webnovel

Bagian 17

Sore tiba di hari berikutnya bersama dengan datangnya sinar matahari yang hangat. Udara tenang dalam diam, tiada gemerisik daun-daun dan ranting-ranting, air hujan jatuh dari pepohonan, kabut yang sejak siang menutupi pandangan mulai memudar, sinar matahari kuning kemerah-merahan menembusnya dari balik awan dia merayap menuju garis cakrawala di langit barat. Butir - butir air sisa hujan di atas membiaskan sinar matahari, membuatnya nampak seperti ribuan mutiara yang dihamburkan di padang rumput nan luas di depan tempatku berdiri sekarang, teras depan villa, tanganku menopang pada pagar kayunya.

Kuperhatikan kawanan burung camar di langit barat yang terbang rendah seakan hendak mengejar matahari yang hampir lenyap. Kini aku beralih melihat ke dalam diriku sendiri, menikmati keheningan hatiku yang sulit untuk kuterjemahkan. Mungkin lebih baik menjadi camar-camar itu daripada menjadi gadis tak berstatus sepertiku, setidaknya mereka tidak pernah meninggalkan dan ditinggalkan temannya. Aku juga yakin bahwa tak satupun dari mereka yang memiliki pemikiran untuk membunuh anggota kelompoknya. Aku merasa menjadi makhluk hidup paling rendah di dunia ini. Makhluk yang tidak tahu untuk apa dia hidup dan bagaimana cara hidup.

"Halo nona," sebuah sapaan mengusikku dan ketika kesadaran diri telah kudapat dengan sempurna, kutemukan sosok Josh telah berada di hadapanku, dia duduk di atas kuda gagah berbulu coklat, menggunakan celana hitam, garbadin coklat dan topi vilt. Senyuman mengembang di wajahnya dan membuatnya semakin mempesona semempesona dia di mataku ketika pertama kali kami bertemu. Mata dan senyuman indah itu, Tuhan jangan biarkan aku lebih mencintainya dan membuat hidupku semakin sulit.

"Maukah kau menjadi periku?"

"Josh?" lirihku, aku tertegun mengingat kalimat yang dulu pernah terucap di jalan pertengahan kebun tebu. Aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Kenapa Josh begitu bodoh? Dia berkata padaku untuk membuatku bahagia tapi kenapa dia melakukan hal ini? Aku tahu ini akan membuatku bahagia tapi pasti akan bermuara di kolam yang sama, menyakiti hatiku.

"Papa bilang kuda ini akan menggantikan Snowfire selama aku disini,"

Ini dia bukti bahwa semua bermuara untuk menyakiti hatiku. Dia bilang papa seolah-olah Tuan Schoonhoven itu bukan papaku. Panas selalu datang mendesak hatiku setiap kali Josh datang memamerkan wujud kasih sayang itu kepadaku. Kasih sayang seharusnya menjadi milikku.

"Jadi apa kau mau menjadi periku untuk melihat satu tenpat yang sangat indah?" Dia sedikit menarik tali kekang kudanya ketika tunggangan barunya itu mulai tak sabar untuk bergerak.

Baiklah, aku mengangguk, menyetujui ajakan Josh. Aku tidak mau terus-menerus berkutat dengan pemikiran yang seakan menjadi bara di hatiku, memanasiku dan membuatku ingin meledak. Perlahan kulangkahkan kaki, menuruni beberapa anak tangga dari villa. Josh turun dari kuda barunya bersamaan dengan saat kujejakkan telapak kakiku di rerumputan basah. Keraguan mulai melanda, apa ini bagus? Aku tidak mau mengambil risiko dibingungkan oleh keadaan lagi walau sampai sekarang keputusan valid belum kuambil. Cintaku selalu hadir di balik kebencian dan hasrat untuk merebut semua hak yang seharusnya kumiliki tapi kini dimiliki Josh.

"Naiklah," ujar Josh, dia mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan untuk naik ke atas punggung kuda. Sudah terlanjur bersedia, akan menjadi masalah kalau aku mengurungkan niat. Maka, kuterima saja.

