webnovel

GCDT 9

Terdengar nada dering dari ponsel Abraham, Dea yang mendengar segera membantu mengambilnya, "jangan mulai," Abraham mendesis kesal. Pasalnya saat Dea mengambil ponsel di kantong saku celananya, tangan mungil itu sengaja mengelus senjatanya.

"Ish apa sih, cuma bantu ambil ponsel kamu," sahut Dea tanpa merasa bersalah, kemudian tersenyum usil dan menjulurkan lidah mengejek dan itu membuat Abraham gemas. Saat berada di dekat Dea, Abraham merasakan banyak tubuhnya yang menjadi sensitif.

Dea menyunggingkan senyum yang menimbulkan lesung pipinya, "Laras," cicitnya dan menunjukkan ponsel Abraham dan di sana ada Laras nama si penelpon. Abraham mengangguk dan tersenyum, Dea menggeser ikon di aplikasi berwarna hijau tersebut dan muncul wajah seorang wanita yang memajukan bibirnya.

Laras adalah sahabat Dea, dan dia mengetahui hubungan Dea dengan Abraham. Laras juga mengetahui permasalahan Dea dengan Rama, semenjak Dea berhubungan dengan Abraham, Dea memberikan nomer sahabat-sahabatnya kepada Abraham.

Dan ternyata berguna saat Dea kabur, Dea masih leluasa berhubungan dengan mereka melalui ponsel Abraham walau ponsel milik Dea di matikan, sengaja agar tidak bisa di lacak oleh Rama.

"Udah sampai mana?" tanya Laras dengan nada kesal, masalahnya mereka sudah mengatakan dalam perjalanan akan berlibur ke kota Jogja, namun Dea belum mengabari akan ketemu di mana.

"Sampai mana, Yank?" Dea bertanya dan menoleh kearah Abraham, Abraham hanya mengedikkan bahu tidak tahu. Dea berdecak sebal, pasti kekasihnya itu sedang mengerjai dirinya.

"Gue ngga tahu, tapi masih jauh kayanya," sahut Dea masih sambil menatap Abraham, kekasihnya yang sedang menyetir sambil sesekali melirik ponsel yang dia letakkan di depannya sebagai peta, atau google maps. Mereka sengaja tidak menggunakan supir keluarga Abraham.

"Lalu kita ketemu di mana? Pacar lu gila, De. Udah ngajak mendadak, ditanya ngga jawab bikin kesel aja," Laras lalu mencebik, Dea terkekeh.

"Walau dia gila, dia cinta mati sama gue tahu," sahut Dea percaya diri, "halah dulu aja si Rama juga gitu, tapi ujung-ujungnya selingkuh juga. Jadi cinta jangan jadikan patokan," ucap Laras tanpa maksud menyindir.

Dea yang mendengar langsung tertunduk dan kemudian mengalihkan pandangannya ke jalanan, "kamu bener, tapi saya janji tidak akan menyakiti orang yang saya cintai," Abraham menyahut dan berkata demikian karena melihat Dea terlihat gelisah dan tidak nyaman, dan lalu sesekali menghirup udara sekitar.

"Eh, Dea maaf. Gue ngga bermaksud," Laras langsung meralat ucapannya, "ngga papa kok, Ras," sahut Dea tidak ingin sahabatnya merasa bersalah karena terjadi itu semua kenyataan.

Dulu Rama, mengatakan sangat mencintai dirinya, berjanji tidak akan menduakan dan membagi cintanya, namun sekarang apa?

"Eh, Sila, Panca, Dendi plus pacar-pacar mereka ikut'kan?" Dea mencoba mengalihkan topik yang akan menyakiti dirinya sendiri, Dea sudah bertekat akan bahagia dengan caranya sendiri. Entah itu benar atau salah, Dea sudah tidak perduli lagi. Dea ingin menjadi wanita kuat dan tidak mudah di tindas.

"Ikut dong, makanya gue tanya, kalian sampai mana!" seru Laras terdengar kesal, namun Dea kembali terkekeh.

"Kalian berangkat dulu aja, tar kita ketemu di sana," suara Abraham menginterupsi,"Hei, Pak supir, hati-hati bawa teman saya. Jangan di apa-apain," seloroh Laras yang langsung membuat Dea mendelik kesal kearahnya.

"Maaf nona, sahabat anda terlalu cantik dan baik, jadi tidak mungkin saya tidak aauu...." Abraham memekik saat Dea mencubit perutnya.

