webnovel

Part 20. Kata Hati (2)

Ragu-ragu Olivia melangkah. Debaran jantungnya membuatnya tak nyaman. Rita dan teman-teman. Ada Tasya sama Laras juga yang datang bersama ke acara malah misah sejak antri rapid test. Kebiasaan-kebiasaan baru yang musti dijalani setiap mengikuti acara.

Sudah kehilangan darah keakuratannya masih dipertanyakan lagi. Terus harus bagaimana? Virus bisa menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Yang pandang bulu itu kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

Untuk menghindari kerumunan para tamu undangan bergiliran menuju tempat acara. Olivia juga harus melewati  labirin. Tantangan yang paling tidak disukainya. Banyak sudut-sudut berbahaya menurut halunya akibat baca science fiction dan fiksi horor.

Kenyataannya di putaran labirin pertama, ada pemandangan yang menyesakkan. Di arah sana, sepasang sejoli sedang serah terima potongan kue pertama. Yang pasti istimewa bagi yang sedang ultah.

Olivia tidak ingin memperlihatkan dirinya. Ia ingin keluar dari acara ini. Setelah meletakkan kado yang dibawanya ke tempat yang telah disediakan. Yang dilengkapi fitur virtual canggih. Diantaranya bisa memperlihatkan cerminan dirinya lengkap biodata yang sama persis seperti yang tertera pada kartu undangan. Di layar, Olivia mengetahui juga suhu tubuhnya. Dan dia diharuskan memakai gelang khusus selama mengikuti acara. Sebagai pendeteksi agar tidak terjadi kerumunan dan mengatur seberapa lama bisa berada di lokasi.

Untuk keluar, Olivia diharuskan mengambil jalan lain dari dia masuk tadi. Tantangan menyebalkan!

Lebih-lebih menemukan sosok yang memberi potongan kue ultah tadi di ujung lorong. Ah! Tidak mungkin Olivia memutar balik langkahnya karena celah dimana ia masuk tadi telah tertutup. Ia ingat betul letak akses jalur yang telah ditutup itu.

Mau tidak mau Olivia harus menghadapi sosok itu.

Olivia seketika menyesal dengan pilihan busana yang dikenakannya. Tatapan elang itu?

Yang mampu meruntuhkan pertahanannya.

Padahal Andi tidak menatapnya. Ia sedang asyik dengan istri tersayangnya. Perusak paru-paru. Olivia baru tau yang sering dipakai Andi ternyata rokok elektrik tanpa asap. Kalau tau dari awal yakin tidak akan jatuh hati. Kali ini akibatnya begitu menghujam. Dan berkeinginan yang terakhir kalinya terjatuh. Berharap yang kali ini mampu menyembuhkan lukanya sekaligus.

Tapi melihat cara Andi menikmati 'istrinya' itu bikin cemburu. Sungguh tepat perumpamaan tentang rokok adalah istri kesayangan kaum Adam. Olivia mundur mumpung Andi belum tau kehadirannya. Celah di dekatnya terbuka. Tidak ada salahnya mencoba kesana. Asal terhindar dari makhluk yang satu itu.

Dan ketika berbalik ada yang mencekal lengannya.

Seketika tubuhnya membentur sesuatu. Tersentak di mukanya terpampang wajah yang begitu…

"Kamu nggak kangen sama aku?"

Olivia ternganga beberapa saat untuk kemudian menyadari,

"Bukankah kamu sudah bersama istri kesayanganmu? Nikmati saja sepuasmu!"

ketus Olivia sembari melepaskan diri dari dekapan yang bikin meleleh itu.

"Memang ada yang harus dibayar jika kamu ingin aku meninggalkannya, Liv'e!"

Bibir Andi menelusuri leher jenjang Olivia yang berusaha memeronta "Karena kamu yang maksa aku untuk melakukannya, Liv'e"

Olivia berbalik dan hendak menampar. Tangannya sudah keburu dicekal Andi.

"Tidak, Liv'e! Jangan membiasakan diri dengan tindakan seperti ini!"

Andi memepet hingga punggung Olivia menempel di dinding lalu menciumnya. Tidak memberi kesempatan menghindarinya.

"Mengapa? Kamu sengaja mengundang orang untuk berbuat sesuatu padamu? Kamu tidak tau kan kalo apa yang kamu lakukan sangat menggangguku? Sampai aku harus mengalihkannya pada hal lain? Apa kamu mau tanggung jawab atas hal itu?"

Tangan Andi menggerayangi.

Apa maksud Andi?

Rasa takut sekaligus mendamba. Marah namun ingin mempertahankan. Tubuh Olivia tidak mampu melawan hasrat yang membakar itu. Ingin ia berontak tapi gerakannya seperti dikunci. Semua teori tentang pertahanan diri menguap entah kemana. Sekuat tenaga mendorong tubuh kekar yang menghimpitnya.

"Cukup! Cukup Andi! Kamu menyakitiku!"

Iya, sakit Olivia. Hatinya sakit. Olivia menangis dalam dekapan Andi. Tubuh keduanya meluruh.