Kuda berderap menuruni jalan setapak berbatu dengan beberapa kubangan dipenuhi air bercampur lumpur, membuat perjalanan kami menuju tempat yang lebih rendah sedikit terganggu. Kulayangkan pandanganku ke sisi kiri dan kanan yang berbatasan langsung dengan sawah perkebunan. Sayuran siap panen tumbuh subur di tanahnya. Titik-titik air di atas daun nampak seperti butiran mutiara berkilauan membiaskan sinar matahari yang mengintip dari balik segumpal awan tebal.

"Pegangan," Josh melingkarkan lengan tangan kananku di pinggangnya, "jalannya becek, aku tidak mau kau jatuh," imbuhnya lagi seraya memperat lenganku untuk memeluknya dari belakang.

Tidak realistis, jika kuda ini jatuh maka aku akan jatuh juga, tapi entah kenapa aku tetap menuruti perintah Josh. Bahkan kulingkarkan lengan kiriku juga, menautkannya dengan lengan kananku di depan perut Josh.

"Hati-hati Josh, aku belum pernah ke tempat ini dan belum sempat melihat tempat lain selain villa,"

"Sama denganku," Dia terkekeh dibuat geli oleh jawabannya sendiri. Namun aku justru menganggap bahwa cara tertawanya itu yang lucu. Dia seperti anak perempuan.

Matahari semakin rendah ketika kami berhenti di pinggir sebuah jurang dalam, pohon-pohon mencuat dari dalam dalam jurang, menunjukkan puncak-puncak hasil pertumbuhannya. Josh membantuku turun dari kuda yang kusadari ternyata lebih tinggi daripada Snowfire. Aku berdiri di tepian jurang, memandangi kabut yang mulai muncul lagi, menghalangiku untuk melihat matahari terbenam sementara Josh mengikat tali kekang kudanya di sebrang jalan di sebatang pohon mahoni.

"Sayang sekali tempatnya menjadi tidak terlalu indah," Josh kini berdiri di sampingku, sejenak kulihat dia murung, mengamati langit barat yang berkabut, awan mendung juga terkumpul, menumpuk-numpuk disana. Terlalu sombong untuk berbagi keindahan matahari terbenam dengan aku dan Josh yang sudah bersusah payah datang.

"Penjaga villa bilang tempat ini adalah tempat paling menakjubkan untuk melihat matahari terbenam setelah hujan. Dia menggambarkan akan ada pelangi yang melengkung dari bukit itu ke bukit yang itu," Josh menjelaskan, ditunjuknya dua buah bukit yang dipisahkan hutan pohon akasia. Membayangkan penjelasan Josh saja, sudah membuatku frustasi. Aku ingin melihatnya.

"Mungkin kita belum beruntung. Hari mulai gelap, sebaiknya kita pulang," Kubalikkan badanku tapi Josh justru menahan tanganku, menarikku hingga kami berdiri berhadap-hadapan. Sejurus kuhindari sinar matanya yang selalu sukses membuatku tenggelam disana.

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" Dia menelengkan kepala, menunggu jawabanku. Senyuman di bibir merahnya seolah menjadi mesin perayu palimg ampuh. Kualihkan pandanganku ke sekeliling, petang telah jatuh, langit seolah terbelah dua. Sebelah timur terang sementara mendung mengungkung langit barat.

"Papamu akan mencari kita," kuutarakan sebuah alasan yang kuketahui akan lebih manjur daripada kukatakan "kita harus pulang karena hari sudah gelap," tetapi, ternyata kenyataan berkata lain.

"Aku sudah bilang akan pergi dan pulang sedikit lebih malam,"

Oke, senjata makan tuan. Sekarang apa yang harus kulakukan? Lagipula jalan-jalan macam apa yang diinginkan Josh jika melihat saja kesulitan.

"Ayo," Josh mulai melangkah dengan tetap menggandeng tanganku, membuatku tidak bisa menolak karena dia terlalu bersemangat.

