webnovel

Bagian 9

Josh, dimana dia? Aku merindukannya. Aku membutuhkannya. Kenapa dia menghilang? Pergi di saat seperti ini. Dia bilang, dia menyayangiku dan akan menjagaku kapan pun. Tapi, dia tak ada disini, sekarang aku menangis dilanda ketakutan tapi aku tak tahu dia dimana. Apa dia sedang menikmati pesta dansa? Mencocolkan keju ke anggur untuk menghangatkan tubuh sementara aku disini kedinginan ditusuk angin malam. Aku menangis terisak dan dia tertawa terbahak-bahak membuat lelucon tentang inlander yang mati diseret kuda gila keliling kampung? Apa dia,

Tembakan ketiga terdengar dan kali ini disusul tembakan keempat, kelima, keenam, dan seterusnya. Aku terlonjak dan entah karena pemikiran serta alasan apa, aku langsung berdiri, lari, lari dan lari menuruni setiap anak tangga dengan bersusah payah. Kegelapan malam yang begitu pekat membuatku selalu salah langkah dan jatuh. Susah payah aku berdiri, lalu kembali berlari tunggang langgang. Lagi, aku terkilir, terguling ke bawah di tiga anak tangga terakhir. Ingin berdiri tapi tangisku justru meledak di posisi itu, kuusap darah yang mengalir dari keningku dan menghalangi pandanganku.

Kuseret kaki kiriku ketika berlari. Berusaha secepat mungkin melewati jalan tanah berbatu yang sepi dan gelap. Tak kudengar suara tembakan membabi buta lagi. Setidaknya itu membuatku lebih tenang dengan sebuah kemungkinan yang terpikir di otakku bahwa keadaan sudah tidak terlalu berbahaya bagiku untuk pulang.

Pulang. Kembali ke ayah, ibu dan Kak Rusli. Aku tidak tahu bagaimana caraku mengetuk pintu dan menyapa mereka. Aku pergi dengan cara seperti itu dan pulang ketika hari sudah gelap. Kukira sekarang sudah lewat pukul sembilan malam dan aku belum pernah pulang selarut ini. Bagaimana aku harus bersikap kepada mereka? Aku dan Josh, apa yang salah dengan itu? Kami dua anak adam dan hawa yang jatuh cinta, kenapa harus dipersulit seperti ini?

"Kau boleh dekat dengannya tapi jangan melakukan hal bodoh seperti ini lagi," Kalimat ayah beberapa minggu lalu melayang di pikiranku. Baru kuingat bahwa ayah dan ibu tidak pernah mempermasalahkan kedekatanku dengan orang-orang Belanda, Piet,Richard , Josh dan yang lainnya. Pada dasarnya sumber permasalahan dari semua masalah hanya satu, Kak Rusli.

Terbayang di depan mataku, ayah dan ibu memarahi Kak Rusli karena dia terlalu mengaturku dan turut campur dalam hal yang tidak seharusnya. Bayangan hanya akan menjadi bayangan, aku tahu itu tidak mungkin terjadi. Sadarlah Maudy! kau hanya anak angkat. Ayah dan ibu rela menukar seribu Maudy demi ujung kuku Kak Rusli. Seharusnya sekarang kau pikirkan bagaimana cara berbicara setelah kau sampai di rumah.

Aku sampai di sebuah jalan lurus yang di sisi kiri dan kanannya berjajar rapi pohon petai cina. Dari arah berlawanan, kulihat ada beberapa orang yang berjalan. Semakin lama semakin dekat, aku mulai mampu memperhatikan wajah mereka, begitu pula dengan mereka. Tatapan aneh mereka berikan padaku, penuh kebencian dan amarah yang lebih besar dari biasanya. Ketika berpapasan, kuberanikan diri untuk menahan mereka.

***

Tergopoh-gopoh kutembus kerumunan manusia di depan rumah, memenuhi halaman dan pendapa rumahku. Terasa seperti menyingkirkan kerbau-kerbau gemuk, aku mendesak tapi justru tubuhku yang terhimpit oleh mereka. Kucapai pintu rumah dalam waktu yang lebih lama dari biasanya. Di setiap tubuh yang kusingkirkan dan setiap udara yang kuhirup, aku berdoa serta berharap supaya hal yang kudengar dari orang-orang yang kutemui di jalan tadi hanya sebuah omong kosong belaka. Aku tidak mau hal itu terjadi, tidak mau dan tidak akan pernah mau.

Isak tangis menyambutku. Baru selangkah kakiku berpijak di dalam rumah dan apa yang kudapat langsung membuatku kaku. Hawa dingin mendadak merasuk ke dalam tubuhku. Bisa kurasakan aliran darahku memanas dari kepala hingga jari-jari kaki. Rintihan tangis tertahan dari wanita yang sangat kusayangi, wanita yang telah kuanggap sebagai ibu kandungku. Dia merawatku layaknya aku ini gadis kecilnya sejak aku berusia tujuh tahun, sepuluh tahun yang lalu.

