webnovel

GADIS 100 MILIAR

Zizi tidak pernah menyangka papanya yang sangat menyayanginya telah menjualnya pada seorang pengusaha kenalannya. Hidupnya berubah dalam semalam. Dimulai dari pesta palsu yang berakhir tragis hingga hampir saja dia kehilangan keperawanannya, lalu dikurung di sebuah mansion. Pengusaha yang membelinya memiliki kepribadian ganda. Suatu waktu dia sejahat monster, di waktu yang lain dia menjadi sebaik malaikat. Pria itu selalu berhasil mengaduk-aduk perasaannya. Dia melukainya, namun dia juga yang menyembuhkannya. Pria bermata hijau juga berhasil memenangkan hatinya, membuatnya jatuh cinta dan mencintai dengan sepenuh hati untuk pertama kalinya dalam hidupnya. * Novel ini awalanya bercerita tentang Zizi, seorang gadis berumur 27 tahun, yang dijual ayahnya seharga 100 miliar rupiah pada kolega bisnisnya yang bernama Andres, seorang pria blasteran Indonesia-Spanyol berumur 31 tahun. Benih-benih cinta muncul sejak pertemuan pertama mereka di malam pertama Zizi diantarkan papanya ke rumah Andres. Zizi yang memimpikan pria bermata hijau dan Andres yang mencari perempuan bermata hitam menyuburkan benih-benih cinta yang tumbuh. Kisah cinta mereka diselingi kisah-kisah cinta dari orang-orang terdekat: sahabat Andres bernama Dika, adik Zizi bernama Betrand, sepupu perempuan Andres bernama Ariel dan banyak tokoh lainnya yang akan muncul secara bertahap.

Giralda_Blanca · perkotaan
Peringkat tidak cukup
170 Chs

NONTON FILM BERDUA

Beberapa waktu yang lalu Andres sedang bersandar di sofa ruang perpustakaan. Tangannya memegang novel yang terbuka sedangkan kepalanya menghadap langit-langit. Dia sedang memikirkan gadis itu. Lagi-lagi pikirannya dipenuhi gadis itu. Dia mendesah. Dia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Dia menaruh bukunya di atas meja kemudian keluar. Langkah kakinya membawanya memasuki kamar gadis itu. Dia tidak menemukannya di kamar. Andres mencarinya ke seluruh ruangan hingga menemukannya berdiri di depan tembok di sudut belakang rumahnya. Lagi-lagi Andres tidak bisa menahan diri di dekatnya. Dia menyesal sudah menciumnya lagi dan lagi hingga membuatnya ketakutan dan menangis.

"Ini yang terakhir," ucapnya pada gadis itu dan janjinya pada diri sendiri.

Gadis itu masih menatapnya dengan wajah pias. Andres tersenyum dan mencubit pipinya. Dia juga mengelus ubun-ubunnya. Tatapan gadis itu berubah melotot dan semakin menggemaskan. Andres tertawa melihatnya.

"Apa yang biasanya kamu lakukan di hari minggu?" Tanya Andres.

"Aku?" Gadis itu menunjuk dirinya sendiri.

Andres menjawab, "iya. Siapa lagi?"

Gadis itu mengerjap. Andres tertawa lagi lalu mengulangi pertanyaannya.

"Aku biasanya hangout dengan teman-teman," jawabnya dengan suara yang jelas.

"Kalau di rumah?"

"Mengobrol dengan keluarga."

"Kalau sendirian?"

Gadis itu nampak berpikir.

"Em, kalau sedang sendirian di kamar biasanya aku membaca novel atau menonton film."

"Film apa yang kamu suka?"

"Fantasi, romantis, komedi, action, sci-fi. Hampir semua genre aku suka kecuali horor."

Andres senang gadis itu tidak lagi ketakutan .

"Mau nonton film?"

"Sekarang?"

Andres tersenyum melihat wajah terkejutnya yang menggemaskan.