Josh membuat imajinasiku bekerja dengan luar biara. Berbagai jenis hantu terbayang dengan jelas di depan mataku. Kodok mengorek dari segala penjuru, bersahut-sahutan dengan kerikkan jangkrik dari bawah kakiku. Josh gila! Apa dia mau aku mati diserang hewan liar atau dia memang sengaja menawarkan diri untuk diculik hantu? Wewegombel misalnya.

Angin berdesir menggoyang-goyangkan ribuan pohon teh di sekitarku dan Josh. Menimbulkan efek suara memgerikan bagiku yang semakin menyadari keberadaan kami di tengah-tengah kebun teh, dalam kegelapan malam, tanpa sinar lampu maupun pelita, rembulan pun enggan mengintip dari balik awan tebal.

"Josh ini sudah larut," kutarik tangan Josh yang menggenggam tanganku. Secepat kilat dia menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajad hingga kami berhadap-hadapan. Kurasakan hembusan napas hangatnya menerpa wajahku. Di jarak sedekat ini saja, aku tak mampu untuk melihat wajahnya.

"Kita harus pulang," kugerakkan tangannya, merengek seperti anak kecil,

"Papamu akan marah, aku tidak mau terlibat masalah dan yang terpenting adalah untuk apa kita disini? Ini sudah malam, tempat ini sepi dan gelap, tidak ada orang lain, yang kulihat adalah aku tidak bisa melihat apapun. Aku lelah, kakiku sakit dan sepatuku basah penuh lumpur. Kau lihat mendung sudah membuatku gerah, aku yakin sebentar lagi hujan turun. Jadi apalagi alasanmu untuk tetap berada disini, Josh?" Kuhentikan cerocosan panjangku yang bertempo cepat itu dengan sebuah tatapan tajam, berharap dia mati karena tatapanku dan aku bisa berlari pulang, berteriak seperti orang gila di depan Tuan Schoonhoven, mengatakan bahwa Josh terkena serangan jantung.

"Ini alasannya," ungkap Josh lirih, mampu kutangkap ada kebahagiaan dan ketakjuban dari suaranya. Sejenak kukira dia berimajinasi sepertiku, kuperhatikan matanya berbinar membiaskan setitik cahaya kuning redup.

"Ini yang ingin kutunjukkan, lihatlah Maudy," Josh mengalihkan pandangannya dariku ke sekeliling. Kuikuti arah matanya dan baru kusadari betapa menakjubkannya tempatku berada sekarang.

Serasa melayang di antara bintang-bintang, itulah sensasi yang kudapatkan ketika ratusan kunang-kunang bermunculan dari bawah, terbang dari balik rerimbunan pohon-pohon teh yang mengelilingiku dan Josh. Senyum lebar terkembang di wajahku, kuputar badanku tiga ratus enam puluh derajad secara perlahan untuk melihat kilau-kilau kecil tak berkonfigurasi yang terbang dari segala penjuru. Mungkin langit memang terlalu angkuh tetapi bumi tak akan pernah membiarkan permukaannya gelap gulita. Aku dan Josh menemukan kumpulan titik-titik cahaya yang bermunculan di gelap malam, menantang langit. Terang melayang ke udara bersama-sama, membentuk lingkaran yang mengitariku dan Josh.

"Apa kau tahu dari penjaga villa juga?" Tanyaku ketika aku telah kembali berhadap-hadapan dengan Josh. Dia memberikan senyuman terbaiknya. Berdiri di sekitar kunang-kunang bercahaya membuatku beranggapan bahwa Josh adalah malaikat. Caranya tersenyum dan memandangku membuatku mampu melupakan segala keresahan yang melanda jiwaku.

"Dia mengetahui segalanya," sedikit terkikik dia ketika berbicara, membuatku turut tersenyum. Dia merentangkan kedua belah tangannya, menutup mata dan menghirup udara malam yang dingin dan lembab, membawa butir-butir air lembut dari langit.

