Kedua bola mata gadis yang berada di dalam pelukan Andin melirik ke arah Supriyanto, sedangkan pak Supriyanto yang dilirik langsung menegang kaget.
Gadis itu melepaskan pelukannya pada tubuh Andin, lalu kemudian berjalan menghampiri Supriyanto.
"Bapak Supriyanto, yah?" tanya perempuan itu dan pak Supriyanto langsung menganggukkan kepalanya dengan cepat.
"I ... Iya, Nyonya muda," jawabnya gugup.
"Loh ... Bapak kenapa kelihatan gugup banget kayak gitu, sih?" tanya perempuan itu dengan sedikit terkekeh.
"Ah ... I ... I ... Itu, non-"
"Ah ... Bapak takut sama saya, yah?" tanya perempuan itu saat setelah memotong ucapan pak Supriyanto.
Pak Supriyanto menelan ludahnya, lalu kemudian menundukkan kepalanya karena ketakutan.
"Ah ... Maaf banget kalau saya buat bapak takut dan kaget seperti ini," kata perempuan itu dengan nada suaranya yang bersalah, lalu kemudian menatap pak Supriyanto dengan sedih.
Pak Supriyanto mengangkat pandangannya dengan cepat untuk menatap kedua bola mata perempuan itu, sedangkan yang ditatap malah tersenyum dengan lembut kepada pak Supriyanto.
Pak Supriyanto keheranan dengan tingkah anak Medusa yang ada di hadapannya itu karena tingkah anak majikannya yang tidak punya hati itu jadi baik seketika.
Perempuan itu langsung menarik tas Andin yang dibawa oleh pak Supriyanto, lalu kemudian memakai tas itu dengan santai.
Andin dan pak Supriyanto keheranan saat melihat tingkah gadis remaja itu.
"Bapak tugasnya cuma buat setir mobil karena bapak supir pribadi keluarga saya, kan?" tanya gadis itu dan pak Supriyanto menganggukkan kepalanya dengan pelan.
"Jadi, untuk bawa tas kayak gini itu bukan tugas bapak," kata gadis itu dengan lembutnya.
Andin dan pak Supriyanto kaget bukan main saat mendengarkan penuturan dari gadis remaja itu. Mereka berdua sadar akan perubahan gadis remaja dengan rambut sedikit pirang itu.
Sikapnya begitu baik, ramah dan sopan, sangat berbeda dengan sikapnya beberapa tahun yang lalu.
Gadis remaja itu membalikkan badannya, lalu menatap sang mama dengan lembut.
"Mommy, dimana, Snow?" tanya perempuan itu dan Andin dan pak Supriyanto kembali kaget dengan pertanyaan wanita itu.
"S ... Snow?" tanya Andin dengan gugup.
"Ka ... Kamu cari anak sialan itu?" tanya Andin lagi dengan nada suaranya yang datar.
Anak pertama Andin itu mengangguk sebagai jawaban.
"Iya ... Emangnya, siapa lagi kalau bukan Snow adik aku?" tanya perempuan itu lembut.
"Ah ... Mommy juga jangan panggil Snow dengan panggilan seperti itu lagi, yah?" kata perempuan itu dengan lembut kepada sang mama.
"Ha?! Kamu kenapa, sih?!" tanya Andin karena sudah muak dengan sikap anaknya.
Perempuan itu mengangkat sebelah alisnya.
"Aku kenapa?" tanyanya heran dengan pertanyaan sang mama.
Andin memegang kepalanya yang terasa begitu pusing, lalu kemudian menatap anaknya itu dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Kamu nggak lagi demam, kan? Atau tadi pas flight, kepala kami kejedot jendela pesawat, nak?" tanya Andin kepada anak perempuannya itu.
Andin memutar tubuh anaknya berkali-kali dan berharap agar dia tak mendapatkan luka pada anaknya itu, tetapi dia tidak menemukan luka apapun.
"Astaga Mommy. Kenapa Mommy malah mutar-mutar badan aku, sih?!" tanya perempuan itu kesal.
Andin menghentikan aktifitasnya, lalu menatap anaknya itu dengan tatapan yang khawatir.
"Kamu kenapa berubah kayak gini, sih, nak?! Bukannya dulu kamu benci banget sama anak sialan itu?!" tanya Andin tak percaya.