"Iya."

"Iya," jawab gadis itu kemudian sambil tersenyum.

Andres tersenyum lebih lebar lalu menarik tangannya. Tangan mungil itu terasa pas dalam genggamannya. Dia merasakan sesuatu yang tidak dikenalnya itu lagi. Sesuatu yang menjalar di dadanya. Sesuatu yang membuat bibirnya tersenyum.

"Mau nonton film apa?" Tanyanya ketika sampai di ruang Home Teather.

Gadis itu mengangkat bahu, "terserah."

"Ter-se-rah." Dia mengulangi jawabannya. "Ini rumit."

"Kamu saja yang pilih," bujuk gadis itu dengan nada sedikit manja.

Andres berpikir sejenak. "Kamu tidak kesulitan dengan subtitle berbahasa Inggris?"

"Tidak."

"Ok."

Andres ikut bergabung dengan gadis itu di atas sofa setelah menemukan film Spanyol yang menurutnya cocok, film yang ringan dengan bumbu komedi dan adegan romantis. Dia mengulurkan tangan kirinya melewati leher gadis itu dan mendekatkan tubuhnya. Dia dapat merasakan tubuh gadis itu menegang. Gadis itu bisa saja mendorongnya kalau dia merasa risih atau mungkin dia diam saja karena takut padanya.

"Kamu takut?"

Gadis itu tidak menjawab. Ada rasa ngilu di dadanya. Dia menarik tangannya dan menggeser posisi duduknya menjauh.

Andres tidak terlalu memperhatikan film. Dia sudah menontonnya bersama adik perempuannya. Kini dia lebih tertarik memerhatikan gadis itu. Ini pertama kalinya dia melihatnya tertawa. Andres menemukan fakta kedua bahwa dia merasa bahagia melihatnya tertawa.

"Kamu suka?" Tanya Andres setelah film selesai.

Gadis itu menjawab sambil tersenyum, "iya, tapi aku merasa endingnya terlalu cepat. Mm, aku penasaran apakah hubungan mereka bisa berjalan atau tidak."

"Mengapa kamu meragukannya?"

Gadis itu berpikir sejenak. "Keduanya mengaku sangat mencintai mantan pasangan masing-masing. Ok, Irene sudah dua kali disakiti, tapi dia selalu bisa kembali pada mantan kekasihnya."

"Hanya yang pertama," Andres meralatnya.

"Oh, iya."

"Lalu?"

"Mm, Carlos dan Maria. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Ada banyak kenangan yang bisa mengingatkan Carlos padanya."

"Kamu akan kembali pada mantanmu yang selingkuh?"

"Tidak, tentu tidak. Aduh, mengapa jadi aku?"

Andres ikut tertawa melihat gadis itu tertawa.

"Sebenarnya bukan itu masalah utamanya," desah gadis itu.

"Lalu apa?"

"Usia mereka terpaut 10 tahun. Irene terlihat kekanakan dan Carlos dewasa. Kamu tahu perbedaan itu. Mungkin saja itu bisa jadi masalah di masa depan?"

"Kurasa tidak kalau mereka saling mencintai. Mereka menyadari perasaan itu. Itu mengapa mereka tidak bisa kembali pada mantannya, karena ruang di hati mereka telah terisi kembali. Menurutku, perbedaan itu malah bisa melengkapi satu sama lain. Sifat kekanakan Irene, ide-idenya yang tak terduga bisa mewarnai hidup Carlos yang monoton. Dia, dia menawarkan kehidupan yang baru. Dan Carlos, sikapnya yang dewasa malah menguntungkan hubungan mereka. Dia bisa memberi perhatian yang dibutuhkan Irene."

Gadis itu mengagguk setuju. Andres terkejut mendapati dirinya bisa berbicara panjang lebar seperti ini padanya.

"Ada film romantis lainnya. Beda umurnya 20 tahun. Mau menontonnya?"