Andai aku bisa, ingin kuhentikan waktu di titik ini. Supaya bisa kulupakan segala beban yang menggelayutiku beberapa minggu terakhir ini. Aku ingin hidup nyaman terus seperti apa yang kurasakan sekarang. Hilang hasrat untuk merengkuh segala hal, melenyapkan semua demi diriku.

"Aku mencintaimu," dan entah bagaimana caranya, kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Josh merengkuh wajahku dan mengecup lembut keningku. Saat itu juga, kupejamkan mataku untuk menikmati sentuhan kasihnya. Kuketahui betapa dinginnya bibir Josh. Bagian tubuhnya itu terasa bagaikan butiran salju pertama di musim dingin yang jatuh tepat di keningku.

"Kita pulang," Ujar Josh singkat setelah melepas kecupannya. Kuanggukkan kepalaku kemudian kami berjalan penuh kehati-hatian, merayap keluar dari rerimbunan pohon teh. Gerimis mulai turun ketika aku dan Josh telah bersiap di atas punggung kuda.

"Papamu akan marah besar," bisikku di telinganya.

"Tidak jika kita cepat," Josh menarik tali kekang kuda, menghentakkan kakinya dan kami pun melesat cepat menembus malam, melewati jalan setapak lurus sepanjang kebun teh. Butiran-butiran air jatuh dari langit semakin lebat. Kupererat pelukanku di perut Josh, berpegang padanya, berharap kecemasanku berkurang. Tapi hasilnya nihil.

Hujan semakin deras, jalan gelap, menanjak, berbatu dan licin, kuda yang kami tunggangi resah membuat Josh kesulitan untuk mengendalikannya. Maka, terpaksa kami turun, berjalan kaki menembus hujan, bergerak perlahan menuju villa yang entah masih seberapa jauh lagi dari posisi kami. Cuaca semakin tidak bersahabat. Kilat menyambar-nyambar membuatku ngeri, disusul gemuruh guntur yang seolah hendak membelah bumi.

"Sepertinya tidak ada tempat berteduh," Josh melihat sekeliling dan melongok ke depan dengan tetap membimbing kuda barunya untuk terus berjalan. Seingatku memang tidak ada tempat berteduh. Kalaupun ada, apa gunanya? Sudah terlanjur basah. Berteduh hanya akan menambah masalah karena kami semakin terlambat untuk sampai di villa. Tubuhku mulai menggigil, air yang jatuh dari langit serasa jarum-jarum es yang menghujami tubuhku tanpa ampun. Kurapatkan jaketku, tapi air yang terserap di kainnya justru membuat tubuhku semakin tidak baik.

"Maudy, kau baik?" Suara parau Josh menarik perhatianku, dari suaranya aku tahu benar bahwa keadaannya tidak jauh berbeda dariku. Kujawab pertanyaannya dengan satu anggukkan kepala.

"Tapi kau terlihat tidak,"

"Apa bedanya denganmu?" sahutku, dan dia langsung tersenyum seolah dia baru tahu bahwa aku tetap mampu melihat betapa payah keadaannya sekarang di tengah hujan yang lebat, di dalam malam yang gelap.

"Semoga papa menikmati hujannya dan tidur," desis Josh. Ternyata dia juga mengkhawatirkan hal yang sama denganku. Ya! Akan lebih baik jika tidur kemudian mati.

Kubantu Josh menggiring kuda coklatnya melintas ke halaman belakang. Hujan mempermainkan kami rupanya, guyuran air dari langit itu mereda tepat beberapa meter sebelum kami sampai di villa. Memaksaku dan Josh berusaha untuk tak menimbulkan sedikit pun suara berarti yang akan menarik perhatian Tuan Schoonhoven. Tidak! Dia tidak pantas untuk kusebut Tuan, dia hanya Schoonhoven. Josh berharap dia benar-benar tidur dan aku berdoa supaya dia dimakamkan besok.