"Kamu bahkan dengan berani mau bantu pak Supriyanto!" kata Andin lagi dengan panik.
"Ah ... Memangnya kenapa, Mom?" tanya perempuan itu heran.
"It's not your!" pekik Andin sambil menatap anak perempuannya.
Perempuan itu tertawa pelan.
"Mommy ada-ada aja, sih?! Ya kali ini bukan aku. Ini aku, Mom, anak Mommy," katanya lembut.
"Tapi-"
"Sstttt ... Memangnya salah kalau misalnya aku mau berubah jadi baik?" tanya perempuan itu usai memotong ucapan Andin.
Pak Supriyanto malah menganga dengan begitu lebar saat mendengarkan penuturan dari perempuan yang ada di hadapannya itu.
"Non Kinara udah insaf, kah?" tanya pak Supriyanto di dalam hatinya keheranan.
***
"Non! Non Snow! Non Snow mau kemana atuhhh!" pekik Bi Lastri saat melihat Snow tengah memasang sepatu sekolahnya.
"Saya teh kau ke sekolah, Bi. Emangnya Bibi nggak lihat kalau saya mau pake sepatu sekolah saya?" tanya Snow sambil terkekeh pelan.
Bi Lastri menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Jangan atuh non. Non Snow masih sakit atuh ... Saya gak mau kalau non Snow malah ada apa-apanya di sekolah nanti," kata Bi Lastri dengan khawatir.
Snow menggelengkan kepalanya dengan lembut.
"Bibi tenang aja, Snow bakalan baik-baik aja, kok. Snow cuma pusing dikit," kata Snow lembut.
"Tapi-"
"Bi Lastri tenang aja," potong Snow.
Bi Lastri menghela nafas panjang, lalu kemudian menatap Snow denhan sedih.
"Ah ... Tapi, Non ... Bukannya sekarang udah mau masuk jam sembilan atuh? Gak apa-apa?" tanya Bi Lastri dan Snow langsung terdiam di tempatnya.
"Non?"
"Ah ... Nggak apa-apa kok, Bi!"
"Tapi, Non, saya takut kalau Non malah dihukum sama guru nanti. Gimana kalau misalnya non dihukum sama guru?"
Snow tersenyum tipis.
"Nggak akan, Bi," kata Snow.
Bi Lastri menatap Snow dengan sedih.
"Ya udah atuh non ... Hati-hati yah, kalau non ngerasa gak enak, langsung aja ke ruang kesehatan atau telfon Bibi biar nanti Bibi jemput non Snow di sekolah," kata Lastri dan Snow menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
***
Snow kini berjalan cepat agar bisa menjauh dari rumah ibu tirinya.
Snow menghela nafas panjang, lalu kemudian duduk di tepi jalan usai menghapus keringatnya dengan pelan.
"Hah ... Capek..." lirih Snow sambil menghembuskan nafas panjang.
Snow mengitari pandangannya untuk mencari sesuatu, tetapi detik berikutnya dia menundukkan kepalanya.
"Mau kemana lagi aku?" tanya Snow pelan dan kebingungan harus kemana.
Ya, hari ini Snow tak ada niat untuk masuk sekolah dan alasan masuk sekolah yang dia katakan kepada Bi Lastri hanya kebohongan semata.
"Aku mau ke sekolah, tapi lambat banget. Mau jalan, tapi pusing banget. Aku harus apa?" tanya Snow keheranan.
Snow mengangkat pandangannya sambil menatap langit cerah itu dengan nanar.
Snow perlahan mengangkat tangan kanannya ke udara, lalu menggerakkan tangannya seakan-akan dia tengah menggenggam matahari.
"Apa tuhan bisa lihat Snow?" tanyanya di dalam hati sambil terus menatap matahari yang ada di atasnya dengan sedih.
"Kalau Tuhan bisa lihat Snow, Snow mohon sama tuhan, biar Tuhan kasih pundak yang kuat buat Snow agar Snow bisa bawa semua beban ini," lanjut Snow lagi di dalam hatinya.
Snow menurunkan tangannya secara perlahan, lalu kemudian menekuk lututnya secara perlahan.
"Mama ... Papa ... Kalian dimana? Tarik Snow ke surga. Snow rindu kalian berdua," batin Snow di dalam hatinya sambil perlahan memecahkan tangisannya dengan pelan.