webnovel

Ekonomedi Romantis

Selain tak ahli bersosialisasi, Kiki punya satu kekurangan fatal yang menyebabkannya tidak punya banyak teman—dia melihat kenyataan dengan kacamata penuh perhitungan. Mulai dari urusan uang saku hingga hubungan interpersonal, dia selalu menganalisisnya terlalu berlebihan. Sampai satu hari, datang seorang anak perempuan, yang sebetulnya merupakan teman sekelasnya, ingin mencurahkan perasaan tulus padanya. Bingung kenapa ada perempuan yang tertarik dengannya, entah bagaimana mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mencoba kencan satu hari, walaupun Kiki bisa dibilang terpaksa melakukannya. Tak mau kehidupannya berakhir menjadi cerita komedi romantis, Kiki pun mengocok isi kepalanya untuk menggagalkan premis konyol itu, meski harus mengandalkan kemampuan analitis dan pendekatan tak biasa lainnya.

KirisakiMichiru · Realistis
Peringkat tidak cukup
9 Chs

Seto Eksperimen | Part 3

Bagi yang belum paham, atau merasa aku sedang melakukan hal bertentangan dengan ideku sendiri tentang siapa temanku, dan siapa bukan, akan kuluruskan sedikit. Apa aku teramati akrab bersama Maya? Bila iya, itu karena aku melihatnya sebagai salah satu kenalan terbaik yang pernah kukenal. Maksudku, apa salah bertingkah baik, dekat dengan kenalanmu? Aku tidak melihat ada kesalahan. Aku cuma belum mengakuinya sebagai teman. Jadi, daripada mengatakan kriteriaku itu mengekang, terkesan filosofis, lebih baik anggap saja itu sebagai persyaratan administratif. Dia bukan temanku, karena dia belum begini, belum mencapai ini, belum sah menurut pandanganku. Aku tidak pernah bilang aku jengkel pada mereka yang belum jadi temanku, meski tak kupungkiri aku ini cukup dingin dengan orang-orang di sekitarku. Namun, itu cuma sekadar permasalahan give and take, siapa yang memberiku sesuatu, maka ada peluang cukup baik aku bakal membalasnya, dan berlaku proporsional.

"Sudah dulu, ya," Maya pamit padaku.

Bukan karena dia lupa membawa sesuatu dan berbalik arah—dia tidak seteledor Amel—namun rupanya Maya perlu mengurus sesuatu sebagai perwakilan kelas. Aku tidak tahu apa itu, tapi dia bilang ingin mampir ke ruang guru. Maya melambaikan tangannya padaku seperti anak kecil, dua kali ayunan tepatnya, lalu sedikit berlari hingga tak nampak lagi bentuk tubuh atau bayangannya.

"Kuharap suatu hari nanti aku bisa berteman dengannya…"

Aku berbisik bukan pada siapa-siapa, melainkan pada diriku sendiri. Saking tidak terdengarnya, mungkin itu bukan bisikkan, melainkan suara di kepalaku, suara pikiranku.

"Mubazir? Ya, mubazir…"

Gumamku, sekali lagi.

Oh, soal Maya, soal pembicaraan sebelumnya, soal teman sebagai tempat menceritakan keseharianmu, meski hanya sekadar lelucon payah, kebetulan semata, atau topik kurang pantas—kurasa dia ada benarnya. Ada benarnya jika dia menyampaikan itu pada orang kebanyakan. Namun, aku tidak bisa sepakat, atau selengkapnya, kurang sepaham.

Maya, kenalan yang menganggapku seperti teman karibnya, tentu mengatakan itu dengan tujuan baik. Entah sebagai perwakilan kelas ataupun sebagai teman satu kelas. Tapi, aku tidak sudi dikasihani. Maksudku, sama saja dia bilang 'beri tahu saja aku, kamu tidak punya siapa-siapa, kan?' Walaupun aku yakin Maya tak pernah berniat mengolok-olokku, tak seperti Amel, rasanya aku tidak bisa menerimanya begitu saja.

Aneh, kan?

Amel jelas-jelas terus menyindirku, tapi dia langsung kulantik sebagai teman—teman pertama, bahkan—sedangkan Maya, tak perlu diragukan lagi peduli denganku, ingin membantuku, tapi menurut pengamatanku dia belum mendekati raihan yang telah ditorehkan Amel.

Ya, ideku tentang siapa teman, dan siapa bukan, walaupun kuanalogikan sebagai persyaratan yang jelas aturannya, kembali lagi semua itu adalah hak prerogatifku. Hal itu merupakan sesuatu yang kuputuskan secara subjektif, dan memang harus irasional.

Kenapa lagi-lagi aku bicara panjang lebar begini? Bukan bicara sebetulnya, merenung mungkin lebih akurat.

"Amel udah datang belum, ya?"

