1 KEMBALI

Ia merasa sudah tak ada lagi yang ia inginkan, berada dalam kekacauan adalah hal yang harus ia hadapi untuk terakhir kali. tak terlupakan hingga menjadikannya muak akan kehidupan. bukan tak peduli, tapi untuk apa ia peduli..., dan alasan itulah yang sudah hilang darinya

" Sudah sadar?!," Seseorang terdengar samar menanyakan, namun ia masih ingin memejamkan mata, dibangunkan secara tiba-tiba dari nikmatnya tidur adalah hal yang menjengkelkan.

plak... plak...

" Hei!, sadar lah!," dengan tidak sabar seseorang malah mulai menepuk-nepuk wajahnya. walau ringan saja, ada sensasi perih di pipinya, dengan enggan akhirnya ia membuka matanya. namun bias tajam menyengat matanya membuat ia mengumpat dalam hati. kepalanya berdenyut sakit. mata yang terus menatap gelap untuk kemudian menghadapi sinar yang seakan ditembakkan tepat ke wajahnya adalah salah besar.

"Ugh...," keluhnya menyadari setiap ikat otot dan jaringannya seakan baru terbebas dari beban yang sangat berat

"Ilyas..., kau bisa mendengarku bukan?, berilah tanda jika kau mendengarku dengan berdeham," ucap seseorang yang semakin membuat kepalanya berdenyut. dengan memaksakan diri, ia menarik tangannya kearah wajah mencoba menghalangi cahaya silau yang membuatnya ingin muntah

"Lam...pu sialan itu...," ucapnya serak hampir tak terdengar, namun cukup menekan memperdemgarkan rasa kesal.

Seakan menyadari kekeliruannya, pria yang sejak tadi memperhatikan reaksi Ilyas dengan gugup memerintahkan seseorang untuk mengurangi cahaya di ruang itu. terkejut tapi sangat lega dan senang. apa lagi ketika Pemuda yang berbaring di depannya itu mulai menurunkan tangannya, memperlihatkan kedua mata sayu hitam legam yang terlihat lelah.

Dengan segera pria itu memerintahkan para petugas medis lain diruang itu mengambil alih. memastikan setiap kondisi vital pemuda itu kembali dengan sempurna. pria itu sendiri langsung keluar ruangan dan bergegas menemui beberapa orang penting yang telah menunggu diluar.

" Bagaimana?!," tergesa seorang pria muda berbadan tegap menghampiri dokter berpakaian putih itu. pria itu memakai seragam lengkap militer dengan Lencana yang melambangkan kedudukannya. Warna mata abu-abu membuat wajahnya semakin terlihat dingin dan tegas. tersenyum lebar menanggapi jendral itu.

"Berhasil!!, ia bangun, Ilyas sudah sadar. saya masih harus memastikan keadaannya lebih lanjut, karena mengingat lamanya ia 'ditidurkan'." ucap dr.Lim antusian.

Jendral Xavier mengusap wajah lega. Paham apa yang menjadi pertaruhan saat ini. Hari itu ia khusus menunggu bagaimana hasil prosedur rahasia yang dilakukan dr.Lim.

"Persiapkanlah ia dengan baik, besok aku akan mengunjunginya," ucap Xavier tegas dan menuntut. dr. Lim hanya bisa terdiam sesaat sampai akhirnya ia mengangguk sedikit ragu.

"Akan saya usahakan, karena walau bagaimana pun, anak itu baru saja dibangunkan setelah 87 tahun berlalu. tak ada petugas yang mengetahui pribadinya selain dari catatan dokter sebelumnya. aku harus bisa memastikan dulu mentalnya sebelum anda menyerangnya dengan tuntutan." jelas dr.Lim

Xavier menanggapi dingin seraya berbalik menjauh.

" Lakukan secepatnya." finalnya tegas. dr.Lim hanya bisa menatap rombongan itu menjauh dilorong panjang hingga memasuki lift yang kemudian tertutup rapat. dr.Lim menyadari, pemerintah tak lagi memiliki waktu yang banyak, jika mengingat apa yang saat ini sedang mereka hadapi.

***

Keesokan hari, seperti janjinya. Xavier segera menemui Ilyas. Tidak di ruangan perawatan, namun pemuda itu dibawa ke ruangan lain dimana Xavier menunggu.

Xavier mengamati bagaimana pemuda yang menjadi subjek pembahasan pemerintah selama beberapa bulan itu. hanya seorang pemuda biasa, dengan rambut hitam dan kulit yang terlalu pucat. wajahnya memang menarik dan cukup proporsional. namun tatapan kosong dan dingin itu menjadikannya terlihat seperti boneka.