Entahlah, sepanjang perjalanan pulang tadi pikiranku kembali berkecamuk seakan aku ditarik kembali ke dalam kerumitan keadaan dan perasaanku. Sikap Josh yang menunjukkan betapa dia sangat mencintaiku, dan hatiku yang terlanjur terpaut padanya membuatku mengutuk niatanku untuk melenyapkan Josh. Bukankah setiap kenestapaan ini bersumber dari Si Schoonhoven? Dia menikahi ibuku untuk ditinggalkan dan dibuang, serdadunya menembak ayahku dan membuat segala hal berubah menyakitkan. Maka, siapa lagi yang lebih pantas untuk lenyap dari muka bumi ini selain dia? Jawabannya, tidak ada. Untuk apa pula aku mengharapkan kasih sayang seorang ayah dari sosok macam dia yang bahkan tak pantas disebut laki-laki.

Lagipula, Josh kekasihku yang kini sedang memasukkan kuda ke dalam kandang itu tak tahu apa pun. Dia sama sepertiku, tidak memiliki ayah dan diangkat sebagai anak oleh Schoonhoven. Hal yang kusesali darinya adalah kenapa dia harus menulis surat pembawa petaka itu. Kenapa juga aku harus mencintainya yang diangkat sebagai anak oleh laki-laki yang darahnya mengalir di tubuhku, membuat panas di hatiku menyeruak setiap kali aku melihat kebahagiaannya kemudian memori masa lalu menyakitkanku terputar ulang dalam waktu yang bersamaan.

"Maudy," Desis Josh, dia memanggilku. Melambaikan tangan, memberi tanda supaya aku mengikutinya yang telah berada di belakang villa. Perlahan aku berlari-lari kecil menembus hujan rintik-rintik, menaiki tangga kayu kecil yang berderak karena langkahku.

"Apa yang kau lakukan disana?" Tanya Josh kepadaku ketika aku telah berdiri di hadapannya. Tanpa menunggu penjelasanku, dia langsung memfokuskan perhatian ke pintu. Bagus Josh, karena akan sangat bodoh jika harus kukatakan bahwa aku sedang dilanda bingung dan menimbang-nimbang untuk membunuhmu atau papamu.

Pintu kayu berhiaskan ukiran-ukiran bunga terayun ke dalam. Terbuka dan menghadirkan dapur di depan mataku dan Josh. Kami melangkah masuk, menapakkan kaki kami yang basah ke dalam ruangan yang gelap. Air menetes dari pakaian kami dan membasahi lantai kayu di bawah kaki kami. Kilat menyambar dan membuat ruangan terang dalam sekejap mata.

Aku mengekor di belakang Josh yang perlahan-lahan membuka pintu pemisah antara dapur dan ruang tengah. Cahaya kuning terang dari pelita yang menjuntai di dekat pintu memaksaku untuk menyipitkan mata, di detik yang sama ketika pintu sepenuhnya terbuka, kulihat sorot tajam mata biru safir dari balik punggung Josh. Memaksaku dan Josh berhenti melangkahkan kaki kami. Mata itu layaknya mata seekor elang kelaparan dan hendak menerkam mangsanya. Garang, gurat-gurat itulah yang kutangkap dari sorot matanya.

Gerimis di luar sana kembali menjadi guyuran hujan, langit menangis tanpa henti malam ini. Keheningan menyergap dan tiap-tiap tetesan air hujan yang beramai-ramai jatuh membasahi bumi, menimbulkan suara yang justru membuat keheningan semakin terasa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam lebih sepuluh menit, jarum merah penghitung detik-detik yang berlalu tak kudengar detak-detak beriramanya. Dilenyapkan oleh suara hujan.

Aku dan Josh terdiam. Kami berdiri di hadapan Schoonhoven yang duduk di atas kursinya, menatap tajam kami berdua yang tertunduk. Menunduk karena merasa bersalah sekaligus terlalu takut untuk beradu pandang dengan pria yang kubenci itu. Sikapnya malam ini benar-benar memuakkan. Tadi, dia langsung memerintahku dan juga Josh untuk mengganti pakaian kemudian menemuinya. Berdiri seperti dua orang miskin ditagih upeti.

