webnovel

4. Pemberian obat

"Xena, apa yang Kamu lakukan di sini sendirian?" tanya Kurt yang sedari tadi mencari putrinya usai bertansaksi.

"A-Ayah? Aku tidak sendi--" Viola melirik ke arah Dewa yang mengaku Tampan itu. Dia terlihat memberi kode telunjuk pada jemarinya.

"Oh-oh-oh ... tadi ada anak kecil bertengkar. Jadinya aku ke sini untuk melerai mereka."

Kurt menoleh ke segala sisi. "Mana anak-anak kecil itu?"

"Setelah aku lerai, mereka pergi."

Dari belakang Kurt, muncul seorang gadis dengan rambut lurus panjang bewarna blonde. Wajahnya tirus dan terlihat cantik. Kurt, sepertinya mengenal gadis itu. Tetapi gadis itu tidak mengenal mereka dan terlihat dalam keadaan bingung.

Yang dia tahu, dia harus ke tempat ini untuk menyelamatkan seorang Dewa yang diserang oleh kelompok anak kecil. Namun, tak ada pria tua, dan tak ada pula kelompok anak kecil.

Kenapa ceritanya berbeda dari yang aku baca? Siapa orang-orang ini?

"Nona Hoachman, apa yang Kamu lakukan di sini? Apa kalian berdua janjian di sini?" tanya Kurt yang memecahkan keheningan di antara mereka.

Viola kembali melirik sang Dewa Tampan. Sepertinya dia mulai tahu siapa gadis ini. Dia adalah protagonis sesungguhnya yang akan bertemu dengan Dewa yang ada di dekatnya ini.

"Xena, kenapa Kamu hanya diam saja? Bukankah Nona Hoachman ini teman sekolahmu?"

Viola melambaikan tangannya dengan perasaan gugup. "Hai!" sapanya.

Kurt menatap anak gadisnya, kepala sedikit terteleng karena heran. Ini bukan lah salam sapa yang biasa dilakukan di kota ini. Viola melirik Dewa Tampan mempraktikan tata cara salam para gadis di sini. Viola pun meniru, dengan menyilangkan salah satu kaki ke belakang, mengangkat sedikit ujung gaun yang dikenakan. Kaki ditekuk, lalu kepala sedikit menunduk.

"Seperti ini yang Ayah maksud?"

Dewa terlihat puas, dia merasa berhasil mengerjai perempuan dari dunia lain ini. Kurt semakin mengerutkan keningnya. Dia menggelengkan kepala.

"Bukan kah itu salam untuk orang yang dihormati? Kenapa Kamu tiba-tiba lupa begini Xena?"

Viola melirik kesal ke arah Dewa yang terkekeh. Lalu mendekat ke arah seorang gadis yang sebaya dengannya itu. "Halo Sesillia, apa kabar?" Xena mengulurkan tangannya.

Gadis itu juga terlihat gugup, lalu menjabat tangan Viola. Dia juga tidak mengenal gadis yang bersalaman dengannya ini. "Ba-baik."

"Kalau sudah selesai, kita kembali pulang terlebih dahulu." Kurt berjalan mendahului kedua gadis ini. Viola melambaikan tangan, lalu mengikuti sang ayah di dunia novel ini. Dewa mengikuti berjalan dengan santai.

"Dia juga dari duniamu!" bisik Dewa Tampan.

Mata Viola membulat terkejut. "Ternyata bukan aku saja yang terlempar ke novel ini?" bisiknya.

"Apa maksudmu dengan novel? Apakah kami yang ada di sini semua hanya lah fiksi bagimu?"

Viola hanya tersenyum tipis. "Apakah Anda tidak bisa dilihat oleh orang lain, Dewa?" Dewa hanya terlihat menggelengkan kepala.

Kurt memperhatikan gadis belia ini sedang asik berbicara sendiri. Kurt menghentikan langkah dan memeriksa kening Xena ini. "Kamu tidak demam."

Viola mulai sadar sang ayah sedang kebingungan mulai merangkul lengan pria ini. "Aku baik-baik saja, Ayah."

Kurt menganggukan kepala. Lalu melanjutkan perjalanan menuju istana. Mereka akan membuat ramuan langsung menggunakan peralatan yang ada di istana. Mata Viola pun membulat melihat kemegahan dan kemewahan istana kerajaan ini.

Kurt langsung menuju ke ruang kerja bersama putrinya. Viola asik memperhatikan ayahnya ini meracik ramuan yang tak pernah dilihat semasa hidupnya. Tugas dia semasa jadi dokter umum memeriksa kondisi pasien, lalu memberi resep berdasarkan jenis obat yang sesuai dengan penyakit yang diderita pasien.

