"Kami satu SMA dulu dan kami pacaran. Tapi keluarga Galih nggak suka sama gue, karena keluarga gue bukan orang penting." Merry menghela napas berat. "Kayak sinetron gitu, ortu dia ngancem bakal bikin keluarga gue susah kalo nggak jauhin Galih. Sialnya Galih tahu dan ngamuk ke keluarganya. Dia tetep pengen sama gue.
"Akhirnya kejadian dan jadi Star. Tapi gue udah bilang kalo gue minta putus biar bisa fokus kuliah di London. Padahal gue cuma ke Jogja kuliahnya. Itu juga nunda setahun buat nutupin hamil gue. Selama ini Galih nggak tahu kalo Star ada. Dia tahunya gue nggak hamil. Dan gue udah bilang sama dia kalo gue bahagia sama cowo lain. Padahal itu si Rome yang nggak doyan apem."
Kaget juga denger Merry punya cerita kayak gini. Selama ini kami pikir dia nggak nikah karena kayak gue, si laki nolak tanggung jawab. Ternyata nggak, hubungan mereka nggak direstui sama ortunya Galih.
"Kenapa lo nggak jujur aja sama Galih?" tanyaku, antara penasaran dan kali aja bisa nemu solusi.
"Dengan ngorbanin keluarga gue? Mending gue kehilangan dia ketimbang kehilangan keluarga." jawab Merry getir.
"Lo masih suka sama dia?" kini Selly yang tanya.
"Nggak tahu. Gue aja bingung gimana sekarang perasaan gue. Kadang pengen damprat dia, apalagi pas liat dia ketawa bahagia sedangkan gue kudu berkorban buat Star."
Aku cuma bisa elus lengan Merry buat kasih semangat. Aku tahu ini nggak mudah buat dia, karena aku juga pernah ngalamin yang namanya penolakan. Bedanya, keluarga Merry masih support.
"Itu juga alasan lo nggak kasih nama bapaknya buat Star?"
"Iya lah. Langsung ketahuan dong kalo gue pake nama bapaknya. Secara mereka kayak gitu bisnisnya."
"Hey, diatas langit masih ada Angga Narendra tau. Jangan kecil hati gitu." kok agak geli ya sama omongan Selly?
Diatas langit masih ada Angga Narendra? Bukannya diatas langit masih ada langit ya seharusnya?
"Yah, apapun itu, gue cuma nggak mau aja keluarga gue jadi korban keegoisan gue." ucap Merry, menutup secuil kisah hidupnya.
Setiap orang punya cerita mereka masing-masing. Jelas ada perjuangan untuk bisa sampai di titik sekarang ini. Yang orang lihat adalah apa yang tampak dipermukaan aja, mereka nggak liat gimana kami berjuang untuk bisa seperti sekarang.
Kira-kira gitulah gambaran hidup orang. Dan itu juga yang aku dan Merry lalui. Orang-orang nggak tahu gimana kami berjuang untuk tetap menegakkan kepala kami ketika berjalan, sedangkan mereka sibuk mencela kami. Kami sadar kok akan kesalahan kami, makanya kami berusaha untuk memperbaikinya dan menjadi lebih baik.
"Semangat, Kakak. Lo udah sampe di tempat lo berada sekarang, itu artinya lo mampu. Dan sekarang lo juga pasti bisa melewatinya." ucapku memberi semangat.
"Kalian berdua emang hebat. Gue salut sama kalian yang terus berjuang buat lanjutin hidup." Selly tiba-tiba mellow.
Heran deh, nih anak kok bawaannya mellow mulu sih?
"Lo napa, Sel, mellow mulu?" tanyaku penasaran.
"Masa sih? Perasaan b aja sih." elaknya. Tapi jelas dong aku dan Merry tahu kalau Selly lagi nggak baik-baik aja.
Nggak perlu pancingan kalo mau bikin Selly nyerocos macam kereta api. Cukup dipandangin aja barengan, dia bakal langsung cerita kok. Biasanya sih gitu, dan masih gitu kok ternyata.
Selly mulai sesenggukan. Dia nundukin kepala sambil berusaha menghentikan tangisnya. Aku dan Merry cuma bisa kasih elusan sayang dan dukungan, tanpa nyuruh Selly berhenti nangis ataupun interupsi tangisannya.
Butuh beberapa lama sampai Selly selesai nangis. Dia nggak langsung cerita. Malah, dia natap kami berdua dengan mata sembabnya dan langsung ketawa.
"Gue plong banget bisa nangis didepan kalian. Selama ini nangis di depan Merry doang tuh kurang lengkap."
Begitulah Selly, dia emang kadang absurd banget, tapi dia adalah sahabat kami yang paling cerewet. Jangan kaget sama tingkahnya yang kadang aneh gini.
"Gue sakit hati, ternyata Alif kayak gitu. Padahal gue udah sayang banget sama dia, ke keluarganya juga gue udah deket. Beruntung banget sih gue tau sekarang ini, ketimbang besok kalo kita udah nikah. Bisa-bisa makan ati mele gue."
Kan, lagi cerita tentang hidupnya yang menyedihkan juga masih bisa bercanda.
"BTW, lo tau dari mana busuknya si Alif?" Merry tiba-tiba penasaran. Aku juga sih, tapi udah diwakilin sama Merry.
"Lo nggak tau, Kar?" bukannya jawab pertanyaan Merry, Selly malah nanya ke aku.
"Tau apa? Kok lo malah nanya sama gue?" tanyaku balik.
"Serius lo nggak tau?" Selly mencoba meyakinkanku.
"Apaan sih?" aku memandangi mereka bergantian. Sumpah, apa coba maksudnya Selly?
