webnovel

BAB 5 Teman Lama

Sesuai perkataannya. Aku membuat janji dengan Juna. Kami berjanji akan bertemu di bioskop saja. Namun, sampai filmnya habis. Pria itu tak jua muncul.

Aku berjalan lesu tak tentu arah hingga tiba-tiba ada yang membekap mulutku. Tangannya begitu kekar. Aku berusaha melawan sebisa mungkin. Nyatanya tak bisa. Dia terlalu kuat.

Tenagaku melemah dan pandanganku mulai menggelap. Akankah aku akan mati? Ah! Mungkin ....

xxx

"Gara-gara lu, kemana pun gua pergi semua orang akan tau. Bagaimana gua di sekolah lama. Jadi sekarang gua akan balas. Tapi bukan cuma lu aja. Tenang saja! Sebentar lagi mereka akan datang!" Daguku dicengkram dan kepalaku ditoleh paksa. Perlahan aku mulai bisa membuka mata.

"Silvi?"

"Halo teman lama!" sapanya. "Hari ini akan jadi pemakaman kalian!" teriaknya.

'plak'

Kupingku berdenging. Kepalaku terasa pening. Sudut bibirku perih.

'plak'

'plak'

"Lu pantes dapetin ini!" teriaknya. "Hahaha!"

"Akh!" Rambutku ditarik ke belakang.

"Aku akan mengajak kalian mati bersama denganku nanti. Hahaha!"

"Lu gila!"

'Plak'

'Bruk'

xxx

Perlahan kurasakan seseorang memanggilku dengan Karina. Kubuka mataku dan melihat Reygan. Pria itu mengusap wajahku sesaat setelah mata ini terbuka.

"Syukurlah!" ucapnya. Tak lama ia meringis. Aku segera mendorongnya perlahan. Darah mengucur deras di perutnya. Kulihat sekitar Silvi dan yang lain sudah terkapar.

"Uhuk!" Ia terbatuk darah. Aku langsung mengusap wajahnya. Kenapa. Kenapa harus begini.

"Karina ... bisakah kau menceritakan sesuatu padaku?" tanyanya sambil sesekali meringis. "Tolong!"

"Reyhan?" Aku menatap matanya dan ia tersenyum sambil mengangguk. Air mataku juga tak henti mengalir.

"Rasanya terlalu sakit, jadi tolong ceritakan sesuatu!" Ia merebahkan kepalanya dalam pangkuanku. Aku bingung. Otakku tak berfungsi. Apa yang harus kuceritakan padanya. "Tentang hari itu. Hari di saat aku mengalami kecelakaan."

"Waktu itu ...."

Aku mulai menceritakan di hari yang menurutku paling mendebarkan. Tak biasanya Reyhan mengajakku pergi berdua. Biasanya ada teman-teman nongkrong yang ikut hadir.

"Rin! Ayolah temani aku!" rengek Sandra. "Aku tak ingin sendirian. Kamu tau Vika sibuk dan anak-anak lain juga punya kesibukan sendiri. Sedangkan sepupu nggak tau diri juga nggak bisa dihubungi."

"Tapi aku ada janji dengan sepupu lo yang nggak tau diri itu!" sungut kesal.

"Kan nanti jam 2. Ayolah! Setidaknya dimasa gua ngelepasin masa jones terpanjang ini, harus ada saksi mata!" rengeknya.

Aku memutar mata malas dan segera bangkit dari kasur. Waktu tidur panjangku terganggu karena Sandra. Untung gua suka sama sepupunya. Kalau nggak, gua buang ke laut.

"Ayo!" ajaknya, setelah aku keluar dari walk in closet dengan kaos oblong dan celana jeans. Tak lupa sling bag yang selalu menemani.

Bella langsung membawaku sebuah cafe. Saat itu sambutan langsung meriah. Pria itu juga memberikan bunga dan boneka padanya. Sayangnya, berhubung dia juga ingin memberikan kalung. Terpaksa gua yang ambil alih itu hadiah dan membiarkan mereka bermesraan.

"Jadi hari itu ... bukan lu yang jadian?"

Aku langsung menoleh pada Reyhan. Wajahnya sudah pucat.

"Bukan," ucapku. "Tunggu! Jangan bilang lu ngeliatnya dan karena itu lu bilang nggak jadi?"

Reyhan terkekeh pelan dengan ringisan yang masih terdengar sesekali. "Gua bodoh ya?"

