webnovel

Fons Cafe #2

Tatsuya Maruyama is a success lawyer. Alexander Kougami is genius physic teacher. Carlos Takamasa is the womanizer scriptwriter. Leonardo Shibasaki is the cold hand oncology surgeon. David Kajima is the funniest comedian of the year. Kris Aikawa is the funky business man. They all have the same problem about woman. --- Berteman sejak masa sekolah, menjadikan mereka berenam selalu paham satu sama lain, dan hingga pada akhirnya satu per satu di antara mereka pun memutuskan untuk mulai melangkah dan mencari pasangan hidupnya. Setelah Tatsuya, Alex dan Carlos menemukan tulang rusuk mereka. Mungkin kisah ini sudah selesai bagi mereka bertiga. Namun, tidak demikian bagi Leo, David dan Kris! Apakah Leo, David dan Kris mendapatkan kesempatan mereka juga untuk bahagia?

Abigail_Prasetyo · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
46 Chs

Episode 82

Tidak perlu waktu lama bagi Kris untuk menunggu kapan dia harus menakamkan Erika. Setelah dinyatakan jam kematiannya, Kris langsung mengurus segalanya.

Bahkan tempat pemakaman elit. Tentu saja, di bantu oleh Alex, yang saat itu masih menjadi mahasiswa tingkat akhir. Pada masa inilah Kris kehilangan dirinya.

Dia enggan untuk kembali ke Jepang. Dia juga tidak mau tinggal bersama keluarganya. Alhasil, dia pindah dari rumah yang baru di tinggalinya selama beberapa bulan dengan Erika ke rumah barunya.

Tapi saat itu, dia masih kacau. Pernah satu kali, Kris di dapati pingsan tergeletak di dekat kompor gas yang sedang menyala. Atau, pernah juga di lihat bahwa Kris sedang berkali-kali memukul kepalanya kepada tembok.

Depresi.

Autisme.

Itulah vonis dokter. Kris sendiri jadi antipati untuk datang ke rumah sakit. Dia enggan untuk ke rumah sakit. Memasuki rumah sakit, dan menghirup bau sterilnya.

"Kris? Kau baik-baik saja?" Tanya Leo, yang kala itu ada di rumahnya, "Hei, kawan, kau pasti tidak akan mau melihat dirimu saat ini kan?"

Tidak ada respon.

-----

Kris di bawa ke sebuah tempat rehabilitasi. Orangtuanya menitipkan Kris pada Alex untuk di jaganya.

"Kris, kau baik-baik saja?"

Satu hari, saat Alex baru pulang dari kampusnya untuk bimbingan skripsi. Saat dia sampai di tempat Kris, dia melihat Kris sedang memegang foto pernikahannya dengan Erika.

Gadis itu tampak cantik dengan gaun putih pilihannya. Sementara Kris, dihiasi wajah bahagianya. Dia yang amat mencintai perempuan itu.

Wajah Kris pada foto tersebut berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini. Matanya kuyu, badannya mengurus, jenggotnya bertumbuh, dan rambutnya mulai panjang.

"Erika cantik ya?"

Alex tersenyum ringan. Kali ini, Kris tidak histeris. Ah, jangan ingatkan Alex tentang hal-hal mengerikan itu lagi. Tentu saja hal itu membuatnya gila.

Dalam sehari, minimal akan ada lima belas barang pecah beling yang akan di lempar Kris sesuka hatinya kesana-kemari.

Alex sendiri pernah mendapatnya jackpotnya saat Kris mengamuk. Pecahan piring beling mengenai dahi mulusnya.

"Tentu saja. Siapapun pasti akan mengatakan bahwa Erika adalah malaikat," jawab Alex.

"Alex," panggil Kris.

"Ya, Kris?" Jawabnya.

"Apa kau pernah mencintai seseorang?"

Alex berdeham, dan berpikir sejenak. Selama dia hidup, hanya ada segelintir perempuan yang di izinkannya masuk ke pikirannya. Yakni, Ibunya, Neneknya, Kree, dan Rhea. Tapi, kalau hatinya... "Kalau cinta aku rasa belum. Tapi kalau suka, kau tahu sendiri betapa aku menyukai Rhea dulu."

Kris mengangguk paham. "Katakan dan dengan lantang kalau kau mencintainya.

"Apa?" Ulang Alex.

"Kalau kau sudah menemukannya, cepat bilang pada perempuan itu. Jangan sepertiku."

Alex mengerti.

Selama ini, Kris tidak pernah mengatakannya secara langsung kepada Erika. Tapi, melalui tindakannya, Erika tahu betul bahwa lelaki bernama Kris Aikawa ini mencintainya. Melebihi apapun.

"Aku menyesalinya, Lex. Seandainya aku bisa mengatakannya dengan benar. Seandainya aku... bisa mengatakan bahwa aku sangat mencintainya..." seketika, air mata Kris pun mengalir berurutan. Dia menangisi Erika.

Melupakannya tidak akan mudah seperti mencintainya selama beberapa tahun.

Kris pun kembali. Tepat pada bulan Agustus 2006, dia keluar dari rehabilitasi, dan mulai ke kehidupannya lagi. Dia tidak melupakan Erika tentunya. Tapi, dia merelakannya.

