanya tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, bantuan dalam bentuk uang? Jika ada hal yang luar biasa seperti itu, kita pasti tidak akan kelaparan, gadis kecil, kamu sangat lucu berbicara omong kosong."

"Tapi dari kampung halaman saya, ada yang seperti itu."

"Ooh, aku jadi iri dengan kampung halamanmu," kata Kakek.

Bangunan yang sudah tidak layak huni menjadi pemandangan yang miris. Ayu dan Hiro saling berpandangan, mereka sama-sama khawatir karena seorang lelaki tua harus tinggal di tempat seperti itu. "Aku pulang, cucuku." Dua anak berusia 7 tahun, laki-laki dan perempuan membuka pintu, Ayu dan Hiro terkesiap karena gadis penjual bunga itu adalah cucu kakek.

"Ah, kakak yang tampan! Kenapa kamu datang ke sini!"

"Kau kenal mereka, Ruri?"

"Ya, Ruri mengenal mereka, mereka sangat baik, kakek!"

Ayu sedikit kecewa karena tidak merasa disapa, mungkin karena kejadian sebelumnya. Ayu menatap Hiro dengan kesal, Hiro hanya menatapnya dengan tatapan bertanya dengan ekspresi Ayu. Ayu dengan lembut menyenggol lengan Hiro, dan memalingkan wajahnya. Hiro terlihat panik dan mencoba mencari tahu mengapa Ayu bersikap seperti itu tetapi Ayu mengabaikan Hiro.

"Ini semua karena kamu."

"Hah, karena aku?"

Hiro tidak mengerti dengan kata-kata Ayu yang tidak jelas. Kakek mempersilakan mereka berdua masuk, Ayu dan Hiro masuk ke dalam rumah, seorang bocah berambut coklat mengintip dari sebuah ruangan yang tidak memiliki pintu.