"Jadi kau dandan secantik ini untuk menyambut peri kecil ini?" tanya Dendi dengan nada menyindir akan tetapi juga memuji, Dea hanya mencebikkan bibirnya membuat Dendi gemas ingin melumat bibir itu jika tidak ingat mereka bersahabat.
"Tante Dea emang udah cantik kok, Om," bela si Lea yang kini sudah duduk anteng di pangkuan wanita yang memakai dress berwarna pink sepanjang bawah lutut, Dea mengeluarkan lidah mengejek Dendi, senang karena mendapat pembelaan dari anak kecil yang polos juga jujur.
"Kamu nggak kangen sama om Dendi, Le?" Dendi yang duduk berseberangan dengan Dea memasang tampang sedih dan memelas, Lea langsung menggeleng mendengar pertanyaan dari teman mama dan papanya, dan semua orang tertawa melihat ekpresi Dendi yang terlihat putus asa dan kesal.
"Eh, ada tamu," semua orang memandang kearah wanita cantik yang tengah berdiri tidak jauh dari mereka, "iya tante, ada tamu istimewa," seloroh Dea sambil mengecup pipi gembul Lea.
"Oh," Tante Vani menjawab lalu duduk di samping Dendi, semua teman Dea yang datang bertanya dalam hati.
"Itu Tante Vani, mamanya Dendi. Dan Tante Vani ini istrinya papa Roy," Dea menjelaskan, "intinya Mas Rama sama Dendi kakak adik," imbuh Dea. Tante Vani tersenyum ramah pada mereka, membuat canggung para sahabat Dendi dan Dea.
"Santai aja, anggap rumah sendiri," celetuk Dendi yang langsung mendapat lirikan tajam dari Rama, 'enak aja, ini rumah mama dan papa gue bukan rumah loe brengsek!' umpat Rama dalam hati.
"Oya sebentar," Dea menurunkan Lea dari pangkuan nya lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke dapur, meminta tolong pada Art di rumah sang mertua untuk menyiapkan minuman serta makanan kecil untuk para sahabatnya, setelah sang art mengiyakan Dea mengucapkan terima kasih.
"Wanita sebaik non Dea kenapa harus di duakan sih, Den Rama, den Rama," gumam bi Inem seraya mengeleng geleng kecil, kemudian tangannya kembali sibuk membuat minuman sesuai pesanan yang Dea katakan.
Beberapa menit kemudian Bi Inem keluar membawa nampan berisi minuman, kemudian meletakkan gelas itu di meja dan kembali ke dapur guna mengambil camilan.
"Loe nggak balik kerumah aja, De?" tanya Sila, rasanya tidak nyaman di rumah mertua sahabatnya yang seperti tidak menyukai kehadiran Dea, sahabat mereka.
"Ini rumah Dea juga," Rama menyahut dengan nada sedikit tidak senang, bagi Rama. Di sini atau di rumah mereka sama saja, yang penting mereka bisa tinggal bersama.
"Lain lah, Ram. Ini rumah mertuanya, rumah nyokap bokap loe," Sila tidak mau kalah, "ya sama lah, Dea istri gue, berarti anak nyokap bokap gue kan!?" ketus Rama.
Sila segera mengatupkan kedua bibirnya saat Dea menatap tajam dirinya, mengisyaratkan agar wanita itu diam dan tidak membalas argument suaminya.
Inilah yang tidak Rama sukai dari teman teman istrinya, suka menghasut dan membujuk yang tidak tidak. Jadi Rama sering melarang Dea untuk bertemu dengan mereka, dan kini Rama berpikir jika Dea kemarin kabur karena hasutan dari para sahabatnya.
"Oya, Alex sama Panca kok nggak kelihatan?" Dea baru sadar jika Alex dan Panca tidak terlijat, "dia pergi sama Panca semalam," Dendi yang menjawab.
"Kemana?" Dea menoleh kearah Dendi, namun dengan segera kepalanya di putar dan disandarkan kembali ke bahu Rama.
"Papa nyusul om bule katanya," celetuk Lea yang sedikit membuat Dea tidak enak, "om bule?" Tante Vani mengulang ucapan Lea, gadis kecil itu mengangguk.
"Memang Tante Dea punya teman Om bule?" Rama bertanya seraya mengusap kepala Lea, "teman Alex itu," Sintya langsung menjawab, takut sang putri keceplosan.
"Alex teman SMA kamu yang ganteng dan sering main kerumah bareng Dea itu 'kan, Den?" Tante Vani bertanya lagi, kali ini menatap wajah sang putra tunggal. Dan Dendi mengangguk mengiyakan.