Puas menilai, tanpa basa-basi Xavier mengarahkan dr.Lim agar membawa Ilyas mendekat dan memperlihatkan pemandangan dibalik dinding kaca itu. tanah yang berada jauh dibawah sana. berderak dan bergerak meninggalkan reruntuhan dan gelombng laut yang kemudian membanjiri daratan. Gempa itu terjadi dengan sangat dahsyat dalam waktu yang singkat. Ilyas yang awalnya hanya terdiam duduk di kursi roda, mulai terfokus pada pemandangan itu.

Ingatannya berbalik. Sejak kapan jadi separah itu?, semua mulai bergerak dan hancur. terakhir...

"Kupikir kau perlu tahu, kau baru saja dibangunkan dari tidur selama 87 tahun. dan yang kau lihat sekarang adalah kondisi daratan yang jauh berubah dari sebelumnya," ucap Xavier mengawali, karena sejak awal mereka bertemu, mereka sama sekali belum berbicara. Xavier langsung menunjukkan pemandangan itu pada Ilyas.

Seakan tak percaya, Ilyas membulatkan matanya. gemetar menahan syok dan marah. kemudian tatapannya melirik sekilas goresan-goresan disepanjang lengannya. dengan gigi gemeretak, Ilyas mencoba mengeluarkan suara.

"Bangsat!," makinya serak. Xavier terdiam, ia sedikit tahu bagaimana anak ini dulu terlibat dengan pemerintah. memerasnya hingga titik terakhir. tidak lebih dari 17 tahun, tapi anak ini dengan kecerdasannya menjadi alasan mereka berada diatas sini sekarang.

dr. Lim terdiam dibelakang mereka, sejak sadar ia sama sekali belum bisa berkomunikasi dengan Ilyas, maka tak ada kesempatan menjelaskan keadaan nya saat itu. Ilyas hanya diam dan kembali tertidur hingga pagi itu.

Maka ketika Xavier mengunjungi Ilyas, dr. Lim mengatakan ketidaksiapan Ilyas, namun Xavier tidak sedang ingin bersabar.

"Jadi aku yakin kau tahu apa yang saat ini pemerintah inginkan darimu. ku harap kejeniusan mu itu tidak lenyap karena tertidur lama di dalam kepompong buatanmu itu." ucap Xavier menyatakan maksudnya.

"ha! hahaha...," tawa Ilyas singkat, kemudian menopang dahinya sangat lelah. jadi dia dimasukkan kedalam mesin yang ia rancang itu?sungguh menggelikan. jadi dia bahkan tak di izinkan bebas sekalipun dengan kematian?

"Aku menolak." tegas Ilyas dingin. suasana senyap sesaat membuat dr. Lim berdebar penuh antisipasi. Benar saja, Xavier bukan orang yang sabar. dengan kejam mencekik leher Ilyas kuat. tapi bukan takut yang tergambar dimata hitamnya, Ilyas tersenyum merasa menang. ya akhiri saja aku, bisiknya dalam hati.

Xavier tidak ingin gegabah, melirik bekas luka di sepanjang pergelangan tangan Ilyas, ia bisa menduga prilaku menyakiti diri yang pernah dilakukan pemuda itu. Ilyas bukan orang yang bisa diancam hanya dengan kematian. Penuh geram Xavier melepaskan leher yang memerah itu.

"Sayang sekali...," Ucap Ilyas kecewa ia lolos dari maut. Penuh lega menarik nafas panjang. Ilyas kemudian hanya terdiam menatap hampa dataran jauh di bawah sana yang kini hancur dan kehilangan bentuknya. Laut yang bergemuruh dengan gelombang dahsyat. Silih berganti gempa mengguncang di sepanjang lempeng yang bergerak dan bergesek. memang pada dasarnya ini adalah akhir, mengapa harus dipaksakan lagi?

"Besok adikmu akan dibangunkan..., jadi putuskan lah segera pilihanmu." tegas Xavier tanpa peduli ekspresi terkejut Ilyas sekarang. Jendral itu langsung berbalik pergi tanpa menoleh walau Ilyas berteriak tak percaya.

"Mustahil!!, dia telah dibunuh! aku melihatnya sendiri..!, Ery... belum mati?," ucap Ilyas terputus begitu saja setelah pintu itu tertutup menghalangi pandangannya dari Xavier. Penuh amarah dan tubuh bergetar ia mengalihkan tatapannya pada dr.Lim yang sejak tadi menemaninya di belakang.

"Dimana adikku!?,"

avataravatar