"Angga yang kasih tau. Dia kasih banyak bukti tentang Alif. Angga bilang lo nggak mau nyakitin gue, makanya lo nggak jujur soal itu ke gue."
"Gue cuma sekali pergokin dia jalan sama cewe lain. Pas gue tegur, dia janji bakal udahan. Eh taunya udahan sama cewe itu, mulai nyari cewe lain."
"Itu juga yang bikin lo ogah kenalin tuh laki sama anak lo?" mrembetlah pembicaraan ke aku lagi.
Jawab apa ya enaknya?
"Ya dan nggak sih." jawabku akhirnya. "Dia udah nolak Aksa, dan gue nggak mau Aksa sedih karena tahu ditolak sama bapaknya sendiri. That's why Angga ada buat Aksa."
Itu alasan utama banget yang bikin aku nggak kejar Alif lagi. Walau sebenarnya aku pengen banget Aksa punya keluarga yang utuh kayak anak-anak lainnya.
***
Lulus kuliah, aku putusin buat kerja. Emang sih, tanpa kerja Angga udah cukupin semua kebutuhanku. Tapi mau sampai kapan aku bergantung sama Angga terus? Aku bahkan belum bisa kasih kepastian sama Angga tentang hubungan kami.
"If you work, I'll only be with Tika all day long? You don't miss me?" belum juga kerja, udah dapet pertanyaan kayak gitu dari Aksa.
"Of course, I will." jawabku.
"Then, why you have to work? Did Daddy not give enough money?"
Aku pengen ketawa, tapi aku tahan. Jelas nggak baik ketawa disaat Aksa lagi ngomong serius. Tapi ucapan dia bikin aku ketawa.
"Honey, it's not about money. It's about how I will develop my skills and work." jawabku sebaik mungkin.
Meski nggak puas sama jawabanku, Aksa tetap menerimanya dan diam saja. Aku yakin banget kalo nanti dia bakal ngadu sama biangnya, trus aku kena omel berjamaah.
Dugaanku bener. Malamnya setelah Aksa tidur, Angga telepon. Dia video call biar bisa liat gimana reaksiku ketika ngobrol sama dia.
"Have the heart to leave Aksa alone?" nggak ada sapaan atau tanya kabar, langsung to the point.
"I think I have." jawabku santai. Ya sok santai aja, padahal mah deg-degan juga takut kena damprat.
"Why?"
"Bisa kita bahas pas kita ketemu aja? Aku nggak mau ada salah paham disini." itu keputusanku.
Well, aku memang berniat untuk bahas hal ini sama Angga juga. Rencananya sih mau langsung dibahas, tapi udah keduluan sama Aksa. Lagian, bentar lagi dia balik, jadi nggak perlu nunggu waktu lama kan.
Rencananya sih gitu. Tapi ya ternyata nggak sesuai sama ekpektasi. Ya udah, mau gimana lagi?
Biasanya Angga balik hari Jumat malam. Kalo lagi sibuk banget ya Sabtu pagi. Tapi tumbenan dia balik Kamis malam. Catat ya, KAMIS MALAM!
Aksa sih seneng aja bapaknya balik, nah gue? Siap-siap aja di cecar sama pertanyaan yang udah mau lompat aja dari mulut Angga.
Seperti biasa, kami selalu nunggu Aksa tidur kalo mau ngobrol. Ya ngobrol apa aja, termasuk ngobrol yang pake tanda kutip.
"Dengerin aku." aku bahkan langsung ngomong begitu kami duduk di kursi. "Alasan pertama, aku pengen mencoba hal baru. Aku pengen punya pengalaman tentang bekerja. Kedua, aku pengen bisa mandiri meski aku tahu gajiku nggak akan bisa cukup buat biaya hidup. Bahkan gaji Tika aja mungkin kurang."
"You have me." seolah aku lupa sama kehadirannya. Tentu tidak, Bambang, anda terlalu sulit untuk diabaikan.
"I know, tapi aku nggak bisa selamanya gantungin hidup sama kamu. Gimana kalo kamu nikah? Apa kata istri dan keluargamu nanti?"
"I will marry you. You will be my wife. No other." Angga langsung menegaskan.
"Oh ya? Serius?" tantangku. Ya kalo dari tatapan mata Angga sih serius. "How about Kaluna?"
Skat mat. Dia nggak bisa jawab.
"Ang, dari awal aku udah bilang, hidup kamu terlalu berharga cuma diabisin sama aku. Ada banyak hal yang harus kamu coba, selain sama aku." ucapku lirih.
Kalo udah bahas ini tuh rasanya badan dan otak auto capek. Soalnya jelas nggak bakal nemu titik tengah buat kami.
"You want me to sleep with all the girls? Taste them in my bed?" Angga malah nantang. "I'll do. You'll see it."
"No, Ang, bukan itu maksudku. You know what I mean."
"What?"
Aku pindah duduk, nggak lagi disampingnya. Duduk di pangkuan Angga dan tatap Angga tuh bisa bikin aku punya kendali atas Angga. Bukan mau sok, tapi aku cuma pengen Angga menerima keputusanku dan mendengarkanku dengan baik.
"You always be Aksa's Daddy. You always be my man. I love you, but we can't be together. Ada banyak perbedaan. Dan aku ingin kamu bahagia dengan yang lain. Kaluna, aku yakin dia perempuan yang baik."
"She is, but I can't be with her. Who should I be with?"
Mata Angga yang menampakkan kesedihan tuh bikin nggak tega. Nggak ada yang nyangka kan, Angga yang tampangnya flat dan bahkan lebih ke garang itu bisa jadi tampak menderita kayak gini. He is.