"Hubungan mereka berhasil?"

"Aku tidak suka memberi spoiler."

"Iya, aku mau." Gadis itu terlihat bersemangat.

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

Andres merentangkan tangan kirinya di kepala sofa di belakang kepala gadis itu sambil tersenyum. Gadis itu tertawa kecil lalu menggeser posisi duduknya, merapatkan tubuhnya padanya. Andres merangkulnya sambil tersenyum lebar.

***

Zizi menyesal menerima tawaran pria itu menonton film yang kedua ini. Dia mengira filmnya akan seperti film yang pertama, tanpa ada adegan dewasa yang vulgar. Lihatlah sekarang di layar itu dua orang tanpa busana saling bertindihan. Zizi merasa canggung. Posisinya sekarang menjadi tidak nyaman lagi. Pria itu bisa saja berubah lagi menjadi monster lalu menyerangnya. Zizi melirik. Pandangan pria itu terfokus pada layar. Sekarang jadi tidak mengherankan kalau ada monster bersarang di dalam tubuhnya karena film yang ditontonnya seperti ini.

Zizi menoleh pada pria itu. Dia mendapatkan ide cemerlang.

"Kamu keturunan Spanyol?" Tanyanya.

"Iya," jawab pria itu tanpa menoleh.

"Ayah atau ibu?"

"Ayah."

"Ini rumah orang tuamu?"

"Bukan."

"Rumahmu?"

"Iya."

"Mereka tidak tinggal disini?"

"Tidak."

"Tinggal dimana?"

"Di rumah mereka."

"Di Indonesia?"

"Tidak."

"Di Spanyol?"

"Iya."

"Mengapa kamu tinggal di Indonesia?"

"Karena aku ingin."

"Apa yang membuatmu ingin tinggal disini?"

Pria itu akhirnya menoleh padanya lalu menjawab, "aku lahir disini. Aku juga menghabiskan masa kecilku disini sampai umur 8 tahun. Aku mencintai negara ini. Aku ingin tinggal disini sampai aku mati."

"Wow. Em, kamu-" Zizi belum menemukan pertanyaan selanjutnya.

Ide baru muncul. Dia akan bertanya tentang hobi pria itu.

"Adegannya selesai," pria itu memberi tahu.

Zizi menoleh ke layar. Scenenya sudah berubah. Dia sedikit memperbaiki posisi duduknya dan melanjutkan menonton.

"Kamu sudah menikah?"

Zizi menggigit bibirnya ketika pertanyaan itu melarikan diri dari mulutnya. Pertanyaan itu muncul dalam benaknya setelah adegan pemeran utama pria dalam film itu memutuskan hubungannya secara sepihak dengan pemeran utama wanita yang berbeda 20 tahun karena kekasihnya yang dulu meninggalkannya sehari setelah dia melamarnya datang kembali untuk menerima lamarannya.

Pria itu menggeleng sambil tertawa kecil, "apa aku terlihat seperti seorang pria yang sudah menikah?"

"Harusnya."

Pria itu tertawa lebih keras.

"Ya, seharusnya aku sudah menikah. Mengapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Mm, aku, aku membuka lemari di kamar. Aku minta maaf sudah berbuat lancang. Dan kukira itu punya istrimu, atau kekasihmu?"

Pupil pria itu membesar.

"Harusnya begitu," balasnya kemudian.

Pandangan pria itu kini berpaling ke layar tapi pelukannya semakin erat.

"Itu kamarmu. Semua barang milikmu," suaranya nyaris seperti bisikan.

Perasaan Zizi campur aduk. Dia menahan diri untuk tidak berpikir. Dia melihat sudut bibir pria itu membentuk senyuman. Tiba-tiba kepala Zizi diputar ke depan.

"Lihat filmnya atau kamu akan melewatkan ceritanya."

Ada senyuman dalam suaranya.