webnovel

Satu

Tisha POV

***

Dugg

“Woi! Cupu! Sakit tolol!” Aku diam saja menatap dia yang mengaduh kesakitan sambil memegang pinggangnya. Tanganku masih memegang sapu.

“Bangun Kamu! Anak Iblis!” Pekikku pada laki-laki yang kini bertelanjang dada. Dia mengangkat tubuhnya dan mengucek kedua matanya. Ku lirik salah satu tanganya yang meraih bantal dan menggenggamnya.

Bugg

Dia melempar ke arahku, namun dengan cepat ku tangkis. Soalnya, hal seperti ini sudah biasa terjadi di pagi hari. “Bangun Jus Apel Busuk!” Perintahku pada Justin. Namanya sih Justin Wibisono, tapi selalu ku plesetken jadi Jus busuk, habis dia juga mengataiku ku cupu sih.

“Bangsat lo cupu! Pergi sana! Gue mau tidur!” Protesnya sambil menggerakan kedua telapak tanganya seolah mengusiku. Aku yang kesal lalu memukulnya dengan sapu lagi.

Dulu aku takut padanya. Tapi sekarang, aku nggak akan segan buat mukulin dia kalau macam-macam. Kalau dia balas, aku cukup pintar panggil pengacara. “Bangun! Aku mau bersihin kamar. Minggir!” Teriakku.

Kalau bicara sama Justin memang harus dengan nada tinggi ala penyanyi sophran. Selain menyebalkan, wajahnya juga minta di pukul kalau di lihat.

“Ish! Nyebelin lo cupu!” Bentak Justin lalu berdiri dari ranjang dan berjalan ke luar kamar. Aku bernapas lega, lalu cepat-cepat membersihkan ranjang yang selimutnya sudah tak tertata dengan rapi.

Sumpah. Pernikahan ini nggak ada manis-manisnya sama sekali. Ku pikir saat aku setuju menikahi Justin. Mama dan Papa akan memberikan mansion ala drama korea. Tapi nyatanya Cuma apartemen studio satu kamar.

Kami sudah dua bulan menikah. Awalnya sih kita setiap hari selalu gencar melakukan perang dingin. Dan puncaknya setiap malam, Kami akan berebut siapa yang bakal tidur dikamar utama. Sampai pada suatu titik, kami lelah sendiri. Akhirnya memutuskan untuk tidur seranjang.

Lagipula, mau sebenci apapun kami. Kami tetap pasangan suami istri. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan lebih. Aku harus membersihkan kamar ini dengan cepat. Karena satu jam lagi, aku akan ada kuliah.

“Tis! Tisha! Telornya mana!” Aku mendengus kesal saat mendengar teriakan Justin. Setiap pagi mood ku akan dihancurkan oleh mahluk Iblis macam Justin.

Aku membanting sapu, kesal sendiri jadinya. Tiap hari di pagi hari selalu saja harus merawat Justin. Aku berjalan ke luar kamar menuju kearah dapur kecil itu.

“Makanya! Mata itu di pakai, Jus! Jangan mulutmu doang yang tiap hari kamu kasih bon cabe level 50” Cibirku. Aku memang dari kecil sudah diajarkan kedua orang tuaku untuk berbicara menggunakan bahasa formal kepada siapapun.

Kedua orang tuaku adalah keluarga terpandang. Kami pewaris Milidan Group yang bergerak di bidang supermarket. Supermarket kami sudah tersebar di Indonesia dengan ratusan cabang. Ibuku juga seorang Dokter, meskipun Ayahku bekerja di perusahaan Kakekku.

Justin Wibisono. Dia anak orang kaya, sebelas dua-belas lah denganku. Dia cucu laki-laki satu-satunya dari Wibis Group yang usahanya bergerak dibidang makanan, kosmetik dan restaurant. Dia sangat kaya raya, karena itu kami di nikahkan, agar jalinan bisnis mereka semakin kuat dan menguntungkan.

“Mana Telornya Tish! Lo kali yang buta!” Jawabnya ketus. Aku menarik napasku dalam-dalam lalu keluarkan. Aku harus punya kesabaran ekstra kalau menghadapi Jus buah busuk.

Aku berjalan menuju ke penggorengan dan mengambil Telur yang berada di tirisan, lalu meletakkan di piring. Setelah itu, dengan wajah ditekuk aku berjalan ke meja kecil.

Prangg

“Nih! Memang kamu itu yan buta Jus busuk!”

“Eh! Lo itu busuk! Muka lo jelek! Dandanan lo norak lagi! Ngapain sih hidup segala!”

Aku mengurut dadaku, heran sekali dulu Mama Andari ngidam apa sih waktu hamil Justin. Sudah anak laki-laki tunggal, tapi kelakuanya nggak ada manusiawinya sama sekali.

“Idih! Bilangnya aku norak. Tapi tiap malam minta dienain sama aku. Berarti seleramu kampungan dong!” Sindirku, dia langsung diam. Mampus kan dia.