Entah kenapa, sekarang aku rasanya tak sabar segera bertemu dengannya. Tentu, aku tidak tahu dia akan bertingkah bagaimana sekarang, serta bagaimana dia menyesuaikan diri, mengingat sekarang latarnya berpindah, dari ruang terbuka umum menjadi lingkungan satuan pendidikan. Apa dia bakal tetap bersikap semena-mena padaku, atau berbalik menjadi orang teramah, paling bersahabat selama berada di lingkungan sekolah?

Tidak, itu terlalu optimis. Bisa saja dia memandangku sebelah mata, menganggapku bayangan atau semacamnya, berpura-pura tak mengenaliku.

Lucu, kan? Teman yang seolah merahasiakan pertemanannya denganku—atau melupakannya. Sebentar, apa itu masih terbilang teman? Hal yang menakutkan adalah skenario tersebut tidak mustahi terjadi.

Lalu.

"Bos!"

Gelombang suara beramplitudo sedang, tidak kencang dan tidak pelan, mengambang di udara, menyebar dari arah belakang. Aku tidak bilang ini satu-satunya suara yang kudengar, ada beberapa pelajar lainnya yang sama-sama baru datang sehingga suasana sekitar ramai dipenuhi hentakan kaki dan obrolan lepas. Meski begitu, seolah ditujukan padaku, bunyi yang kudengar ini menaklukkan derau dan kebisingan tak berpola yang mengisi latar. Dan, omong-omong, posisiku sekarang tepat di samping gerbang sekolah. Maya sudah lama hilang dari jangkauan padanganku, dan nampaknya tidak akan kembali. Tunggu, untuk apa dia kembali? Ah, lupakan. Apa pun itu, panggilan ini, belum dapat kupastikan berasal dari siapa, terasa bukan kali pertama aku mendengar itu. Sensasi ini—pernah kualami sebelumnya.

Dengan kata lain, seseorang memanggilku, memanggil dengan nama sebutan. Nama sebutan? Panggilan akrab? Ah…

"Bos! Ini gua…"

Selain berteriak memintaku untuk menunggunya, orang ini ternyata menggunakan ragam bahasa pergaulan lebih santai, lebih sesuai dengan anak SMA.

Tidak salah lagi, dia—

"Bos! Bos! Bosssssss!"

Seraya menikung mulut gerbang, atmosfir udara tiba-tiba berubah drastis, massa udara terkompresi kemudian seakan terbentuk dan terkumpul tepat di balik badanku, angin ribut seolah menekan punggungku.

Baiklah, aku mungkin mengada-ada…

Yang pasti, setelah merasakan kedatangan seseorang semakin mendekat, bukan hanya suara, tapi wujud, fisiknya pula, aku pun mengukuhkan postur tubuhku, bersiap ditubruk.

"Uhuk—"

Bukan batuk, melainkan derit yang tak mungkin ditahan. Itu karena sensasi yang kurasakan, bukan lagi bunyi atau sahutan familiar, namun berupa dampak dari transfer gaya Newton dilesakkan padaku. Sebuah momentum massa berkecepatan tinggi telah berpindah menuju tubuh lampaiku—seseorang telah sengaja membenturkan badannya dan mengincarku, pejalan kaki tak berdosa, sedari awal.

Dengan kata lain, ramalan, atau firasat buruk yang kuwanti-wanti, ternyata terbukti sudah.

"Kiki! Waduh, kenapa? Jangan bilang pagi-pagi lo udah gak enak badan?"

"Kalau ada kemungkinan diseruduk begini, lebih baik aku pura-pura sakit dan pulang sekarang juga. Serius, gimana kalau badanku remuk? Kecelakaan lalu lintas bukan satu-satunya yang bisa bikin patah tulang, tahu?"

Seketika berat yang asing bagiku, tidak, berat yang seharusnya tidak kupikul dibebankan padaku seolah berat badanku berlipat ganda. Orang ini, masih sok akrab denganku, menyandarkan berat badannya pada punggungku dari belakang, kepalanya berada di sebelah kiri, kedua lengannya melingkar di depan dadaku seperti syal pendukung tim sepak bola.

Dan, diagnosis apa itu?! Tidak enak badan?! Asal-asalan sekali…

"Maksud lo, gua harusnya nyapa di pinggir jalan?" celetuk Seto.

"Kenapa jadi ke situ?! Bukan itu intinya!"

Kalau Amel memanfaatkan reaksi sepersekian detik untuk menyindirku, maka lelaki ini menggunakan kebodohannya. Itulah bagian terburuknya, seolah dia mengolok-olokku tanpa sadar.

"Oh, mau gua antar ke UKS? Mungkin lo benar-benar meriang? Ya, gak jarang gejala pusing kunang-kunang keluar waktu lo sakit," komentar Seto.

"Kamu yang harusnya pergi sono!"

"Eh, siapa yang sakit di sini? Lo, kan. Ya, lo. Lagian, memangnya lo gak lihat gua? Masa semangat begini dikira sakit?"