Melihat seseorang meramu sendiri obat-obatan ini adalah kali pertama baginya. Setelah diramu, rempah-rempah tersebut direbus hingga menyusut dalam skala tertentu.

"Nah, obatnya sudah jadi. Sekarang Kamu boleh mengantarkan obat ini langsung kepada Putra Mahkota." Viola menggeleng sedikit gugup.

"Kenapa tiba-tidak mau? Bukan kah Kamu paling suka saat giliran mengantarkan obat kepadanya?"

"Ta-tapi?"

Viola merasa bingung, karena seingat yang dia baca Putra Mahkota akan merayu Xena pada bagian ini. Akan terjadi ciuman pertama Xena dan sekaligus ciuman yang terakhir. Esok pagi adalah waktu eksekusi jika gagal membuat Putra Mahkota tenang, dan kembali mengamuk.

Kurt mendorong gadis yang membawa semangkuk kecil obat di atas nampan untuk diberi kepada Putra Mahkota. Viola melirik Dewa tadi yang terus mengikutinya. Sang dewa terlihat mengedipkan mata. Viola menganggukan kepalanya.

Viola melangkahkan kaki dengan ragu. Menuju sebuah pintu yang sangat lebar yang merupakan pintu dari kamar sang Putra Mahkota.

"Obat untuk Putra Mahkota telah datang!"

Suara itu kembali membuat Betrand terkesiap. Dia teringat bahwa kejadian berikutnya akan ada kisah ciuman dengan putri tabib yang disukainya. Namun, sang penulis Ryby begitu kejam membuat kisah di antara mereka. Membuat mereka sekeluarga tewas dalam titah eksekusi oleh sang Raja.

Hmmm, ciuman ... Betrand penasaran bagaimana rasanya ciuman dengan gadis remaja. Wajahnya menyeringai duluan membayangkannya.

Pintu Kamar dibuka, tak lama muncul sosok gadis manis membawa nampan yang berisi semangkuk kecil obat. Gadis itu terlihat aneh, melirik sesuatu dengan kode-kode yang tidak dipahaminya.

"Sepertinya dia juga datang dari duniamu," ucap Dewa.

Mata Viola membesar menatap wajah sang Putra Mahkota benar-benar melebihi ekspektasi yang ia bayangkan. Wajahnya benar-benar sangat tampan. Viola menyilangkan kaki, dan menekukan kakinya.

"Putra Mahkota, obat Anda sudah siap untuk diminum."

Dewa terlihat mengusap dagunya. Menjentikan jemarinya, dan terlihat bintang-bintang di sekitar ramuan itu.

"Apa yang Dewa lakukan?" bisik Viola.

"Ekhem, Kau berbicara dengan siapa anak kecil?" Putra Mahkota yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya, tengah bersidekap dada.

Viola menggelengkan kepala. Dia menyadari bahasa yang digunakan oleh Putra Mahkota ini benar selayak orang dewasa di sekitarnya. Sekarang Viola memercayai bahwa pria yang menggunakan tubuh Putra Mahkota ini memiliki jiwa seseorang yang berasal dari dunia yang sama dengannya.

"Nanti, Kamu siramkan ramuan ini kepadanya!" ucap Dewa.

"Apa?" Mata Viola membelalak takut. Seumur-umur belum pernah memberikan obat dengan menyiramkan dengan kasar seperti yang dititahkan oleh Dewa ini.

"Heh, Kau kenapa?" Putra Mahkota memainkan dagunya, terus menilai putri Tabib istana ini yang terlihat sangat aneh.

Lalu matanya terfokus kepada obat yang ada di atas nampan. Betrand menengadahkan tangannya. "Cepat bawa obatnya sini!" ucapnya dengan arogan.

Bahasa yang jauh berbeda dengan yang ada di novel. Pangeran diceritakan seorang yang lembut dan baik hati. Viola masih ragu dengan apa yang dikatakan oleh Dewa.

"Cepat siram!" Kembali Dewa menitahkan kepada Viola.

"Cepat obatnya!" Bentak Putra Mahkota. "Cepaaat!" hardiknya.

Hal ini membuat Viola kehilangan akal. Mengambil mangkok tersebut, yang berisi ramuan yang penuh dengan bintang-bintang.

"Cepaaat!" Suara Putra Mahkota semakin keras.

byuuuuurrrr

Ramuan itu bukan diminum lewat mulutnya. Namun, oleh semua tubuhnya.