Dia bilang aku jelek, bodyku nggak ada bagusnya sama sekali. Tapi setelah seminggu menikah, dia menggodaku untuk melakukan hubungan suami istri. Bodohnya juga kenapa aku mau. Padahal jelas aku tahu, dia hanya memanfaatkan tubuhku.

Tapi ya mau bagaimana lagi. Kalaupun aku menolak, tetap saja aku pasti tidak bisa. Apalagi di apartemen ini hanya ada aku dan dia. Kemungkinan tidak terjadi hal semacam itu adalah 4%. Lagipula, dia juga suamiku, hitung-hitung ngumpulin pahala.

***

Aku berlari cepat menuju ke ruangan kuliahku. Sial sekali aku hari ini, padahal tadi sudah berangkat pagi. Tapi setelah sampai di kelas aku ingat tugasku tertinggal. Ini semua gara-gara jus buah busuk yang sedari pagi menyuruhku, sampai aku lupa dengan barang-barangku sendiri.

Berdiri di depan pintu, ku lirik dari bilik ternyata dosenku sudah berangkat. Mampuslah aku. Mana ini kuliah dari dosen killer. Biasanya kalau telat ada batasanya, sebelum lima belis menit boleh masuk. Tapi Dosen ini tidak, beliau tidak akan mentolerir satu menitpun.

“Assalamualaikum Pak” Akhirnya aku memberanikan diri masuk ke ruangan. Meskipun aku tidak yakin bisa mengikuti mata kuliah beliau.

Beliau langsung menatapku tajam, kalau sudah seperti ini, aku sudah tahu hasilnya bagaimana. “Kamu pilih keluar atau masuk tapi tidak dapat absen?” Tanya beliau.

Aku mencengkram ujung kemejaku dan menatap Pak Dani. “S-saya ikut aja Pak” Jawabku mantap. Lagipula, kalau aku pulang paling di apart sendirian. Jadi lebih baik di sini sekalian bersama Una, sahabatku.

“Baik, silahkan duduk. Berapa NIM kamu?” Tanya Pak Dani, aku lalu menyebutkan NIM-ku. Setelah itu, beliau mempersilahkan aku duduk.

Namun saat aku berjalan menuju kursi di sebelah Una yang kosong. Beberapa teman sekelasku melirikku. Namun aku masa bodo saja, tidak dapat absen jauh lebih menyebalkan dari apapun.

Aku duduk di samping Una, dan langsung di sambut dengan pelototanya. “Ya ampun, Tish” Bisiknya sambil menatap kesal ke arahku. Namun aku mengabaikanya dan membuka bukuku.

“Tish, leher lo ada cupangnya. Goblok Lo!” Ujarnya yang langsung membuat tubuhku panas. Sial, aku malu banget. Mana rambutku tadi ku ikat kuda, memang brengsek Justin.

Tapi bodoh juga sih aku, bisa-bisanya aku melupakan tanda-tanda itu. Biasanya setiap pagi kalau habis melakukan hubungan itu, aku selalu mengeceknya dan memberi concealer tapi tadi aku bingung karena ulah si Jus Busuk.

“Ya ampun, Tish. Suami lo. Ampun dah” Cibirnya pelan, di kelas ini memang hanya Una yang tahu kalau aku sudah menikah. Sedangkan lainnya tidak ada yang tahu, mampuslah aku sekarang pasti mereka sedang memikirkan hal buruk pada.

“Awas aja itu Jus busuk nanti malam kalau minta aku potong punyanya” Ujarku sepelan mungkin.

Una menatapku ngeri, “Ih sadis amat lo Tis” Ujarnya. Aku langsung melepas kunciranku dan menggerai rambutku, ku benarkan kaca mataku yang sedikit melorot.

Penampilanku setiap hari memang begini, jeans panjang dengan inner kaos dan outter kemeja dan rambut yang selalu ku kuncir kuda. Aku tidak pernah kuliah memakai tas yang hanya muat di isi Ponsel, aku lebih suka memakai ransel karena muat diisi laptop dan buku-buku lainnya. Selain itu, aku juga suka memakai sneakers daripada high heels yang kadang bikin aku oleng.

Aku juga jarang memakai make up kalaupun pergi kuliah aku paling hanya memakai bedak tipis dan lipstick warna merah biar tidak pucat. Lagipula kulitku nggak terlalu eksotis. Memang dasarnya Jus busuk aja tuh yang suka ngurusin hidup orang.

Biar dibilang penampilanku norak, aku nggak peduli. Toh aku udah laku dinikahin Jus busuk anak orang kaya. Daripada pacarnya Jus busuk yang selebgram terkenal di kampusku ini, dia cantik kulitnya putih kayak orang korea. Cantik banget lah pokoknya, makanya Jus busuk selalu bandingin aku sama dia.