Dea langsung cemberut begitu keluar kamar mandi, tubuhnya juga terasa remuk. Beberapa jam Rama meminta haknya di kamar mandi, seolah tidak ada rasa lelah pada diri Rama, seperti yang sudah-sudah.
Sedang Rama senyum selalu terukir dibibirnya.
"Aku mencintai mu, Sayang," Rama berbisik lembut di telinga Dea, wanita itu kini sedang duduk di depan meja rias, tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang panjang menggunakan hairdryer.
Mendengar ucapan Rama, Dea hanya mencebik seraya berkata, "kalau cinta tidak perlu berbohong dan mendua," Rama melepaskan pelukan itu dan memegang kedua pundak Dea lalu menatap wajah itu melalui pantulan kaca.
"Walau menikah dengan wanita manapun, percayalah cuma kamu yang ada di hati mas, De," Rama mengecup kepala Dea bagian belakang.
"Memang mas mau menikah lagi?" Dea mematikan hairdryer lalu meletakkan nya di meja rias, tubuhnya memutar menghadap sang suami setelah menyingkirkan tangan kekar itu.
Rama menelan salivanya pelan, Rama tahu Dea bukan cemburu tapi sedang mengetes dirinya. Rama bersimpuh di depan Dea yang sedang menatap dirinya, di genggam nya tangan wanita kesayangan nya itu.
"Ngga. Mas ngga mau nikah lagi," jawab Rama yakin, Dea menangkup kedua rahang tegas pria yang berstatus suami.
"Bagaimana kalau mama menyuruh mas nikah lagi?" Dea kembali memberi pertanyaan konyol, Rama tahu sangat tahu, walau Dea diam tapi dalam hatinya masih ada luka yang menyala.
Rama yakin di sana ada dendam, dan suatu saat akan terjadi sesuatu yang akan membuat dirinya kehilangan Dea, tapi Rama berjanji pada dirinya sendiri apapun yang terjadi dirinya tidak akan melepaskan Dea.
Rama menggeleng lalu berulang kali mengecup lembut tangan Dea yang dia genggam, menyalurkan cinta dan penyesalan yang ada dihati dan yang dia rasakan.
"Kalau mama ngambek, tetep nyuruh mas nikah lagi," Dea mengejar pertanyaan yang sama pada suaminya, Rama mendengus sebal. Dea seketika memekik dan memukul pundak Rama yang tiba-tiba mengangkat tubuhnya.
"Kamu mau mas hukum, hmm," Rama menurunkan tubuh mungil Dea di ranjang, lalu menaik turunkan kedua alisnya. Dea seketika melotot tidak percaya, "mesum," gumam Dea yang membuat Rama tertawa saat mendengar nya.
"Makan yuk," Rama kembali bersimpuh di depan Dea, meletakkan kepalanya dipangkuan wanita itu. Tangan Dea refleks mengusap dan menyisir rambut sang suami.
"Oke," Rama tersenyum mendengar jawaban Dea, pria itu berdiri mengambil sandal rumah dan meletakkan dikaki sang istri seraya berkata, "silahkan tuan putri," Dea memukul pelan pundak Rama, hati Dea selalu tersentuh akan perlakuan dan perhatian yang Rama berikan padanya.
Tangan keduanya bertautan saat keluar dari kamar, Rama lupa jika mama Abhel dan Raya belum tahu jika Dea ada di sini. Tapi tidak apa, biar nanti sekalian bisa menjaga mama Abhel dari istri kedua ayahnya, pikir Rama begitu.
Di meja makan sudah ada empat orang yang sudah menghabiskan sebagian makanan mereka, Rama dan Dea sadar mereka terlambat untuk sarapan atau makan pagi karena ini sudah menunjukkan hampir pukul jam sembilan pagi.
Semua orang menoleh kearah suara orang bercanda, ya, dalam perjalanan menuju ruang makan Rama sesekali menggoda Dea. Dan itu menjadi kesenangan bagi dirinya, dan ini adalah moment yang dia rindukan setelah beberapa bulan ada jarak di antara keduanya.
"Lho mas kamu udah pulang?" Raya bertanya heran, bukannya kemarin suaminya itu mengatakan tidak akan pulang, dan entah pergi kemana. Tetapi sekarang dia di sini dan bercanda dengan istri pertamanya.