Perkenalkan, Seto namanya, teman sekelas dan sebangku. Tidak, anggap saja dia kebetulan sekelas dengan Amel, Maya dan aku, dan kebetulan duduk di sebelahku. Ya, aku lebih suka itu. Atau tepatnya, aku tidak mau memandang dia sebagai temanku sama sekali, bukan karena permasalahan ada yang kurang atau belum kusetujui, namun juga karena kehadirannya membawa malapetaka buatku. Ah, tidak, malapetaka mungkin kurang mencerminkan dia, tapi selain menjengkelkan, Seto memang selalu menginvasi waktu dan ruang pribadiku.

Seperti posenya sekarang, masih merekatkan badan gempalnya pada tiang telepon yang hanya ingin dibiarkan sendiri. Ya, saat di luar kelas, ingin rasanya aku menjadi tiang sambungan telepon saja. Maksudku, tiang seperti itu tidak perlu berurusan dengan orang-orang menyebalkan, sebuah mimpi indah buatku.

"..."

Malas terus berbicara padanya, aku berusaha maju, mengeluarkan tenaga lebih besar tentunya, menderek beban ekstra, yaitu Seto, bergeser sedikit demi sedikit. Laju pun melambat drastis, sentimeter demi sentimeter.

Sebagai hasilnya, gerak tungkaiku pun terseret-seret. Bisa-bisa karet sepatuku habis, pikirku.

"Hm? Kok lo diam aja? Ngelawan enggak, kabur juga enggak?"

"Kalau ngelawan lenganmu, lengan sebesar kaki gajah, pasti kamu nantinya mencengkeram lebih ketat lagi, kan?"

Sebenarnya, tak mengacuhkan 'pelukan' Seto, hanya berusaha melarikan diri dengan bergerak horizontal pun tidak jauh beda. Jadi, Seto itu keliru, aku sejatinya sedang berupaya melepaskan diri dari jepitan sekelas ular piton, yakni cekikan Seto sendiri, melalui caraku sendiri.

"Hehe, tahu aja," Seto pun sepakat.

"Kalau udah ngerti, buruan bebasin aku. Aku mau ngehemat tenaga."

"Oh, ada apa? Apa hari ini ada matematika? Atau kalau enggak ada, buat apa lo nyimpan stamina?"

Aku tak bisa melihat seutuhnya wajah Seto dari pinggir, namun ekspresi penasaran tergambar jelas dari perkataannya. Bagai anak anjing ditinggal oleh majikannya bekerja, bertanya-tanya ke mana perginya.

"Enggak ada matematika. Terus, alasannya rahasia."

"Eh, pelit!"

Dua kali dituduh kikir, aku tidak tahu lagi perasaan yang pas menggambarkan ini. Lagi pula, ekspresi Seto barusan saking tidak menggemaskannya, aku hampir muntah. Muntah secara konotatif, tentu saja.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal matematika, Maya bisa ngasih tips dan trik, gak ya? Dia kan sama aja kayak mata-mata di ruang guru. Gua... suka blank waktu ngerjain ulangan."

Kenapa Seto seolah menganggap Maya punya keahlian luar biasa? Dia itu tidak lebih dari seorang KM. KM dan teman sekelas yang luar biasa, memang, tapi itu saja.

"Kalau tahu begitu, ya belajar yang benar sono!" tandasku.

"Eh, siapa yang bodoh di sini? Lo, kan. Ya, lo. Mana mungkin lo tahu soal kisi-kisi ulangan, misalnya? Jangan pura-pura sok tahu, Kiki. Lo pintar, mungkin, tapi bukan murid kesayangan guru-guru," tanpa sebab pasti Seto menyerangku secara pribadi.

"Oh, ya? Gak keberatan juga, sih. Wa—"

Kemudian, entah kenapa, beban yang tadi menahan pergerakanku kini hilang begitu saja. Lenyap? Ah, bukan itu. Lebih tepatnya, Seto telah melepaskan genggamannya, tanpa peringatan, tanpa pemberitahuan.

Tentu saja, tanpa ada halangan, aku bisa bergerak bebas lagi, namun karena sejak tadi aku mengerahkan usaha yang begitu besar, vektor ke arah depan sepanjang waktu, akhirnya aku terpelanting, kehilangan keseimbangan.

Dari sudut pandang tertentu, menurutku hal ini dapat digolongkan sebagai sebuah tindak perundungan, tapi jika aku melaporkannya, sudah pasti aku tidak akan digubris dan kemungkinan besar dianggap mengeluh seperti anak kecil.

Tak punya pilihan, dan tak ingin repot-repot memilih tindakan, aku akhirnya mempraktikkan bagaimana seorang yang pikirannya telah dewasa menyelesaikan masalah.

Ya, aku segera kabur, menjauh dari Seto.

Saat sepintas menengok ke belakang, sayangnya, Seto mengejarku seperti tadi waktu dia menyimulasi bagaimana kecelakaan bisa terjadi (saat dihantam dari titik buta). Maksudku, tidak jarang juga kan kecelakaan melibatkan tiang di pinggir jalan?

Sial. Mana mau aku dibuat penyok!