"Kemana saja kalian?" Schoonhoven angkat bicara. Interogasi dimulai. Mata biru safirnya yang menurun kepadaku, menatapku dan Josh bergantian.

"Apa kalian tidak tahu bagaimana kalian telah membuatku cemas? Pergi sampai larut malam di tengah hujan tanpa berpamitan. Apa saja yang kalian lakukan di luar sana?"

Rentetan pertanyaan-pertanyaan yang kuyakini sebagai amarahnya itu membuat telingaku panas. Aku yakin dia sama sekali tak membutuhkan jawaban, karena alasan itu pula kuputuskan untuk diam dan mendengarkan, untuk kemudian melupakannya. Kurasa Josh juga sedang melakukan hal yang sama sepertiku. Membiarkan papa angkatnya dan papa yang telah membuangku itu untuk terus mengomel hingga mungkin sebuah buku bisa dicetak jika dia menuliskan setiap susunan huruf dari kata-katanya.

"Maudy,"sedikit terkejut diriku ketika namaku disebut. Kutatap Schoonhoven sejenak lalu aku kembali menunduk, "Seharusnya kau menolak ajakan Josh,"

"Aku yang memaksanya pa," Josh memotong, membelaku dengan suara seraknya. Schoonhoven yang tadinya melihatku kini beralih menatap Josh, keduanya beradu pandang dan membuatku gusar.

"Awalnya Maudy menolak, dia juga memaksaku pulang tapi aku memintanya untuk tetap tinggal,"

Schoonhoven mendengus pelan, dia sepertinya luluh oleh tutur lembut Josh, ketika putranya itu membelaku. Dia bisa melunak dalam hitungan detik karena Josh tapi amarahnya langsung mencapai titik didih kepadaku. Realitas yang menyakitkan kuterima lagi hari ini.

"Papa jangan marah. Kami hanya ingin bersenang-senang. Bukankah itu tujuan kita kesini? Maafkan aku pa,"

Schoonhoven mengalihkan pandangannya ke berbagai sudut ruangan, dia tak mau melihat Josh yang terus memohon kepadanya. Api pelita di sudut ruangan bergoyang-goyang, resah ditiup angin dan detik-detik waktu terus bergulir menghitung waktu yang berjalan lambat. Situasi ini memaksaku untuk terus berpikir betapa keberadaanku disini sama sekali tak dianggap oleh mereka.

"Kalian berdua harus mendapatkan hukuman besok pagi,"

Aku tersentak mendengarnya, seketika itu juga kuangkat kepalaku, memperhatikan Schoonhoven yang tak memperhatikanku maupun Josh, "Kalian keterlaluan dan harus mendapatkan sesuatu supaya kalian tidak mengulanginya lagi. Aku benar-benar kecewa,"

"Pa, biarkan aku saja yang,"

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri Josh!" Sentak Schoonhoven sebelum Josh mengungkapkan seluruh pemikirannya. Api amarah itu bergejolak di mata biru safirnya, belum pernah kulihat ini sebelumnya.

"Sejak kapan kau berani membantah? Ha! Sekarang masuk ke kamar kalian!"

***

Sepertinya Dewi Fortuna memang tak pernah berpihak kepadaku. Rasanya baru saja aku menutup mata, mimpi pun belum kudapatkan tapi kicauan burung yang untuk kali pertama kuanggap tidak merdu telah mengusik telingaku. Sinar mentari pagi menembus jendela kamarku yang tersingkap tirainya, kehangatannya memaksaku untuk membuka mata. Badanku masih enggan untuk beranjak namun derap langkah yang terburu-buru di depan kamarku, menghilangkan niatanku untuk kembali meringkuk dan menyembunyikan kepalaku di balik bantal.