"Ayah," Kusebut orang yang membuat ibuku menangis,. Bersamaan dengan itu juga air mataku luluh, membasahi pipi.

Ayahku, Tuan Mangunbrata. Dia terbujur kaku di atas tikar, wajahnya pucat pasi, matanya tertutup , bibirnya kebiru-biruan dan yang terburuk dari yang kulihat adalah dia dikafani. Ibu dan orang-orang di sekitarnya duduk bersimpuh, mengenakan pakaian serba gelap. Mata mereka kemerahan dibasahi air mata. Kuharap semua ini mimpi atau imajinasiku semata. Aku tahu keadaan macam apa ini, aku tahu mereka nyata dan aku tahu dia. Dia, satu-satunya orang yang memakai pakaian putih dan tidak menangis itu adalah ayahku.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Sosok berbadan tegap mendadak muncul di hadapanku dan menghalangi hampir seluruh pandanganku sehingga aku hanya mampu melihatnya. Ditatapnya diriku dengan tajam, penuh kebencian, matanya merah semerah darah, hembusan napas panasnya seakan-akan mengisyaratkan panas dalam hatinya. Raut wajahnya terlihat seperti dewa pembawa pesan kematian untukku. Kak Rusli, dia terlihat sangat menyeramkan.

"Apalagi yang kau inginkan? Ha!" Dia membentak tepat di wajahku, semua orang melihat ke arah kami. Kalau Kak Rusli tak melakukan hal itu, berteriak padaku, mungkin orang-orang disini tak akan menyadari kehadiranku. Sekarang mereka memperhatikanku dan Kak Rusli kecuali Ibu yang nampak seperti orang linglung.

"Ayah," Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, hanya dia yang ada di otak dan hatiku, sebaiknya Kak Rusli segera menyingkir dari hadapanku.

"Aku ingin melihat ayah," Kugeser tubuhku ke kanan, mencari jalan tapi Kak Rusli kembali menghalangiku.

"Kutanya apa lagi yang kau inginkan?" kali ini suara Kak Rusli melengking tajam, "Kau sudah membuatku yatim! Kau tahu itu?"

"Apa ?" suaraku nyaris tak terdengar

"Ayah tertembak saat mencarimu! Kenapa kau menyulitkan kami dengan cara seperti ini?" Kak Rusli mengimbangi volume suaraku tapi gemeletuk gigi-giginya tak bisa menipuku. Dia hanya berusaha menahan emosi. Rahangku menegang mendengar pernyataannya. Apakah ini nyata? Aku berharap aku segera terbangun dari mimpi buruk ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Ayah tidak mungkin meninggal.

"Apa ini caramu berterimakasih kepada kami, Nona Maudy?" senyum sinis tersungging di wajah garang Kak Rusli, dia melecehkanku. Aku hanya mampu terdiam, sama sekali tak membuka mulut. Apa pula yang bisa kukatakan? Masih kupandangi raut wajah Kak Rusli. Dalam waktu sekian detik, mampu kulihat perubahan wajahnya. Dia menjadi sangat menyeramkan, ekspresi dan sorot matanya nampak seperti singa yang kehilangan anaknya. Dia siap menerkamku. Dan benar!

"Lihat!" teriaknya mengejutkan semua orang termasuk aku, dia meraup bahuku. Mendorong tubuhku kasar ke jasad ayah yang dibaringkan di samping ibu yang sama sekali tidak memperhatikanku. "Lihat apa yang sudah kaulakukan!" dipaksanya aku duduk bersimpuh di samping ayah, "dia menyayangi dan merawatmu melebihi apa yang dia berikan padaku darah dagingnya sendiri," ditekannya kepalaku hingga wajahku kini tepat di atas wajah ayah. Wajah pucat pasi, mata terpejam dan tak mungkin terbuka lagi. Tangisku pecah disana, air mataku luluh dan jatuh membasahi wajah ayah.

"Ayah," lirihku dalam tangis, sementara Kak Rusli meraung seperti orang gila membuatku semakin terbawa emosi hingga tak kutemukan kesadaran diri. Kugerakkan jemari tanganku hendak menyentuh wajah ayah.

"Kau tak pantas berada disini!" Kak Rusli menarik kasar tubuhku, menyeretku keluar dengan badan kekarnya.

"Lepaskan aku! Ayah!" aku meronta, bersusah payah untuk terlepas dari cengkraman Kak Rusli. Berhasil, tapi baru beberapa langkah dia sudah membawaku lagi. Dia menarik lenganku dengan kasar, menyeret dan mendorongku.