Rama mencengkeram bahu Dea karena cemburu mendengar kedekatan para pria itu dengan istrinya, walau mereka memiliki status hanya sebagai teman namun itu hanya Dea yang beranggapan. Sedang para pria itu pasti berharap Dea menerima cinta salah satu dari mereka.
Dea yang tadinya merasakan rindu saat Lea menyebut nama Om Bule, berubah meringis dan menepuk paha suaminya. Rama yang terkejut refleks menoleh dan bertanya, "kenapa memukulku?" netranya menyipit.
"Bahuku sakit, Mas," Dea berbisik, Rama lalu terkejut dan menarik tangannya segera, "maaf," katanya dengan pelan dan berbisik juga.
"Tante Dea sama Om Rama ngapain sih bisik bisik?" Lea yang berada di pangkuan Dea mendongak, keduanya mengulas senyum dan menggeleng bersamaan.
"Wah rame sekali, ada tamu ya?" mama Abhel yang baru keluar dari kamar menuju ruang tamu karena suara tawa yang terdengar sampai lantai atas.
"Iya, Ma. Ini teman teman Dea," Rama yang bersuara, "oh," hanya itu yang keluar dari bibir mama Abhel di sertai lirikan tidak suka, "mama kira teman kamu," imbuh mama Abhel tidak perduli yang kemudian melangkah pergi.
"Mama mau kemana?" Rama bertanya, merasa tidak enak pada teman teman Dea.
"Keluar, mau ketemu teman teman mama. Bosan di rumah terus," jawabnya tanpa menoleh dan melihat kearah Rama. Sebagai ibu mertua dari Dea dan tuan rumah, mamanya malah pergi meninggalkan tamu. Sedang Tante Vani yang hanya tamu malah menemani mereka, walau mereka adalah teman teman putranya. Tapi Dea terlihat senang dan nyaman dengan kehadiran ibu tiri Rama.
Dendi sangat tidak suka dengan sifat istri pertama papanya yang terlihat sombong dan angkuh, Dendi hanya diam dan menatap tajam wanita yang kini berjalan menjauh dan hanya punggung nya saja yang terlihat, ekor matanya melirik Dea yang terlihat serba salah. Dendi tahu Dea tidak betah tinggal di sini walau sehari, namun demi suaminya wanita itu bertahan.
Dan Abraham juga sudah meminta Dendi untuk menjaganya, walau tidak di minta, Dendi tetap akan melakukan itu. Rasa cintanya yang besar walau harus bertepuk sebelah tangan tidak apa, asal bisa melihat dan mendengar suaranya itu cukup.
"Oya, gimana kalau kita makan siang di luar saja? Tenang saja, gue yang traktir," Dendi memberikan penawaran, makan di luar adalah alasan agar Dea bisa nyaman dan tidak terkekang di rumah ini.
"Lea mau, Om. Emm, makan steak aja ya," gadis kecil itu bersuara, Dea terlihat berpikir lalu menggeleng.
"Tapi tante Dea pengen es krim, Sayang," katanya tidak enak hati, Lea tersenyum senang.
"Iya, om di tempat yang ada es klimnya aja. Nanti Lea sama Tante Dea balapan makan es klim," ucap Lea dengan logat cedalnya, matanya yang kecil berbinar membayangkan memakan es krim berbagai rasa.
"Oke, nona." Dendi mengedipkan sebelah matanya sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Om Rama nggak usah ikut ya?" gadis kecil itu bertanya dan mendongak menatap Dea, sesekali melirik Rama yang juga tengah menatap dirinya dengan wajah penuh tanda tanya.
"Kenapa Om Rama nggak boleh ikut?" Tante Vani yang bertanya, mewakili suara hati Rama dan Dendi.
"Kalau Om Rama ikut, nanti nggak asyik," jawab Lea dengan polos, ingin sekali Dendi tertawa namun cukup dia tahan dan tertawa di dalam hati saja.
"Kalau pergi sama Om bule dan tante Dea lebih enak," sambung Lea, yang langsung membuat jantung Dea berdetak kencang, takut gadis kecil ini keceplosan.
"Kamu pernah pergi sama Om bule yang dia maksud, Yank?" Rama bertanya seraya mengusap lembut kepala Dea, tiba-tiba rasa cemburu menyelimuti hatinya.
Dea adalah wanita yang supel dan membuat semua orang mudah suka padanya, terutama kaum adam. Jika Alex saja memiliki wajah tampan, walau Rama lebih tampan namun dirinya takut jika kedekatan dan seringnya mereka bersama bisa membuat istrinya merasa nyaman.