Dia pun mulai membuka Fons, yang di anggapnya sebagai sampingan dari pekerjaannya di Shourai Tech. Indonesia. Hari-harinya pun monoton, tidak ada yang spektakuler.

Saat Tatsuya, Alex, Carlos, Leo dan terakhir, David. Satu per satu mereka menikah dan memiliki keluarga masing-masing. Kris masih tidak mau membuka hatinya untuk siapapun.

Bahkan Kree sekalipun, yang sudah mati-matian mengejarnya menyerah. Tidak ada yang bisa menggantikan sosok Erika bagi Kris. Sampai Michiko pun hadir.

-----

Chiko menelan ludahnya. Matanya membengkak. Dia benci mendengar cerita mengenai Kris.

"Chiko..."

"Kau tahu?" Tanya Chiko saat Kris mulai memanggilnya.

Chiko ditemui Kris di taman apartemen Chiko. Kris pun menceritakan segalanya. Dan tanggapan Chiko ternyata ada di luar dugaan Kris.

"Ku kira kau benar-benar orang yang sangat pemilih karena belum menikah sampai 36 tahun. Tapi ternyata, aku tidak tahu kalau kau adalah lelaki pengecut!"

Kris tidak marah. Usianya yang jauh di atas Chiko membuatnya lebih berkepala dingin, dan sabar untuk menghadapinya.

"Selama ini kau mengatakan menyukaiku, dan mencintaiku, ternyata itu hanya di bibirmu saja? Dan perasaanmu tidak demikian?"

"Chiko," panggilnya.

"Lupakan soal hubungan gila yang kau dan aku miliki selama beberapa bulan terakhir!" Serunya geram, "Jadi perawan tua sekalipun akan lebih baik ketimbag menjadi istri dari orang sepertimu!"

Chiko meninggalkan lokasi pembicaraannya dengan Kris, lalu hendak masuk ke dalam lobby apartemen, saat Kris memanggil namanya lagi.

"Chiko, aku berusaha melupakannya. Aku sudah merelakannya selama sepuluh tahun," katanya lantang, "Tapi melupakan seseorang yang pernah singgah dan berlabuh di hatimu selama beberapa tahun bukan suatu hal yang mudah bagiku terutama."

Chiko masih dalam posisinya yang memunggungi Kris, lalu dia berkata. "Jika, dan hanya jika, kau menemuiku dan Erika pada saat yang bersamaan dulu, manakah yang akan kau pilih? Erika Si Sempurna atau Michiko yang berusaha menjadi sempurna?"

Kris memikirkannya. Ini sulit, dan dia tidak bisa--

"Bahkan kau saja tak tahu dimana perasaanmu berada dan untuk siapa."

-----

Malamnya, Kris memukul meja Fons berkali-kali. Stok vodka yang di simpannya sudah habis. Kini, lelaki iu sudah mabuk berat. Jangankan menyetir, berjalan saja dia tidak sanggup.

"Dimana Kris?" Tanya David, saat masuk ke dalam Fons, kepada Bartender yang ada di sana. "Oh sial, dia selalu mengomel kalau Fons akan turun pamor jika ada orang yang mabuk-mabukkan disini. Tapi lihatlah, dia sendiri mabuk dan disini!"

Kemudian Tatsuya, Alex dan Leo menyusul. Carlos pun datang bersama Rhea. "Astaga, bau alkohol sekali!" Seru Rhea.

"Sesuatu yang buruk," kata Alex, "Tidak, tapi sangat buruk baru saja terjadi kurasa. Dan hal ini, mengguncang pikirannya lagi seperti dulu."

Kris sudah tidak sadarkan diri. Tapi mereka juga tidak bisa meninggalkan Kris begitu saja di sini sendirian bukan?

"Baiklah, kita bicarakan lagi ini besok setidaknya. Tapi, siapa yang akan membawanya pulang?" Tanya Carlos.

Semuanya saling pandang. Pastinya tidak ada yang mau membawa orang mabuk berat seperti ini pulang bukan?

"Gaby sedang hamil muda, dan kurasa ini bukan ide yang bagus untukku, jadi maafkan aku, Kawan," kata Tatsuya.

"Di rumahku ada Bibi, dan adikku, dan sepupu. Aku tidak punya ruang lain lagi di rumahku untuknya tidur malam ini," tambah Leo untuk sekedar menginformasikan.

"Aku--" David kini mulai mencari-cari alasan agar malamnya tidak di ganggu. "Aku.."

"Baiklah." Alex menengahi. "Intinya kalian semua tidak mau membawa Kris pulang bukan?"

No answer. Tidak ada jawaban.

"Baiklah, aku yang bawa pulang saja. Steffi tidak sedang hamil muda, rumahku hanya di isi aku, istri dan anakku saja. Dan aku juga tidak akan menanyakan orang lain untuk memintanya membawa Kris pulang, dan juga tidak mencari-cari alasan agar malam hariku tidak di ganggu karena ada orang lain."

Alex gerah melihat sahabat-sahabatnya yang kadang terlalu egois untuk hanya sekedar memerhatikan yang lainnya.

Tapi Alex tahu kalau dia berdebat lebih lama lagi, malah urusannya akan lebih panjang. Jadi, dia putuskan untuk membawa Kris pulang ke apartemen miliknya untuk menginap.