"Iya," jawab Rama singkat, tangannya menarik tangan Dea menuju kursi dan menarik kursi agar istrinya bisa duduk dan sarapan, walau terlambat.
"Memang Rama dari mana?" Mama Abhel bertanya karena memang sehari kemarin tidak melihat anak sulungnya tersebut.
"Tante Vani," Dea menyapa sosok perempuan yang duduk di sebelah ayah mertuanya, sedari tadi Dea menatap tidak percaya perempuan paruh baya di depannya.
Wanita yang di sapa Dea tersenyum lalu meraih gelas berisi air minum dan meneguknya sedikit lalu mengambil tissu dan mengelap bibirnya.
"Gimana liburannya? Mana oleh-oleh buat tante," Tante Vani menggoda Dea, sedang semua orang menatap penuh tanya pada keduanya.
"Kamu tahu Dea sedang liburan?" Papa Roy bertanya sambil memandang istri keduanya, Tante Vani mengangguk.
"Dia liburan bareng putra kita," Papa Roy mengerutkan kening, belum paham arah sang istri berkata.
"Kalian liburan berdua?" Raya dan mama Abhel bertanya serempak dan bersamaan, Dea dan Rama menggeleng.
"Tante kok di sini? Ada proyek sama papa?" Dea masih penasaran, kenapa Tante Vani pagi-pagi sudah berada di sini. Tante Vani menekuk bibir berkata," Tante tinggal di rumah suami tante, " jawab Tante Vani.
Dea menggaruk hidungnya lalu menutup mulutnya yang tiba-tiba mengangga tidak percaya.
"Jadi Tante Vani istri Papa Roy?" suara Dea melengking, Tante Vani mengangguk dan mengulum bibir, Rama kesal melihat interaksi istri pertamanya dengan istri kedua papa-nya.
Apa mereka saling kenal, di mana, kenapa bisa seakrab itu? Berbagai pertanyaan bersarang di benak Rama.
"Sudah ayo makan, katanya tadi lapar," Rama memutus perbincangan yang menurutnya tidak penting, Rama membalik piring di depan Dea lalu mengisi dengan nasi, tangannya berhenti kala Dea memegang tangannya dan mengatakan cukup.
Raya menangis dalam hati, seumur pernikahan mereka, Rama tidak pernah memperlakukan dirinya seperti itu. Berbicara saja jika menurutnya penting, jika Raya bertanya Rama menjawab seadanya.
"Rama, memang kalian kemarin kemana?" Mama Abhel mengulang pertanyaan yang belum putranya jawab tadi.
Rama bingung mau menjawab apa, kemarin dia pergi karena menjemput istrinya yang sedang melarikan diri yang ternyata sedang berlibur bersama para sahabatnya.
"Bukannya lu kabur, De?" pertanyaan dari mulut Raya membuat semua orang mengalihkan pandangan kearahnya, "kok bisa mas Rama ketemu lu?" desak Raya lagi.
"Kamu kabur? Kenapa?" Tante Vani yang bertanya, matanya menatap lekat anak mantu dari suaminya dengan istri pertamanya.
"Dea ngga kabur, cuma lagi suntuk," Rama membela istri tercintanya, Raya melengos. Terus saja kau bela istri mandulmu, begitu pikir Raya. Tante Vani terkekeh sambil menutup mulut kemudian geleng-geleng.
Mama Abhel hanya menyimak percakapan istri kedua suaminya dan menantu pertamanya, entah kenapa hatinya seperti tercubit. Matanya beralih menatap Raya, ada guratan kesedihan yang nampak di wajahnya. Mama Abhel mendesah pelan, ini seperti hukum karma sedang berjalan.
Dulu dia memaksa bahkan menjebak anak sulungnya hingga bisa menikah dengan Raya, itu juga yang dulu dia lakukan pada Papa Roy.
Cinta butanya dulu pada Papa Roy membuat mama Abhel melakukan apa saja, termasuk menjebak Papa Roy dan hingga menghasilkan Rama. Dan itu terulang, dia menjebak Rama dengan Raya, tetapi hingga kini menantunya itu juga belum hamil.