Penjaga villa melewatiku yang berdiri di depan pintu kamar dengan begitu saja, terus kuperhatikan pria beruban dan ber-sweater kumal itu terburu-buru masuk ke kamar Josh yang terletak selisih dua kamar dari kamarku sambil membawa sebaskom air hangat. Tersentak aku ketika mengingat sesuatu. Hukuman macam apa yang diberikan Schoonhoven itu sampai harus menggunakan air hangat? Sejurus kugerakkan kakiku, melangkah cepat dan lebar menuju kamar Josh. Aku hampir bertabrakkan dengan pembantu tadi ketika hendak mencapai pintu.

Langkahku terhenti disini. Di depan pintu kamar Josh yang terbuka lebar. Terpaku tak bergerak sedikit pun layaknya patung. Aku bersyukur karena aku masih bernapas. Ternyata apa yang kulihat tidak seperti yang kupikirkan. Entah dimana kesadaranku ketika aku sempat berpikir Schoonhoven akan menindak Josh dengan keras. Bukankah Josh adalah orang yang paling dia sayangi? Lebih tepatnya orang yang paling dia sayangi.

Josh terbaring di atas ranjangnya, dia diselimuti rapat-rapat hingga leher. Dari tempatku berdiri sekarang, di depan pintu kamarnya, mampu kulihat bahwa tubuhnya menggigil kedinginan tapi keringat terus membuat bulir-bulir di wajahnya, sebuah kain hangat digunakan untuk mengompres keningnya. Schoonhoven duduk di sebuah kursi di samping tempat Josh berbaring. Tangannya menggenggam erat tangan Josh seakan tak mau melepaskannya sedetik pun.

"Seharusnya kau tidak mengajaknya keluar, Maudy," suara menggemuruh dari Schoonhoven itu mengejutkanku, dia menyadari keberadaanku rupanya. Tubuhku semakin kaku, keterkejutan menggerogotiku dari dalam membuatku tak mampu bergerak.

"Bukankah kau tahu dia mudah sakit? Apa yang kaupikirkan sampai kau menuruti semua hal yang dia inginkan tanpa mempertimbangkan akibatnya? Dia selalu menjagamu bahkan terus membelamu tapi kau bahkan tidak pernah bisa memahaminya,"

Panas menyeruak di dadaku dan perlahan dalam hitungan detik, sukses membakar tubuhku. Kata-katanya membuatku berhasrat untuk menarik lidahnya keluar. Kucengkram tiang pintu kamar di sisi kanan tubuhku, membuat buku-buku jariku memutih. Sebisa mungkin kucoba untuk menahan amarah dari dalam diriku yang menyeruak, menuntutku untuk melompat ke hadapan Schoonhoven yang sampai sekarang masih memunggungiku, mencongkel matanya.

"Ingat hari ini dan jangan pernah kau lakukan untuk kedua kalinya," Kalimatnya kali ini diucapkannya dengan memalingkan wajah kepadaku, dia menatapku tajam, kurasakan ancaman yang begitu besar dari tutur katanya meskipun dia berbicara tanpa intonasi. Sejenak kemudian dia kembali fokus pada Josh yang masih terlelap. Dia membelai lembut kening dan kepala Josh, menggerakkan ibu jarinya di pipi Josh yang kemerah-merahan.

Panas mendera wajahku seiring dengan datangnya kabut air mata yang menggenang di pelupuk mata. Aku berharap dugaanku selama ini salah, semoga dia bukan ayahku. Aku tidak mau memiliki ayah seperti dia.

"Dia ayahmu Maudy," wajah ibu di akhir hayatnya kembali muncul di depan mataku. Kugeser kakiku perlahan, mundur ke belakang. Keras kugelengkan kepalaku, mengingkari semuanya. Mungkin saja foto itu bukan foto ibuku, aku salah lihat atau mungkin Wessel Adelbert Schoonhoven adalah saudara pria yang dimaksud ibu. Pria itu telah mati dan membusuk di kuburnya. Aku tidak mau bertemu dengan ayahku. Tidak!

***