Laras yang berada di seberang tersenyum, 'semoga kali ini dia tidak membuat mu menangis dan bersedih,' gumam Laras saat melihat Dea dan Abraham bercanda, karena mereka melakukan video call dan menampilkan wajah Dea yang bahagia, seperti merasa jatuh cinta untuk yang kedua kalinya.

"Siapa?" tanya seorang pria yang tiba-tiba muncul di samping Laras dan mengambil ponsel lalu menyapa, "apa kabar, Cantik," sapa pria itu begitu melihat siapa yang ada di seberang.

"Jangan goda pacar saya tuan Alex," suara Abraham kembali membuat Dea tersenyum, "oh ada tuan Xavier rupanya, maafkan saya," seloroh pria yang bernama Alex tersebut.

Dea menangkap raut wajah cemburu pada sahabat nya, Dea dan Laras tahu dulu Alex sempat menyatakan cinta dan sempat juga mengejarnya namun harus kandas karena Dea lebih memilih Rama. Abraham pun sudah tahu kisah itu, dan dia juga masih ragu kalau Alex sudah move on dari pesona Dea.

Abraham sering melihat cara Alex menatap Dea dengan cara berbeda, sama seperti dirinya menatap Dea, penuh cinta.

"Sudah sampai mana, kalian?" Alex mencoba membuat keadaan cair, tadi setelah menggoda Dea, Alex melihat Dea memberi kode bahwa Laras cemburu.

"Tahu nih, Pak supir," seloroh Dea yang membuat Alex melengkung kan bibirnya. Abraham melirik pakaian Dea yang sedikit terbuka di bagian atas, 'sial' rutuk Abraham saat menyadari Alex pasti juga sedang melihat sesuatu milik Dea yang tidak sedikit terlihat.

Beruntung Dea yang memakai singlet memakai blazer, tangan Abraham yang bebas menyatukan kedua sisi blazer yang Dea kenakan, Dea yang menyadari langsung ikut membenarkan blazer yang dia pakai.

"Mungkin kami sampai di sana pagi, Lex. Jalanan agak lenggang soalnya," Dea berujar seraya menatap ponsel Abraham yang menunjukkan lokasi yang mereka tuju lumayan masih jauh.

"Ow, oke see you," Alex kemudian menyerahkan ponselnya ketangan Laras dan berlalu dari sana, "De, gue mau beres-beres dulu. Mau bantu Alex siapin yang mau dia bawa," pamit Laras yang kemudian layar ponsel mereka berubah menjadi hitam setelah keduanya mengucapkan salam.

"Kamu mau pakai kaya gitu?" tanya Abraham ketika melihat pakaian yang di kenakan Dea, singlet berwarna biru dan celana jeans robek di atas paha yang menampilkan kulit Dea yang putih. Rambutnya yang panjang dan diujungnya di beri warna perak dibiarkan tergerai.

"Nanti salin, bawa baju kok," ujar Dea yang kemudian duduk menghadap kedepan, "yank," Abraham menoleh.

"Jangan hanya satu tempat ya, kalau perlu semua pantai di kota Jogja kita datangi. Trus itu kita beli oleh-oleh di Malioboro, kata karyawan aku yang dari kota Jogja di sana bagus-bagus dan cinderamatanya beragam," celoteh Dea yang di tanggapi senyuman dan anggukan oleh Abraham.

"Terus ke candi Prambanan, mau pegang patung nyai siapa itu namanya lupa. Katanya kalau bisa pegang tar keinginan kita bisa terwujud," lagi, Abraham mengangguk.

"Terus ke Solo, di sana makanan budeg sama nasi di jemurnya enak, aku pernah di bawain karyawan aku yang baru pulang kampung," Abraham mengernyit lalu menengok kearah Dea.

"Budeg?" Abraham mengulang perkataan Dea, wanita itu mengangguk mengiyakan.

"Kok namanya aneh, De?" Abraham mengaruk keningnya yang tidak gatal, berfikir apa maksud dan bagaimana wujud makanan yang dikatakan kekasihnya.

"Kok aneh, ini di kota Jogja sama Solo terkenal lho. Itu lho masakan dari nangka muda," kesal Dea karena Abraham tidak paham makanan yang dia maksud.

"Astaga," Abraham menepuk keningnya dan menggeleng tidak habis pikir.

"Gudeg, Sayang. Bukan BUDEG," Abraham memperjelas perbedaan antara huruf depan makanan yang mereka bahas.

"Sama aja," Dea tidak mau kalah dan salah, "sama-sama ada UDEG nya juga," timpal Dea masih tidak terima, lalu mengerucutkan bibir tipisnya.