Andi tertunduk lesu. Olivia menjauhkan diri dari Andi.

"Oh! Di luar negeri aku harus patuh sama adat ketimuran! Disini malah ada yang datang ke undangan hanya pakai kemben! Kamu  belum sempet mandi, ya hanya sempet pakai basahan kayak gitu?"

"Hei! Kamu! Kamu nggak punya kuping atau pura-pura tuli?"

Masih terdengar suara yang sama. Olivia pernah mendengar suara ini tapi dimana?

Badan Olivia masih gemetar. Sosok Andi menghilang entah dimana. Tapi pelukan itu masih nyata terasa.

Perlahan Olivia menatap sosok wanita di depannya. Di ruangan itu hanya mereka berdua. Dan mata wanita itu tajam memandangnya. Mengintimidasi layaknya bangsawan. Tatapannya menilai. Seolah semua gerak-gerik  bisa terbaca olehnya.

Olivia seperti tidak memiliki muka lagi saat ini. Ia tidak ingin membela diri lagi. Kalau sakit demi sakit hati yang dialaminya bisa mengurangi dosa-dosanya maka Olivia pasrah. Hanya saja ia tidak menyesal karena tidak berniat telanjang di depan umum. Kalo soal kesopanan, Olivia mendapat tolok ukur dari para finalis Puteri maupun Miss Indonesia lewat reality show yang disiarkan Tv.  Busana tradisional modern yang bisa diterawang tuh kulit mulusnya Saking tipis dan transparan.

Olivia memeluk tubuhnya sendiri. Udara disini jadi terasa menusuk kulit. Olivia mau pulang. Bukankah dari ia masuk juga ingin segera pulang? Bahkan Olivia sama sekali tidak memikirkan jamuan makan istimewa untuk setiap tamu undangan meski lapar. Dia belum makan sesuap pun dari tadi. Apa yang ditemuinya makin memicunya untuk segera mencari jalan keluar dari sini.

"Maaf! Apa saya boleh tau dimana pintu keluar!"

Olivia terbata. Tidak ingin memikirkan hal lain kecuali sesegera mungkin pergi dari sini.

Olivia menahan diri. Apa yang ia dengar menyakitkan tak ingin diambil hati. Sosok wanita cantik itu yang ia lihat tadi begitu ia masuk. Yang mendapat potongan kue yang pertama dari Andi setelah ibundanya. Olivia hanya berusaha menguasai dirinya sekarang. Ia mengangguk dengan ungkapan terima kasih ketika tangan wanita cantik itu perlahan menunjuk ke suatu celah yang baru terbuka.

Mendadak ruangan ini meluas berkali-kali lipat begitu celah yang ditunjuk wanita cantik itu terbuka.

Bagaimana Andi merancang taman di depan rumahnya jadi ruangan pesta?

Atap portabel dengan seiling begitu tinggi? Atap itu membuka. Bagaikan sebuah gedung Opera. Olivia baru menyadari dirinya berada di pendapa rumah Andi.

Olivia tidak ingin tau lebih lanjut mengapa bisa begitu. Yang ingin segera ia lakukan bersegera mencapai pintu keluar itu.

"Begitu sikap kamu bila diundang? Tidak kasih salam? Tidak pula berpamitan? Apa kedua orang tua kamu tidak mengajari sopan santun? Orang tua macam apa mereka?"

Olivia mengenali suara ini. Tapi Putri tidak pernah berbicara sekeras ini. Olivia masih bisa terima orang yang mencacinya. Namun ketika ada yang menyinggung kedua orang tuanya, kok, terasa begitu mengusik keterdiamannya. Apalagi Putri. Kalaupun ia salah tidak ada hubungannya dengan kedua orangtuanya…

"Maaf! Hukum Saya jika Saya bersalah.. Tapi, Saya mohon jangan membawa-bawa nama orang tua Saya jika Saya yang bersalah! Tolong...!"

suara Olivia hampir tercekik. Luapan rasa antara marah, kesal, sedih, kecewa jadi satu.

Olivia tidak mampu membela diri. Ia begitu menghormati Putri. Dadanya terasa sesak. Mukanya memanas. Tidak bisa mencegah air matanya yang lolos. Menganak sungai.

"Sudah cukup shock therapy untuknya!"

Ada bahu yang memeluknya. Betapa bahu Olivia terguncang ketika papanya tak disangka-sangka darimana datangnya mendekapnya erat. Membiarkan tangisannya tumpah. Diselingi wejangan demi wejangan yang disampaikan. Sontak menghentikan tangis Olivia. Menatap  papanya tanpa kata dengan mata sembab.

"Rasa tidak bisa kamu cegah! Suka dan sayang adalah karunia! Tapi hati punya pilihan dengan siapa kamu bertahan!"

Pak Rudy mengusap sayang kepala Putri semata wayangnya. Memaknai momen mengikhlaskan tanggung jawab pada yang lebih berhak atas dirinya

"Waktu tidak bisa ditunda, Liv'e! Apa keputusanmu? Pada siapa kamu serahkan kepercayaan semua urusan kamu?"

*******