Aku menggeleng. "Lu nggak bodoh! Gua yang bodoh! Saat denger kabar lu yang pergi untuk selamanya, setelah membaca jurnal harian lu, lalu setelah Vika yang mengatakan alasannya yang menyibukkan diri dan menjauh dari kami. Gua nyesel. Andai gua lebih berani, gua akan bilang gua cinta sama lu."

Reyhan menggeleng pelan. "Lu nggak salah. Dan gua harap lu bisa bahagia dengan Juna di kehidupan sekarang dan katakan bahwa lu cinta dia. Jangan sampai lu nyesel lagi."

Aku mengangguk. Air mataku kembali mengalir. Rasanya sangat menyakitkan melihat Reyhan begini.

"Aku pasti akan mengatakannya pada Juna. Tapi berjanjilah lu harus bertahan dan jadi saksi pernyataan cinta gua, Rey!"

"Maaf. Tapi satu hal yang pasti. Gua cinta sama lu Karina."

Reyhan memejamkan matanya. Aku mengguncang tubuhnya, menangis dan meraung. Berusaha meminta tolong.

'Brak'

Aku menatap pintu yang terbuka. Di sana ada Juna, Mario, Arga, Ergi dan yang lainnya. Tak lupa Bella yang mengikuti.

"Ran!" Juna mendekat dan mengusap wajahku.

"To ... tolongin Reygan, Juna." Aku menatap mata pria itu.

"Maaf." Juna menunduk, aku mengikuti arah pandangnya ke Reygan.

"Dia nggak mungkin ninggalin gua lagi kan? Jawab Juna!" Juna tak juga menjawab. Kuangkat kepala Reygan dan memeluknya erat. "Tidak! Rey! Reyhan! Gua mohon jangan pergi!"

"Ran!" Mario duduk di depanku. Ia mencoba mengambil Reyhan. "Berikan Rey pada petugas, Sayang!"

Aku menggeleng. Tapi Bella ikutan duduk di depanku. Menangkup wajahku. "Ran! Kasihan Reygan!"

Aku menatap Reygan sekali lagi. Bibir pucat itu sudah tersenyum senang. Perlahan kulepaskan dan kubiarkan petugas kesehatan itu membawanya. Bertepatan saat itu Bella memelukku erat. Tangisanku pecah. Sakit rasanya benar-benar sakit.

"Ayo! Kita pulang Ran!" ajak Mario saat tangisku sudah reda. Aku mengangguk dan menatapnya. Aku segera berdiri dan tak sengaja mendapati siluet Silvi dengan sebuah pistol. Salah seorang petugas keamanan atau bodyguard siapa, sudah tumbang di bawah kaki gadis itu.

Perlahan mataku menoleh pada arah pistolnya itu. Bella. Tidak! Tidak boleh! Aku langsung melepaskan tangan dari Mario. Memeluk Bella dengan badan yang sedikit terdorong kaget. Punggungku terasa nyeri. Dadaku juga sakit.

"Kirana!" teriak mereka dan Bella.

"Tidak! Kirana! Tidak!" teriak Bella sambil dibantu Mario untuk membaringkanku dalam pangkuan Bella.

"Tolong!" teriak Juna. Beberapa petugas ingin membawaku, tapi aku menolak.

"Aku tak bisa bertahan lama lagi," ucapku. "Juna! Kemarilah!" Juna pun langsung mendekat.

"Uhuk!" Aku mulai terbatuk. Rasanya dadaku benar-benar panas dan nyeri. Benar-benar sakit. "Bell, Abang! Kalian harus bahagia dan menjaga satu sama lain. Lalu, biarkan aku berbicara pada Juna berdua."

Perlahan Mario dan Juna memindahkanku. Aku menatap wajahnya yang mulai basah.

"Maafin aku yang tak menemuimu. Aku terlalu takut, jika hari ini adalah hari terakhir kita bersama dan kamu akan memilih Reygan."

"Tapi nyatanya hari ini hari terakhir bukan?"

Dia terdiam menatapku dan menggeleng kuat. "Hari kita masih panjang. Kita masih bisa bersama kembali."

"Aku mencintaimu," ucapku sambil tersenyum.

"Kamu kalau dendam dengan Reygan harusnya kamu membalasnya," ucap Juna.

Aku menggeleng lemah. "Kuharap kamu bisa bahagia tanpaku."

Itulah kata terakhir yang kuucapkan dengan kekuatan yang tersisa. Pandanganku pun mulai menggelap. Ah! Sudah saatnya aku harus pergi.