"Biarkan aku bertemu ayah! Kakak lepaskan aku!" aku terus memberontak, berusaha melepaskan diri tetapi percuma saja, Kak Rusli lebih kuat daripada aku. Aku semakin terdesak mundur ke arah pintu keluar, melewati para tetangga yang berkumpul di rumah. Kuperhatikan ibu yang tak berkutik di posisinya, dia tetap menangis sesenggukkan seolah tak terusik oleh keributan yang datang bersamaan dengan kehadiranku.

"Ibu! Biarkan aku bersama ayah!" kuputuskan untuk memanggilnya, berharap wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku itu akan membantuku, menghentikan kegilaan Kak Rusli yang tak masuk akal.

"Tutup mulutmu! Dia bukan ibumu! Kau tidak pantas!" cengkraman tangan Kak Rusli menguat, membuatku meringis kesakitan tapi tak terlalu kurasakan.

Tersaruk-saruk langkahku menimbulkan ceruk-ceruk di halaman rumahku yang berdebu. Orang-orang yang tadinya datang untuk mendoakan arwah ayahku kini beralih memperhatikanku. Mereka menjadikanku tontonan mereka. Pasti mereka, orang-orang berkulit coklat itu bahagia melihatku seperti ini. Mereka pasti tertawa dan akan berpesta dengan jagung rebus di rumah mereka, mengeluarkan gula-gula mereka dan meneguknya di rumah. Tidak! Kak Rusli tidak boleh memperlakukanku seperti ini. Dia tidak berhak mengusirku, siapa dia berani sekali mengusirku? Tuan Mangunbrata, ayahku yang berhak memutuskan apakah aku bisa tetap tinggal atau tidak.

"Pergi!" sentaknya bersamaan dengan saat didorongnya tubuhku hingga terjatuh di jalan tanah depan rumah, "jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi di hadapan kami" kecam Kak Rusli, dia menunjukku yang bersimpuh di hadapannya.

"Kakak!" pekikku tak percaya.

"Kau bukan adikku lagi, pembunuh! Pengkhianat! Enyah kau dari hadapanku!" Kalimatnya dia akhiri dengan meludah ke arahku, dan akhirnya dia kembali ke dalam rumah. Meninggalkanku dengan jutaan kebenciaan yang sulit kupahami.

Apa salahku? Aku bukan adiknya lagi. Semudah dan secepat inikah? Aku baru saja menikmati indahnya keluarga dan semua lenyap dalam sekejap mata. Ayah, apa yang terjadi padamu? Apa yang bisa dan harus kulakukan sekarang? Setiap orang yang keluar masuk ke rumahku selalu mencibir dan beberapa tersenyum puas. Bahagia sekali mereka. Seakan-akan memang fakta seperti inilah yang mereka tunggu sejak dulu terjadi pada diriku. Kenapa kebencian selalu ditebar kepadaku? Apa mereka sudah merasa sempurna? Di depan ayah dan ibu saja mereka membungkuk-bungkuk jika bertemu denganku. Terkutuk kalian semua!

Langit berselimut mendung tebal mengungkung bumi dalam kegerahan menyesakkan. Tak ada sepoi angin, daun-daun dan ranting-ranting diam dalam ketenangan dunia, kelelawar pun terbang dalam kebisuan, jangkrik tak berani mengerik. Dalam kelengangan, satu-satunya yang kudengar hanyalah suara seret langkah kakiku sendiri. Bergesekkan dengan tanah berdebu dan berbatu. Terseok-seok sendiri tanpa kawan dalam siksaan gelap malam.

Kakak mengusirku dan ibu diam saja. Ayah, aku bahkan tak diizinkan untuk mencium aroma tubuhnya untuk terakhir kali. Inikah akhirnya? Untuk kedua kalinya aku dibuang seperti sampah tidak berguna. Dulu, ayah kandungku, sekarang keluarga angkatku. Kenapa kehidupan begitu sulit bagiku? Di negara penjajah dan negara dijajah tidak ada bedanya. Setidaknya dulu aku memiliki ibu, sekarang apa yang bisa dan harus kulakukan tanpa seorang pun di sisiku?

"Aaaaa!" Aku berteriak, melonglong ke udara malam seperti serigala malam. Kelelawar di atas kepalaku terkejut dan langsung berhamburan. Kujatuhkan tubuh payahku dalam posisi jongkok di tengah jalan gelap dan sepi, memeluk lututku sendiri. Menangis dalam erangan luapan sakit dari luka perih di hatiku.

Seberkas cahaya putih jatuh dan menyilaukan pandanganku. Kuangkat kepalaku dan kudapati sebuah mobil jeep berhenti di depanku, cahaya lampunya meredup. Tak kuamati siapa yang keluar dan menghampiriku, aku fokus memperhatikan seseorang yang masih duduk di kursi belakang. Seseorang yang sangat kukenal dan kurindukan, dia mengamatiku. Terlihat iba namun ketika pandangan kami beradu, dia tersenyum. Senyuman indah, lembut dan menyejukkan. Dia Josh, kekasihku.

***